JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia masih mengupayakan pembebasan dua WNI yang disandera di Filipina Selatan. Indonesia juga mendesak Filipina dan Malaysia menjaga keamanan wilayahnya untuk mencegah penculikan di kemudian hari.
"Sejak 2016, 36 WNI disandera di Filipina selatan. Sampai sekarang, 34 bebas dan 2 masih disandera," kata Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Lalu Muhammad Iqbal, Rabu (16/1/2019), di Jakarta.
WNI terakhir yang dibebaskan adalah Samsul Saguni. Samsul ditawan sejak 11 September 2018 dan dibebaskan pada 15 Januari 2019. "Sekarang dia di pangkalan Westmincon di Jolo, Filipina Selatan untuk pemeriksaan kesehatan dan menungggu penerbangan di Zamboanga. Setelah nanti diserahkan ke KBRI Manila, Samsul akan dipulangkan ke Indonesia," kata Iqbal.
Samsul bebas berselang sebulan setelah Usman Yunus bebas pada Desember 2018. Samsul dan Usman sama-sama diculik di perairan Pulau Gaya, Sabah, Malaysia. Kala itu, mereka sedang bekerja di kapal penangkap ikan Malaysia.
Dengan pembebasan Samsul dan Usman, pemerintah Indonesia tinggal berkonsentrasi membebaskan dua WNI lain yang masih disandera. Mereka ditawan di lokasi yang sama dengan Samsul.
Kala itu, selain Samsul, kelompok bersenjata Filipina menawan dua WNI lain dan seorang WN Malaysia. Mereka bernama Hariadin Rere (45), Heri Ardiansyah (19), dan Jari Abdullah (34). Dengan bebasnya Samsul, tinggal Hariadin dan Heri menunggu pelepasan. Hariadin, Heri, dan Jari diculik di perairan Pulau Tawi-tawi, Filipina pada 6 Desember 2018.
"Indonesia terus berkoordinasi dengan otoritas setempat demi keselamatan warga kita yang masih disandera. Jangan sampai mereka jadi korban dalam operasi militer untuk menghadapi kelompok bersenjata," ujarnya.
Iqbal mengatakan, Indonesia mendesak Malaysia dan Filipina meningkatkan keamanan perairan teritorial mereka. Sebab, penculikan terjadi di perairan teritorial yang menjadi tanggung jawab masing-masing negara. "Para WNI yang menjadi korban itu sudah mematuhi prosedur. Mereka melapor saat akan berlayar dan pelacak lokasi kapal terus dinyalakan agar dapat terpantau otoritas setempat," tuturnya.
Tebusan
Iqbal tidak menjelaskan apakah Samsul dibebaskan setelah ada tebusan atau tidak. Ia hanya menyatakan selama ini Indonesia berkebijakan tidak ada tebusan. Sebab, jika dibiarkan ada tebusan, kelompok bersenjata akan termotivasi menculik demi mendapat uang. Dalam kasus Samsul dan Usman, penculik meminta tebusan 4 juta ringgit atau Rp 14 miliar.
Pekan lalu, beredar video Samsul meminta diselamatkan. Ia diikat dan dijaga sejumlah orang. Video itu beredar setelah tidak ada pembayaran tebusan seperti diminta penculik kepada keluarga para sandera.
Keluarga korban dihubungi penculik beberapa waktu lalu. Penelepon diketahui menggunakan nomor Filipina. Kepada keluarga, mereka meminta tebusan jika ingin korban dibebaskan. Para penculik tidak menetapkan kapan tebusan harus dibayarkan.
Para penculik diduga menggunakan perahu dengan mesin tempel. Hal itu berdasarkan keterangan para saksi kepada penyidik Polis Diraja Malaysia (PDRM) Sabah.
Mesin perahu dimodifikasi dari mesin bekas sepeda motor atau mobil yang lebih murah jika dibandingkan mesin yang memang dirancang untuk perahu dan kapal. Perahu jenis itu sebenarnya dilarang dioperasikan di laut Sabah. Perahu jenis itu kerap dipakai penyelundup dan penculik. Namun, pengguna perahu jenis itu banyak karena harganya terjangkau.