Saling Berbagi dalam Hunian
Tempat tinggal bersama atau coliving mulai marak dibangun di sejumlah kota untuk mengisi kebutuhan hunian kaum urban milenial beberapa tahun terakhir. Hunian berkonsep komunal ini mengusung kepraktisan, kebersamaan, dan saling berbagi atau sharing antar-penghuni.
Kebutuhan hunian bagi generasi milenial sudah tidak bisa ditawar lagi. Dari tingkat kekurangan rumah di Indonesia yang mencapai 13,6 juta rumah, sebagian di antaranya bersumber dari generasi milenial.
Generasi yang lahir pada rentang 1980-1990-an itu kini mendominasi sektor-sektor produktif dengan gaya hidup praktis dan dinamis. Tren kebutuhan hunian pun bergeser, yakni hunian yang menyatu dengan lokasi kerja ataupun tempat usaha. Namun, kepemilikan hunian dengan fasilitas lengkap di kota besar kerap terbentur daya beli.
Kehadiran coliving menawarkan hunian sewa yang dilengkapi ruang kerja bersama (coworking) sekaligus ruang berkumpul komunitas penghuni. Berbeda halnya dengan apartemen sewa atau apartemen milik yang lebih mengutamakan privasi hunian, coliving mengedepankan konsep berbagi fasilitas antar-penghuni.
Cohive, usaha rintisan yang tengah mengembangkan coworking dengan merek CoHive, kini mulai merambah ke bisnis coliving. CoHive bakal merealisasikan bangunan coliving pada Maret 2019. Lokasinya berada di Jakarta Barat.
Public Relations CoHive Rina Kurniawan mengemukakan, tren gaya hidup kaum urban cenderung menginginkan kemudahan dan kenyamanan menjalani aktivitas, menghindari kemacetan jalan, serta bisa bekerja seefisien dan seefektif mungkin.
”Orang-orang tersebut memikirkan dapat tinggal dan bekerja di satu tempat yang sama. Ide coliving pun tercetus,” ujarnya.
Konsep coliving sebenarnya tidak hanya berhenti pada tempat tinggal bersama. Konsep ini ditunjang fasilitas lengkap yang memungkinkan penghuninya melakukan beberapa kegiatan dalam satu tempat, seperti bekerja, sosialisasi, dan berolahraga. ”Untuk coliving, kami mengelola sekitar 3.000 meter persegi,” kata Rina.
Salah satu coliving yang sudah beroperasi di DKI Jakarta adalah Dwell House di Jalan Pangeran Antasari 27, Jakarta Selatan. Dwell House telah hadir selama setahun, dikelola oleh wellspaces.co Group. Sebelum berganti menjadi wellspaces.co Group, namanya adalah Freeware Spaces Group. Freeware Spaces Group berdiri pada 2012 dan salah satu bisnis pertama adalah ruang kerja bersama.
Mirip indekos
CEO wellspaces.co Group Aryo Ariotedjo mengatakan, wujud coliving tidak jauh berbeda dengan kos-kosan pada umumnya yang terdiri dari sejumlah kamar untuk disewakan. Perbedaannya terletak pada aktivitas membangun kebersamaan yang coba dibangun oleh pengelolanya. Aktivitas ini biasanya melibatkan penghuni hingga komunitas sosial.
Aryo sudah lama berkecimpung di ekosistem industri rintisan bidang teknologi. Misalnya, menjadi Jakarta Lead Organizer di Startup Weekend serta founder sekaligus Managing Partner Grupara Ventures. Ruang kerja bersama yang dikembangkan secara tidak langsung pun turut memfasilitasi ekosistem industri rintisan bidang teknologi di Ibu Kota.
Dwell House Jalan Pangeran Antasari berisi 15 kamar. Gedungnya berasal dari bangunan indekosan lama yang didesain ulang menyesuaikan gaya kekinian. Minimalis, warna hitam putih, dan interior modern. Ruang depan setelah pintu masuk berfungsi sebagai penerima tamu dan ruang bersama untuk bekerja ataupun bercengkerama antar-penghuni. Ada pula dapur dan fasilitas internet.
Setiap kamar sudah langsung berisi interior, penyejuk ruangan, dan kamar mandi. Di pintu kamar terpasang kunci yang hanya bisa dibuka menggunakan data biometrik. Harga sewa per bulan mencapai sekitar Rp 4 juta. ”Dwell House berada pada kelas setingkat di bawah kos-kosan eksklusif,” katanya.
