Obat Rindu Sang Preman
Bagi para penggemar versi sinetronnya, kisah Preman Pensiun, yang kali ini diangkat ke layar lebar oleh sang kreatornya, sutradara sekaligus penulis naskah, Aris Nugraha, adalah semacam pengobat rindu.
Sinetron Preman Pensiun memang sudah berhenti diproduksi dan ditayangkan, setidaknya sejak tiga tahun lalu. Namun, menurut Aris, dirinya masih kerap dapat pertanyaan, bahkan desakan, untuk melanjutkannya kembali.
Tayangan fiksi yang mengambil setting lokasi di Kota Bandung dan bercerita tentang kehidupan para preman di sana dulu memang lumayan sukses. Sinetron tersebut bahkan sampai diproduksi selama tiga musim berturut-turut.
Karakter-karakter preman yang dibangun Aris juga sangat manusiawi dan melekat dalam ingatan. Tambah lagi, sosok mereka diperankan oleh para aktor watak macam mendiang Didi Petet, yang memerankan tokoh preman legendaris bernama Kang Bahar, serta Epy Kusnandar sebagai Muslihat.
Saking suksesnya para aktor kawakan tersebut main peran, Aris mengaku kerap didatangi para pentolan preman sungguhan, yang meyakini keberadaan Kang Bahar. Aris bercerita, para preman sungguhan itu malah sampai cium tangan menghormatinya lantaran dianggap dekat dengan sosok Kang Bahar.
”Kalau ketemu di luaran, saya pastinya ketakutan didatangi preman begitu. Tetapi, ini mereka sampai sebegitu hormatnya kepada saya karena yakin tokoh Kang Bahar benar ada dan saya kenal dekat sampai bisa membuatnya jadi sinetron, ha-ha-ha,” ujar Aris tertawa.
Tak hanya itu, Aris juga piawai menghidupkan sosok atau karakter lain dalam sinetronnya. Setiap karakter preman lainnya memang juga punya
ciri khas sehingga bisa menjadi gimmick tersendiri yang mudah diingat.
Ada dua preman berkepala plontos, Pipit (Ica Naga) dan Murad (Deny Firdaus), yang sekilas berpenampilan seperti kakak beradik lantaran Murad selalu melepaskan helm Pipit setiap selesai berboncengan sepeda motor.
Ada lagi Mang Uu, yang memerankan dirinya sendiri, preman senior yang selalu merespons omongan lawan bicaranya dengan kata atau kalimat pendek dalam bahasa Inggris pas-pasan, macam, ”Oh, no,”, ”Why?”, ”Oh, my God!”, dan beberapa ekspresi kocak lain.
Semua karakter preman tersebut muncul dalam versi film Preman Pensiun sama seperti versi sinetronnya semata-mata demi mengobati kerinduan para penggemarnya. Aris juga menambahkan, kemunculan potongan cuplikan sinetron di awal film tadi juga sekaligus dijadikan semacam kerangka waktu alias penanda 1.000 hari meninggalnya tokoh Kang Bahar, yang juga bertepatan dengan kurun lebih waktu kurang sama kepergian mendiang Didi Petet tahun 2015.
”Jadi, selain untuk mengobati rindu, saya juga menjadikan film Preman Pensiun sebagai penghormatan (tribute) untuk almarhum Didi Petet. Saya, Kang Epy, dan beliau sangat dekat,” ujar Aris saat dihubungi per telepon, Jumat (18/1/2019).
Secara garis besar, plot cerita Preman Pensiun versi layar lebar kali ini mengisahkan kelanjutan dan keberadaan para preman sepeninggal Kang Bahar. Mereka diceritakan juga ternyata ikut pensiun dan berusaha di bidang lain.
Ada yang membuka usaha pabrik rumahan makanan camilan kecimpring, seperti dilakukan Muslihat dan anak buahnya, Ujang (M Fajar Hidayatullah). Ada juga yang menjadi petugas keamanan pusat perbelanjaan, seperti Murad dan Pipit.
Ada lagi Gobang (Dedi Moch Jamasari) yang mencoba peruntungan menjadi juragan peternak ikan lele walaupun akhirnya gagal setelah mencoba tiga tahun dan bahkan ditinggal pergi oleh istrinya. Beberapa mantan preman lain ada yang berdagang kaus di kaki lima, berjualan jaket kulit, dan juga juru parkir.
Tren melayarlebarkan
Langkah mengangkat sinetron Preman Pensiun ke tayangan layar lebar bukanlah hal baru. Sebut saja sinetron Wiro Sableng, Si Doel
Anak Sekolahan, atau Bajaj Bajuri.
Terbaru, kisah Keluarga Cemara, yang hingga saat ini menurut penciptanya, Arswendo Atmowiloto, sudah ditonton sedikitnya 1.250.000 orang sejak tayang perdana pada 3 Januari lalu. Cerita tentang Keluarga Cemara sendiri ditulis Arswendo dan terbit di Majalah Hai, lalu disinetronkan dan tayang di TVRI pada era 1990-an.
Bagi Arswendo, tren melayarlebarkan sinetron-sinetron lama akan terus berlanjut, terutama lantaran kerinduan masyarakat terhadap cerita-cerita lama yang bagus, dalam beragam genre, yang menurut mereka sudah tidak lagi bisa mereka jumpai saat ini.
Seperti Keluarga Cemara, yang bercerita tentang perjuangan hidup sebuah keluarga untuk dapat bertahan di tengah kesulitan sambil terus menjaga keutuhan keluarga.
”Namun, tetap harus dikemas ulang dan disesuaikan dengan kondisi serta perkembangan keadaan saat ini. Jika enggak, ya, tidak bisa semenarik dulu lagi,” ujar Arswendo saat dihubungi per telepon.
Arswendo tidak sepakat jika ada penilaian tren melayarlebarkan sinetron lama seperti itu sebagai bentuk pragmatisme dan sekadar mencari keuntungan dengan menghadirkan dan menjual kembali nostalgia.
Tren tersebut bakal terus berlanjut, baik dengan memunculkan maupun melayarlebarkan sinetron-sinetron lama lainnya atau dengan menyekuelkan kisah-kisah yang sekarang telah diangkat ke layar bioskop.
”Masih banyak sinetron lama yang bagus jika dilayarlebarkan juga. Semisal Pariban dari Bandung, Satu Kakak Tujuh Ponakan, atau Losmen. Cuma penggarapannya harus serius dan bagus,” ujarnya.
Secara terpisah, Aris, kreator Preman Pensiun yang juga banyak menghasilkan karya sinetron bertema unik dan laku di pasaran, macam Bajaj Bajuri, mengaku awalnya ragu ketika dirinya diminta membuat episode lanjutan kisah para preman ke layar lebar.
”Saya ini ibarat ikan air tawar. Saya cukup tahu dirilah. Belum tentu cocok hidup di air laut,” ujarnya tentang peralihan dari sinetron ke layar lebar.
Tentang kemungkinan sekuel film Preman Pensiun, Aris terbuka saja dengan kemungkinan seperti itu.