Jentera Waktu Marchella
Dia mengawalinya dengan buku yang membawa pulang ke masa 90-an, lalu kini menggugah dengan jalinan kata yang dia persiapkan untuk masa depan. Buku-buku berkonsep waktu karyanya itu ludes puluhan ribu eksemplar dalam sekejap. Namun, Marchella FP (28) selalu malu disebut penulis.
”Gue itu belajar nulis (kalimat) yang baik pas ketemu penerbit. Itu aja baru tahu kalau ’di sana’ itu ’di’-nya dipisah. Serius! Makanya, kalau dibilang penulis profesional, itu gue juga malu, ha-ha-ha. Masih belajar bangetlah,” ujar Checel, panggilannya.
Meski mengaku baru belajar menulis yang baik, aktivitasnya tidak jauh-jauh dari dunia buku dan kreatif. Pada hari Selasa (8/1/2019) siang, Checel bersiap untuk bertemu pihak penerbit di kawasan Palmerah, Jakarta. Ia sedang mengerjakan sebuah proyek buku terbaru, bagian dari kegiatan di perusahaan yang ia rintis setelah sukses dengan buku Generasi 90an.
Tidak hanya itu, ia juga tengah merampungkan buku keempatnya. Sebuah prekuel dari buku Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini, atau lazim disebut NKCTHI. Padahal, buku ketiganya itu belum genap berusia tiga bulan sejak dirilis, dan masih terus jadi perbincangan.
Buku NKCTHI yang ia rancang dan tulis selama dua tahun itu berdasarkan pengalaman dan pergulatan hidupnya setelah melewati berbagai fase hidup. Ia belajar memahami diri dan pikirannya, juga berusaha mendengar kisah dan perjuangan orang-orang terdekat. Selain itu, ia juga memadukan dengan interaksi yang intim lewat media sosial.
Semua hal itu ia ramu menjadi untaian kata sederhana yang bertalian erat dengan nilai-nilai hidup. Buku berisi kumpulan catatan-catatan pendek itu penuh pemaknaan yang lekat dalam ingatan. Tidak heran banyak yang merasa dekat dengan apa yang ditulis Checel. Gaya bertutur yang ringan dan mudah dicerna dengan cepat menjadikan buku itu teman banyak orang. Hingga pekan pertama Januari, NKCTHI terjual lebih dari 70.000 eksemplar. Sebelumnya buku ini telah dipesan ribuan eksemplar saat masa pre-order.
Namun, hal yang membuatnya paling bahagia adalah ketika pembaca mengiriminya pesan positif sehabis membaca buku. Beberapa orang mengaku hidupnya berubah menjadi lebih baik dan sejumlah pembaca mengaku tidak jadi mengambil keputusan buruk.
”Ada yang berterima kasih karena tak jadi bunuh diri sehabis membaca buku. Itu sesuatu banget buat gue,” ujarnya.
Menyandingkan buku yang ”serius” itu dengan pembawaannya sehari-hari serupa dua kutub yang berlawanan. Ia seseorang yang pembawaannya meruapkan energi ceria. Tawanya selalu hadir, bahkan ketika bercerita hal yang
berat yang pernah dilalui. Rambutnya yang dipotong tepat di atas bahu bergoyang seirama gelaknya.
Pembawaannya itu, menurut dia, memang sesuatu yang lahiriah. Namun, selain itu, ia juga tumbuh karena dibesarkan di lingkungan yang terasa baik-baik saja. Sejak kecil ia selalu merasa semua orang harus bahagia. Sedih tidak
ada dalam kamusnya karena orang yang sedih akan terlihat gagal.
Oleh karena itu, saat merasa sedih pun dia selalu menahannya dengan berbagai cara. ”Kalau sedih, gue push dengan dengar lagu senang. Pokoknya harus ceria. Masih polos bangetlah,” ujarnya..
”Saking polosnya, nih, waktu Justin Bieber dan Selena Gomez datang ke Indonesia, gue sampai nanya, mereka itu tidurnya bareng, ya? Emaknya enggak larang, ya? Waktu itu gue umur 20-an, ha-ha-ha.”
Seiring perjalanan hidup, khazanah berpikirnya meluas. Dia banyak menghadapi situasi yang selama ini tidak pernah dibayangkan. Serupa dari sangkar yang baik-baik saja, dalam sekejap dia harus beradaptasi dengan dunia nyata yang keras.
”Sampai akhirnya mikir, emang kalau sedih kenapa? Enggak papa ternyata kalau sedih. Setelah gue berdamai, gue paham. Energi negatif itu ya, ada, tetapi selama ini gue lari doang,” ucapnya.
Melanjutkan ceritanya, tangan Checel yang memang tidak pernah diam bergerak lincah menutupi matanya, ”Kayak, ’ooh tutup mata,
gak mau ada hal buruk’. Itu semua menjadi bagian saat gue nulis.”
Ikan krismon
Checel kecil besar di keluarga mapan. Ayahnya adalah pengusaha garmen yang sukses. Sang Ibu, selain mengurus anak, juga tetap membantu usaha keluarga. Dia menikmati banyak fasilitas yang cukup mentereng, sampai umur sepuluh tahun.
Sampai ketika krisis moneter (krismon) tiba. Situasi tersebut ikut menggulung usaha orangtuanya. Pabrik tutup. Beberapa toko kain juga sama. Semuanya habis, hampir tidak bersisa, sementara utang menumpuk. Didatangi penagih utang adalah hal biasa bagi keluarganya saat itu. Ikan ”krismon” adalah penganan harian mereka, selain telur dan mi instan.