Coliving itu memiliki pengurus khusus pengembangan komunitas. Perannya memang membangun kebersamaan antar-penghuni dan komunitas sosial lainnya di ekosistem bisnis wellspaces.co, seperti pengguna ruang kerja bersama. Saat ini ke-15 kamar telah terisi. Kebanyakan adalah karyawan perusahaan rintisan bidang teknologi.
”Secara kebetulan, penghuni coliving didominasi pekerja milenial urban yang menyukai fleksibilitas. Jika mau sewa apartemen atau beli rumah tapak, orang, kan, harus menyetor uang muka di depan atau biaya penggunaan dengan durasi waktu yang panjang,” tutur Aryo.
Secara kebetulan, penghuni coliving didominasi pekerja milenial urban yang menyukai fleksibilitas. Jika mau sewa apartemen atau beli rumah tapak, orang, kan, harus menyetor uang muka di depan atau biaya penggunaan dengan durasi waktu yang panjang.
Meski identik dengan konsep hunian sewa, konsep coliving kini juga mulai diadopsi pengembang apartemen milik. Pengembang PT Setiawan Dwi Tunggal menggarap Apartemen The Parc di kawasan superblok South City, Tangerang Selatan, Banten, dengan menonjolkan konsep coliving. Apartemen pada lahan seluas 1,5 hektar itu menyasar kaum milenial dengan menghadirkan fasilitas ruang kerja bersama (coworking space) dengan label Gowork.
Ruang kerja bersama dengan merek Gowork seluas 150 meter persegi di dalam gedung apartemen dapat diakses oleh seluruh penghuni apartemen sebagai bagian dari fasilitas kepenghunian. Dengan konsep ruang kerja bersama itu, diharapkan terbentuk komunitas penghuni apartemen yang saling berinteraksi dan berbagi.
”Penyediaan ruang kerja bersama di apartemen merupakan terobosan untuk daya tarik pasar milenial,” ungkap Associate Director Sales & Marketing PT Setiawan Dwi Tunggal Stevie Faverius Jaya.
Ketua Asosiasi Coworking Indonesia Faye Alund mengatakan, asosiasi mencatat pada 2018 terdapat lebih dari 230 ruang kerja bersama di 45 kota. Jumlah tersebut dikelola oleh 170 operator atau merek ruang kerja bersama. Coworking space, office space, virtual office, coliving, dan event space memiliki perbedaan karakteristik. Masing-masing bisa menjadi bisnis independen.
Faye berpendapat, faktor penggerak bisnis coliving didominasi oleh keberadaan digital nomads atau perusahaan rintisan bidang teknologi dan bisnis lainnya yang sedang menjalankan proyek sementara. Dengan kata lain, coliving sejatinya memang diperuntukkan bagi orang-orang yang mau hidup bersama, bukan untuk waktu permanen.
Senior Associate Director Colliers Indonesia Aldi Garibaldi mengemukakan, konsep coliving menyerupai modernisasi kos-kosan dengan kelengkapan fasilitas dan ruang bersama. Dengan kelengkapan fasilitas tersebut, coliving mampu tampil dengan tarif lebih efisien karena mengedepankan prinsip saling berbagi antar-penghuni.
”Sewa apartemen atau kos-kosan yang biasanya dikenakan beragam tarif untuk fasilitas tambahan, seperti internet, TV kabel, dan sarana olahraga, dapat ditekan dengan coliving yang menyediakan fasilitas untuk dipakai bersama,” katanya.
Senada dengan itu, Director Head of Research and Consultants Savills Indonesia Anton Sitorus berpendapat, pendekatan ekonomi berbagi sejatinya sudah mendarah daging di masyarakat Indonesia. Namun, pendekatan tersebut kini mendapat sentuhan modern, digerakkan oleh generasi milenial, dan dipengaruhi oleh tren industri digital.
”Pengelolanya paham norma yang ingin didobrak oleh generasi milenial. Misalnya, sewa ruang kantor dulu harus hitungan tahun di tempat luas, kini bisa menyewa per jam dan per luas meja. Pengelolanya pun akan terus berinovasi bisnis jasa lainnya dengan tetap menjunjung tinggi pendekatan ekonomi berbagi,” katannya.