Ketika Wartawan ”Kompas” Mendapat ”Journalism Luck”
Saat masih magang pelatihan sebagai calon wartawan, 17 tahun silam, salah satu mentor menyebutkan istilah journalism luck alias keberuntungan jurnalisme. Ini kira-kira istilah untuk menyebutkan keberuntungan seorang wartawan saat menjalankan tugas mencari berita.
”Keberuntungan” itu bisa macam-macam bentuknya, misalnya berita ”jatuh dari langit”. Ini misalnya saat seorang wartawan tengah jalan-jalan lalu tiba-tiba di depannya ada seorang presiden tengah blusukan diam-diam tanpa ditemani rombongan wartawan, atau tiba-tiba terjadi insiden tembak menembak antara polisi dan penjahat, yang tentunya semua akan membuahkan berita menarik dan eksklusif.
Namun bisa juga keberuntungan ini bisa berupa kemudahan atau jalan yang tiba-tiba muncul saat si wartawan menemukan kebuntuan dalam mencari informasi yang dia butuhkan. Ini yang terjadi saat tim Kompas melakukan perjalanan jurnalistik pertengahan Desember 2018.
Kala itu paling tidak ada tiga tujuan liputan yang hendak dijalankan. Pertama adalah menelusuri jejak-jejak industri gula di Pulau Jawa, yang pada awal abad ke-20 sempat menduduki puncak industri gula dunia bersama Kuba. Laporan penjelajahan jejak-jejak Revolusi Industri 1.0 itu sudah ditayangkan dalam bentuk laporan multimedia Tutur Visual, 15 Januari 2019.
Sembari menjalankan liputan ini, kami juga melakukan uji kendara jarak jauh All New Hyundai Santa Fe, untuk membuktikan secara komprehensif kemampuan dan fitur mobil SUV terbaru buatan pabrikan Korea Selatan itu. Ini adalah bagian liputan rubrik Kendara di Kompas dan Kompas.id.
Tujuan ketiga adalah melihat kesiapan Jalan Tol Trans-Jawa yang waktu itu baru dirumorkan akan diresmikan Presiden Joko Widodo sebelum musim liburan Natal dan Tahun Baru dimulai. Ini tentu saja adalah momen bersejarah mengingat belum pernah ada dalam sejarah republik ini ada jalan tol terbentang hingga lebih dari 700 kilometer.
Belum dibuka
Kami bertolak dari Jakarta pada 17 Desember 2018 atau tiga hari sebelum jadwal peresmian Tol Trans-Jawa oleh Presiden Jokowi. Tentu saja jalan tol belum dibuka untuk umum sehingga kami perlu izin khusus dari pengelola jalan tol untuk dapat memasuki ruas yang belum diresmikan.
Namun, saat dihubungi, PT Jasa Marga yang mengelola sebagian besar ruas Tol Trans-Jawa menyarankan agar Kompas mengikuti survei resmi yang digelar pihaknya. Pasalnya, berbagai pekerjaan tersisa di ruas-ruas tol tengah dikebut untuk mengejar tenggat peresmian pada 20 Desember 2018.
Akhirnya kami putuskan untuk menyurvei kondisi tol baru ini pada perjalanan pulang ke arah Jakarta nanti setelah peresmian tanggal 20 Desember. Jadilah hari itu kami berangkat menuju tujuan utama kami di bekas Pabrik Gula (PG) Banjaratma di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
PG Banjaratma dibangun sejak 1908 dan beroperasi hingga tahun 1997 sebelum kemudian ditutup selamanya. Kini, karena posisi area pabrik yang dipotong jalur Tol Trans-Jawa, tepatnya di Kilometer 260, bangunan bekas pabrik dan lingkungan sekitarnya tengah direnovasi menjadi tempat istirahat (rest area) pengguna tol.
Proses liputan dan pengambilan gambar yang kami rencanakan hanya 2-3 jam ternyata molor hingga beberapa jam lebih lama karena luasnya area PG Banjaratma dan ada dokumen yang harus kami ambil di PG Jatibarang, yang berjarak sekitar 10 kilometer lebih ke selatan lagi.
Pada saat liputan selesai, jam sudah menunjukkan pukul 16.30 dan kami masih harus melanjutkan perjalanan ke Semarang. Tanpa tol, jarak Brebes-Semarang diperkirakan memakan waktu 4-5 jam kalau tidak terlalu macet. Artinya paling cepat pukul 20.30 kami baru tiba di Semarang.
Mobil pun kami arahkan ke Gerbang Tol Brebes Timur untuk memasuki ruas tol hingga Pemalang yang sudah diresmikan. Saat hendak memasuki gerbang tol, kami dihentikan oleh petugas polisi karena di depan ada rombongan mobil yang terlihat bertolak dari kantor pengelola jalan tol memasuki ruas tol ke arah timur.
