Penyebar Hoaks Ijazah Palsu Presiden Ditangkap, Polisi Terus Pantau Medsos
›
Penyebar Hoaks Ijazah Palsu...
Iklan
Penyebar Hoaks Ijazah Palsu Presiden Ditangkap, Polisi Terus Pantau Medsos
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian kembali menangkap penyebar hoaks atau informasi bohong pada awal tahun 2019. Penyebaran hoaks yang masih sangat massif di tahun politik perlu diantisipasi dengan pengawasan bersama oleh publik dan penegak hukum. Polisi pun terus memantau media sosial, tempat penyebaran hoaks sering dilakukan.
Meski masif, penyebaran hoaks menjelang pemilu dinilai tidak banyak berguna untuk menarik simpati masyarakat, khususnya yang belum menentukan pilihan.
Setelah empat tersangka penyebar hoaks tujuh kontainer berisi surat suara pemilihan presiden yang tercoblos, Bareskrim Polri kembali menangkap penyebar hoaks soal ijazah sekolah Presiden Joko Widodo yang disebut palsu pada Sabtu (19/1/2019) dini hari.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, pihak kepolisian terus melakukan beberapa langkah untuk mencari pelaku tindak pidana penyebaran kabar bohong, termasuk di tahun politik saat ini.
”Kami bersama Badan Pengawas Pemilu dan Kejaksaan Agung melaksanakan pengawasan dan patroli siber untuk memonitor akun-akun yang menyebarkan hoaks atau kabar bohong, berita palsu, serta ujaran kebencian terkait pemilu. Penegakan hukum jadi upaya terakhir ketika upaya-upaya pencegahan sudah dilaksanakan maksimal,” tutur Dedi di Jakarta, Minggu (20/1/2019).
Sejauh ini, kepolisian melihat penyebar hoaks di awal tahun politik atau sampai pertengahan Januari ini didominasi pelaku individu. Mereka rata-rata disangkakan atas pelanggaran Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Barang.
Pasal itu berbunyi, siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Dedi mengatakan, polisi telah meminta keterangan tersangka penyebar hoaks ijazah palsu Presiden Jokowi, Umar Kholid Harahap (28). Menurut Dedi, hoaks tersebut awalnya disebar melalui laman akun Facebook milik Umar. Tersangka menulis, ijazah yang menyatakan Jokowi lulus dari SMA Negeri 6 Surakarta pada tahun 1980, tidak sesuai dengan tahun kehadiran sekolah tersebut pada 1986.
Setelah dikonfirmasi ke pihak sekolah, sekolah itu didirikan pada 26 November 1975 dengan nama Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP). Nama sekolah diubah menjadi SMAN 6 Surakarta pada 1985, yang dilegalkan oleh surat keputusan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0353/0/1985.
Melalui Direktorat Tindak Pidana Siber, tersangka sedang diperiksa, tetapi tidak akan dilakukan penahan. Sementara itu, untuk tersangka kasus hoaks tujuh kontainer surat suara pilres, menurut Dedi, berkasnya telah memasuki proses pelimpahan berkas pemeriksaan ke Kejaksaan Agung.
Tak berpengaruh
Peneliti di Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), Dedy Helsyanto, melihat bahwa hoaks dalam pemilu akan banyak bermunculan ketika masyarakat terlalu mengultuskan pasangan calon tertentu. Namun, hoaks terhadap pasangan calon tidak akan memengaruhi masyarakat yang belum menentukan pilihan.
”Masyarakat di Pemilu 2019 ini jangan mengultuskan tokoh yang didukungnya, sebaliknya membenci tokoh yang menjadi lawannya. Kalau ini terus terjadi, hoaks akan terus muncul dan menyebar,” tuturnya saat dihubungi hari ini.
Kepada masyarakat, Dedy mengingatkan agar publik mencari tahu kebenaran dari kabar yang didapatnya. Selain itu, juga tidak langsung menyebarkan kabar yang masih simpang siur. ”Jika tidak, ya siap tidak siap harus menerima hukuman penjara dan atau denda,” katanya.
Sementara itu, ia menilai, hoaks tidak akan berpengaruh pada pemilih yang belum menentukan pilihan (swing voter). Pemilih kategori tersebut saat ini tengah diperebutkan kedua pasangan calon di Pilpres 2019.
”Swing voter ini umumnya adalah pemilih rasional. Mereka cenderung tidak percaya dengan hoaks. Dengan begitu, penyebaran hoaks yang tujuannya untuk mendapatkan suara mereka akan sia-sia dan terlalu mahal harganya jika dibandingkan dengan risiko hukum yang ada,” kata Dedy. (ERIKA KURNIA)