Pemerintah Diminta Batalkan Pelepasan Kawasan Hutan di Sulawesi Tengah
›
Pemerintah Diminta Batalkan...
Iklan
Pemerintah Diminta Batalkan Pelepasan Kawasan Hutan di Sulawesi Tengah
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diminta membatalkan surat keputusan pelepasan kawasan hutan di Sulawesi Tengah. Sebab, surat keputusan itu bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018.
Pada 23 November 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor SK 517/MENLHK/SETJEN/PLA 2/11/2018. Surat keputusan itu berisi tentang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dengan luasan 9.964 hektar yang diberikan kepada PT Hardaya Inti Plantations (HIP) di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah.
Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Zenzi Suhadi mengatakan, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 yang diterbitkan lebih dulu, yakni tanggal 19 September 2018.
Inpres itu dikeluarkan untuk mengevaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan. Inpres itu juga mengamanatkan menunda permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kepala sawit selama tiga tahun sejak diterbitkan inpres itu.
Zenzi mengatakan, inpres itu sudah jelas berisi moratorium pelepasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit hingga 2021. Artinya, tidak bisa SK pelepasan hutan untuk perkebunan sawit diterbitkan setelah inpres itu berlaku.
”Kami mendesak KLHK membatalkan SK pelepasan kawasan hutan itu. Kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebaiknya tidak menerbitkan HGU kepada PT HIP,” kata Zenzi ketika dihubungi Rabu (9/1/2019).
Ia mengatakan, hal itu menandakan preseden buruk terhadap penegakan hukum di Indonesia. Zenzi menemukan keganjilan di dalam SK yang dikeluarkan. Salah satu poin di SK menyebutkan bahwa PT HIP diberi hak untuk menyelesaikan konflik jika ada hak pihak ketiga di kawasan yang dilepaskan.
Hal itu dinilai bertentangan dengan UU N 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di dalam undang-undang itu, pejabat yang berwenang menerbitkan izin wajib untuk mengendalikan dan mengontrol dampak dari izin yang diterbitkan.
”Ini berbahaya. Artinya, KLHK melepaskan tanggung jawab kepada konsekuensi kewenangan yang dia ambil,” ujar Zenzi.
Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Vanda Mutia Dewi mengatakan bahwa SK pelepasan hutan itu perlu dibatalkan karena akan berdampak terhadap persepsi publik dan lingkungan. Analisis spasial Greenomics Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80 persen dari areal yang dilepas merupakan hutan lebat.
Hasil pemetaan Greenomics menunjukkan sekitar 75 persen areal yang dilepas memiliki tutupan hutan berupa hutan sekunder. Greenomics mendapati juga sekitar 5 persen hutan primer dari luasan areal yang dilepaskan.
Vanda mengatakan, jika pelepasan kawasan hutan itu tidak dibatalkan, hutan yang masih lebat dan berkerapatan tinggi itu terancam diratakan dengan tanah untuk ditanami sawit.
”Ini perlu dicegah. Jangan sampai runtuh persepsi publik terhadap inpres moratorium sawit. Untuk itu, pelepasan kawasan hutan itu perlu segera dibatalkan,” ujar Vanda saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Sigit Hardwinarto sejak seminggu lalu telah dihubungi melalui pesan Whatssapp dan panggilan telepon. Namun, upaya konfirmasi itu tidak mendapat jawaban. (SUCIPTO)