Imigran Rohingya Kembali Kabur
Dalam sebulan terakhir, puluhan imigran etnis Rohingya kabur dari penampungan di Kabupaten Bireuen, Aceh. Hal ini karena penjagaan minim.
BIREUEN, KOMPAS —Kaburnya puluhan imigran etnis Rohingya dari penampungan di Kabupaten Bireuen, Aceh, dalam sebulan terakhir perlu menjadi perhatian pihak terkait.
Koordinator Tanggap Bencana Bireuen Zulfikar, Sabtu (19/1/2019), menyatakan, petugas baru mengetahui ada lima imigran etnis Rohingya asal Myanmar yang kabur pada Jumat. Tidak diketahui pasti jam berapa mereka kabur, kemungkinan saat malam hari.
Kelima imigran yang kabur adalah Mohammad Sholim (22), Mohammad Ayaz (14), Aziz Khan (15), Mohammad Shorif (17), dan Huzaifa (16).
Sebelumnya, total ada 29 imigran Rohingya yang kabur dari tempat yang sama, yakni pada 12 Desember 2018, 24 Desember 2018, dan 8 Januari 2019. Dengan demikian, dari 79 imigran yang ditampung sejak setahun lalu di Sanggar Kegiatan Bersama Kabupaten Bireuen, tersisa 45 orang.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Lhokseumawe Safrizal mengakui tempat penampungan cukup terbuka sehingga mudah bagi imigran untuk kabur.
Sanggar Kegiatan Bersama yang menjadi tempat penampungan imigran itu hanya dikelilingi pagar setinggi 1,5 meter. Di sana hanya ada petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Taruna Siaga Bencana yang membantu menyediakan makanan bagi para imigran.
Para imigran Rohingya itu terdampar di pantai Bireuen pada 21 April 2018. Sejak saat itu, mereka ditampung di Bireuen hingga mendapatkan negara yang bersedia menerima imigran.
Menurut Safrizal, para imigran itu tidak ingin berlama-lama berada di Aceh karena ingin mencari penghidupan yang lebih baik. Namun, sudah hampir setahun belum ada kabar kapan imigran itu akan dibawa ke negara lain. ”Masih menunggu kabar dari negara ketiga, seperti Kanada, Italia, dan Australia,” kata Safrizal.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Aceh Alhudri mengatakan, keberadaan imigran dalam waktu lama itu membebani pemerintah daerah, baik secara moral maupun anggaran.
Sejauh ini, kebutuhan sehari-hari imigran, termasuk kebutuhan makanan, dibiayai APBD Kabupaten Bireuen dan Provinsi Aceh. Setiap bulan, anggaran yang terserap sekitar Rp 100 juta.
Alhudri berharap pemerintah pusat dan lembaga terkait terlibat penuh menangani. ”Kami sudah berulang kali menyurati kementerian terkait, tetapi hingga kini belum ada respons,” ujar Alhudri.
Ia mengatakan, penanganan masyarakat luar negeri yang terdampar di suatu negara adalah tanggung jawab Kementerian Hukum dan HAM melalui keimigrasian dan organisasi internasional yang menangani pengungsi.
”Kami sebenarnya tidak punya kewenangan apa pun. Apalagi, kami tidak ada dana untuk pembiayaan makan dan kebutuhan mereka. Jika ada, itu hanya karena tuntutan kemanusiaan,” kata Alhudri.
Pekerja asing
Sebanyak 51 tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh PT Lafarge Cement Indonesia yang terletak di Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, diketahui menyalahgunakan izin kerja. Mereka dipekerjakan di bidang kelistrikan. Padahal, izin kerja mereka sebagai tenaga konstruksi.
Tenaga kerja asing yang menyalahi izin itu diketahui saat Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Aceh melakukan inspeksi mendadak ke perusahaan itu pada Selasa (15/1).
”Karena menyalahi dokumen kerja, mereka kami minta dipulangkan dulu,” kata Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Aceh Rahmad Raden, kemarin. (AIN)