”Wah, ini pasti rombongan survei jalan tol,” pikir saya. Melihat begitu besarnya rombongan dan dikawal mobil-mobil patroli pengawalan (patwal) polisi di depan dan di bagian belakang. Kalau benar, ini bakal menjadi sebuah journalism luck itu!
Saat kami akhirnya diizinkan masuk ke tol, kecepatan mobil kami tambah sedikit untuk menyusul rombongan besar tersebut. Diperkirakan lebih dari 30 mobil berbagai ukuran mengikuti konvoi besar tersebut. Kami pun memutar otak bagaimana agar bisa mengetahui apakah itu benar rombongan survei tol atau tidak.
”Nebeng” survei
Saya pun mengontak Assistant Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga (Persero) Dwimawan Heru untuk menanyakan apakah itu rombongan survei Jasa Marga yang dimaksud dalam pembicaraan sebelumnya. ”Oh iya, benar itu rombongan survei, tetapi bukan kami. Itu rombongan Kakorlantas. Jadi, saya tidak mengikuti rombongan,” kata Dwimawan dari seberang sambungan telepon.
Ternyata yang sedang melakukan survei adalah rombongan Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang baru, Inspektur Jenderal Refdi Andri. Menurut Dwimawan, Kakorlantas melakukan survei kesiapan jalur Tol Trans-Jawa dari Jakarta ke Surabaya dan hari itu melakukan survei hingga ke Semarang.
Ternyata benar ini adalah sebuah keberuntungan! Pas ingin survei jalur tol, pas ada yang survei, jadi tinggal nebeng. Namun, keberuntungan itu tak langsung bisa dinikmati begitu saja. Perlu siasat khusus karena kalau kita asal mengekor rombongan konvoi kepolisian tanpa terdaftar sebelumnya, bisa-bisa yang kita dapat bukan keberuntungan tetapi interogasi.
Kami pun kembali memutar otak apa yang harus dilakukan agar kita bisa masuk dalam rombongan secara sah. Akhirnya rekan satu tim saya, Iwan Santosa, berinisiatif menelepon salah satu kontaknya di Mabes Polri yang turut berjasa mengembangkan sistem Pusat Pengendali Lalu Lintas Nasional (National Traffic Management Center/NTMC) Polri. Wajar jika Iwan masih memiliki sejumlah kontak di Mabes Polri karena beberapa tahun lalu dia ditempatkan untuk tugas liputan di sana.
Saat telepon tersambung dan ditanyakan apakah benar ada agenda Kakorlantas meninjau Tol Trans-Jawa ruas Pemalang-Semarang hari itu, suara dari seberang sana menjawab, ”Oh iya betul, Mas. Ini saya ikut dalam rombongan, kok!”
Pucuk dicinta ulam tiba! Iwan pun langsung memberitahukan posisi kami dan meminta izin untuk mengikuti rombongan survei tersebut karena kebetulan belum ada wartawan Kompas yang waktu itu ikut dalam rombongan inti Kakorlantas. Kami sampaikan bahwa Kompas juga membutuhkan informasi tentang kondisi kesiapan jalur tol bersejarah ini.
Permintaan izin langsung direspons positif dan kami diminta memberikan identitas mobil, berupa merek dan tipe, warna, serta pelat nomor kendaraan yang kami pakai. Begitu mendapat jawaban positif itu, saya memberanikan diri menambah kecepatan kendaraan untuk benar-benar menempel mobil patwal polisi yang berada di ekor konvoi sambil menyalakan lampu hazard (dua lampu sein menyala bersamaan) sebagai tanda bagian dari konvoi.
Waktu itu, kami masih berada di ruas Brebes-Pemalang, yakni ruas yang sudah resmi beroperasi. Jadi ada banyak pengguna jalan lain yang berada di jalan tol tersebut.
Masih tersisa perasaan waswas jika nanti kami mulai memasuki ruas Pemalang-Batang-Semarang yang belum diresmikan dan butuh izin khusus untuk memasukinya. Benar saja, begitu mendekati pintu keluar Pemalang, mobil patwal di depan terlihat sengaja mengerem lajunya untuk memisahkan kami dari rombongan besar di depannya.
Kami sampai nyaris berhenti dan saat kami tetap nekat mengikuti rombongan memasuki jalur yang dijaga ketat, ada beberapa petugas yang menghentikan kami. Iwan pun berinisiatif mengeluarkan kartu identitas kewartawanan dan mengomunikasikan bahwa kami adalah wartawan peliput, bagian dari rombongan.
Konsentrasi penuh
Setelah bisa diyakinkan, akhirnya kami diizinkan memasuki ruas Pemalang-Batang-Semarang. Konvoi besar itu sudah jauh di depan, bahkan sudah tak terlihat lagi. Saya pun menginjak gas lebih dalam untuk mengejar ketertinggalan.