”Itu ikan yang paling laku dulu. Enak pokoknya karena lagi susah. Di rumah itu dari yang punya mobil berapa, sampai naik angkot. Itu mungkin yang menjadi low point pertama gue. Cuma waktu itu belum sadar karena semua beban ditanggung orangtua,” ujarnya.
Meski berada di titik terendah, Checel dan keluarga menjalani semuanya dengan tenang. Mereka menjadi tim yang saling mendukung. Sang ayah terus berusaha untuk menghidupi keluarga. Kakak tertuanya berdagang sepatu. Sang ibu yang mempunyai kemampuan menjahit membuat mukena. Checel dan kakak perempuannya kebagian tugas sebagai pedagang di sekolah.
Dia menjualnya ke teman- temannya di SD Al Azhar, Jakarta Selatan. Secara mandiri, ia juga membuat kerajinan tangan dari kertas, yang dijual Rp 500 per buah. Dalam sehari dia bisa mendapat Rp 10.000 hingga Rp 15.000. Sebuah nilai yang besar untuk masa itu.
”Pulang ke rumah, kami saweran beli telur, beli mi instan. Sampai segitunya, kayak Keluarga Cemara bangetlah, versi modern dikit,” sambung Checel mengenang.
Lebih kurang lima tahun dia menjalani kehidupan yang sulit. Dari jualan mukena, tas bulu, makanan, semua dilakoni. Kehidupan mereka membaik sekitar tahun 2003 ketika sang ayah kembali mempunyai pekerjaan tetap.
Satu hal yang dia tangkap baik-baik bahwa kehidupan bisa saja berubah drastis. Seperti roda, bisa tiba-tiba berada di titik paling bawah, yang sebelumnya ada di puncak. Setiap orang harus memiliki keterampilan, begitu pikirnya.
Beragam pengalaman kecilnya itu mendidiknya agar suatu saat bisa mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain. Selain itu, dia merasa harus berbuat sesuatu pada suatu ketika nanti, sebuah hal yang bisa berdampak.
Generasi baru
Prinsip ingin mandiri dan mau berbuat sesuatu itu terus ia bawa sampai ketika kuliah di Desain Komunikasi dan Visual Universitas Bina Nusantara. Dengan kemampuan desain, dia berusaha membuktikan kemampuan. Tawaran dari rekannya untuk membuat desain album musik pun ia terima.
Dia mengerjakan beberapa sampul album milik band dan penyanyi Indonesia, di antaranya The Groove, Eva Celia, Kamasean, dan penyanyi lain. Waktunya dihabiskan untuk bekerja sambil kuliah.
Hingga saat menjelang lulus kuliah pada 2012, Checel sakit dan didiagnosis mengalami penyakit pada hati. Dia akhirnya berhenti sejenak dan fokus menyelesaikan tugas akhirnya. Sebuah tugas akhir berupa proyek buku tentang gaya hidup pada masa 90-an, era yang sempat dilewatinya beberapa tahun.
Checel memang hanya merasa melewati masa itu beberapa tahun. Namun, masa kecilnya terasa begitu berkesan dan lekat dalam ingatan. Ia mengingat, semua orang terasa dekat meski tidak begitu intens saling bersapa. Lewat permainan, tontonan, gaya hidup yang menyenangkan, dan kenangan berkumpul bersama teman begitu mengasyikkan. Sangat berbeda dibandingkan dengan saat ini.
Setelah lulus, dia berusaha tugas akhirnya itu menjadi sebuah buku. Buku tentang koleksi dan kenangan pada masa 90-an, yang didapatkan dari wawancara langsung, kuesioner, juga survei di media sosial. Pada 2013, buku berkonsep visual itu dirilis.
Di luar dugaan, buku itu laris manis. Setelah setahun menikmati royalti, dia mengajak rekan-rekannya membuat PT Kebahagiaan Itu Sederhana, yang membuat suvenir, konten, dan program bertema 90-an. Pahit manis wirausaha dialaminya, termasuk ditipu habis-habisan, hingga bisa kembali bangkit dan terus berkreasi. Mengambil jeda untuk diri sendiri, untuk meresapi banyak hal, ia pergunakan untuk menulis NKCTHI, dan prekuelnya.
Checel orang yang selalu memikirkan tentang waktu. Ia banyak ketakutan saat suatu hari menua dan banyak hal yang berubah. Ia ingin mencatat dan merekam apa yang ia rasakan saat ini untuk persiapan masa depan.
Tanpa ia sadari, buku-bukunya tidak lepas dari konsep waktu. Jika dua buku pertama bertema 90-an, dan buku NKCTHI adalah pesan yang dia persiapkan ketika tua nanti, buku keempatnya adalah apa yang terjadi saat ini.
”Ini bukan sesuatu yang gue planning, tetapi pada dasarnya gue memang suka konsep waktu. Gue suka dengan konsep maju-mundur gitu,” ucapnya tentang jentera waktu.
Menurut penggemar Buya Hamka ini, ”Waktu membuat kita sadar, banyak hal bisa berubah dari diri kita, yang membuktikan kita menjadi orang yang bermanfaat atau tidak.”
Marchella FP
Lahir: Jakarta, 16 Februari 1990
Orangtua: Syofyan Ibrahim dan Evie Yanthi
Saudara: Michael EP, Mechio DAC
Pendidikan:
- 1995-2008: TK-SMA Al Azhar, Jakarta Selatan
- 2008-2012: Desain Komunikasi Visual Universitas Bina Nusantara
- Penulis buku ”Generasi 90an”
- Penulis buku ”Generasi 90an Anak Kemarin Sore”