Untung saja, belajar dari pengalaman mengikuti konvoi di bawah pengawalan patwal seperti ini, kecepatan konvoi semacam ini selalu konstan, tidak terlalu kencang juga tidak terlalu pelan.
Dalam beberapa menit, kelap-kelip lampu mobil pengawal konvoi sudah terlihat dan tak lama kemudian kami sudah menyusul iring-iringan rombongan Kakorlantas. Kami pun bersorak gembira karena selain mendapatkan materi berita yang kami butuhkan, perjalanan ke Semarang pun bisa menjadi jauh lebih singkat daripada melewati jalur pantura lama.
Namun, sekali lagi, keberuntungan apa pun itu harus sigap disiasati. Dalam hal ini, bukan hal yang sepele untuk mengemudikan mobil dalam sebuah konvoi resmi yang dikawal ketat polisi seperti ini. Kita harus pandai-pandai mengendalikan mobil agar bisa menjadi satu bagian dari konvoi, tidak tertinggal terlalu jauh atau menempel terlalu dekat.
Konsentrasi penuh harus selalu terpusat ke iring-iringan mobil di depan kita sekaligus sigap dalam membaca tanda-tanda isyarat dari depan, misalnya mobil mengerem atau berpindah jalur. Lepas sedikit saja konsentrasi kita, bisa-bisa kita menubruk mobil di depan jika terjadi pengereman mendadak atau ditabrak mobil di belakang kita. Di jalan tol yang mulus dan lengang seperti ini, konvoi bergerak konstan pada kecepatan 100-120 kilometer per jam, bukan kecepatan yang rendah!
Rombongan dua kali berhenti di tengah jalan untuk memberi kesempatan Kakorlantas memeriksa kondisi fisik jalan dan memberikan keterangan pers kepada para wartawan, termasuk Kompas. Pemberhentian pertama di daerah Batang, dekat dengan proyek PLTU Batang yang tengah dikerjakan. Yang kedua di Jembatan Kalikuto, jembatan ikonik di kawasan Weleri, Kabupaten Kendal.
Di kedua titik itu rombongan berhenti cukup lama sehingga fotografer senior Kompas, Eddy Hasby, yang ikut dalam tim, sempat menerbangkan drone untuk memotret kondisi tol dari udara. Walau matahari sudah tenggelam saat kami tiba di Kalikuto, masih ada sisa-sisa cahaya senja yang membuat foto Mas Eddy dari udara menjadi begitu dramatis.
Perjalanan pun dilalui dengan mulus. Sepanjang jalan, ada sebersit rasa tak percaya saat melihat rambu-rambu penunjuk arah titik keluar tol, seperti Pekalongan, Batang, Tulis, Weleri, dan Kendal. Sungguh tak pernah terbayangkan akhirnya ada ruas tol yang menghubungkan Semarang dengan Jakarta tanpa terputus. Dulu saya berpikir, ruas tol ini mungkin baru akan selesai di masa anak atau cucu saya dewasa nanti.
Sambil melanjutkan perjalanan itu, Iwan mengetik berita untuk segera ditayangkan di laman Kompas.id. Sementara Mas Eddy di kursi belakang juga langsung mengutak-atik laptopnya untuk mengirim sebagian foto-foto dari drone tadi ke kantor di Jakarta.
Begitu asyiknya menikmati perjalanan, kami tak sadar bahwa sejak dari Jakarta belum melakukan pengisian ulang bahan bakar. Saat melihat ke panel instrumen terlihat bahan bakar tinggal tersisa seperempat. Sementara jarak dari Kalikuto ke Semarang masih sekitar 40 kilometer lagi.
Tak mungkin kami mengisi dulu bahan bakar karena tempat peristirahatan (rest area) di ruas tersebut belum dibuka. Namun, saat menghitung konsumsi bahan bakar rata-rata All New Hyundai Santa Fe ini sejak dari Jakarta, kami optimistis tidak akan kehabisan bahan bakar sampai ke Semarang.
Akhirnya kami sampai juga di interchange yang menghubungkan Tol Batang-Semarang dengan ruas tol dalam kota Semarang di kawasan Krapyak. Begitu rombongan menyatu dengan lalu lintas umum di Jalan Tol Krapyak, kami pun memisahkan diri sambil mengucapkan terima kasih kepada bapak-bapak polisi yang sudah mengizinkan kami bergabung.
Keberuntungan jurnalistik, atau apa pun itu namanya, tetaplah membutuhkan persiapan dan kesigapan tertentu dari si wartawan untuk meresponsnya. Tanpa itu, apa pun pintu kesempatan yang terbuka, akan terlewat begitu saja.
Benarlah apa kata orang bijak bahwa keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi saat persiapan bertemu dengan kesempatan.