BANDUNG, KOMPAS-Anak-anak dan remaja berusia hingga 14 tahun paling rentan terserang demam berdarah dengue di Kota Bandung, Jawa Barat. Sepanjang tahun 2018, dari total 2.826 kasus, sebanyak 40 persen penderitanya adalah anak dan remaja.
“Belajar dari pengalaman itu, kami akan semakin mengintensifkan pencegahannya. Salah satunya sosialisasi bahaya demam berdarah dengue ke sekolah-sekolah. Daya tahan anak dan remaja berusia di bawah 14 tahun belum sebaik orang-orang dewasa,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Dinas Kesehatan Kota Bandung Rosye Arosdiani Apip di Kota Bandung, Senin (21/1/2019).
Kota Bandung menjadi daerah terbanyak kasus demam berdarah dengue (DBD) di Jabar tahun 2018. Dari total 11.107 kasus, sebanyak 2.826 kasus berasal dari Kota Bandung. Dari total kematian akibat DBD di Jabar sebanyak 55 orang, tujuh orang diantaranya adalah warga ibukota Jabar ini.
Rosye mengatakan, karakteristik Kota Bandung yang memiliki jumlah penduduk besar, mobilitas tinggi, serta banyak permukiman padat, rawan marak kasus DBD. Kondisi itu diperparah dengan belum idealnya kesadaran masyarakat terhadap upaya pemberantasan sarang nyamuk (PSN).
“Kasus kematian juga dipicu minimnya pengetahuan masyarakat. Pasien datang ke fasilitas layanan kesehatan saat kondisinya sudah parah,” kata dia.
Oleh karena itu, Rosye mengatakan, beragam program sudah gencar dilakukan. Selain mengerahkan juru pemantau jentik (jumantik), pihaknya akan mengundang seluruh kepala SD dan SMP di Kota Bandung untuk mewaspadai hal ini.
Dia mengatakan, akan kembali mempromosikan kembali pentingnya PSN 3M Plus. Di samping menguras dan menutup tempat penampungan air serta mendaur ulang barang bekas, penting untuk menaburkan larvasida, menggunakan obat nyamuk atau losion anti nyamuk, serta menggunakan kelambu saat tidur.
“Fogging (pengasapan) baik untuk membunuh nyamuk dewasa. Namun, pencegahan adalah yang utama. Seekor nyamuk dapat bertelur hingga 200 butir. Kami berharap, sekolah menjadi sumber informasi awal guna untuk menekan kasus ini. Jangan sampai sekolah memicu munculnya DBD,” ucap Rosye.
Ana Suhana (72) warga Padasuka, Kota Bandung, mengatakan, cucunya, Kayla Nur Arifah Ramadani (8), demam dengan panas tinggi sejak Sabtu (12/1). Divonis terserang DBD, Kayla kini dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ujung Berung, Kota Bandung.
“Setelah pulang sekolah, dia demam. Tubuhnya panas naik turun. Setelah cek laboratorium, Kayla positif DBD,” kata Suhana.
Wakil Kepala Sekolah Bidang Humas SMPN 2 Dwi Yanti tidak ingin hal itu terjadi pada siswanya. Oleh karena itu, sejak awal, serangkaian langkah pencegahan rutin dilakukan.
Dia mencontohkan kebijakan sekolah yang tidak menyediakan bak penampungan air permanen. Sebagai penggantinya, hanya disediakan ember kecil. Tujuannya, mencegah genangan air dalam waktu lama. Selain itu, pihaknya juga sengaja memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, nila dan mujair, di kolam sekolah.
“Sebanyak 70 orang guru dan petugas tata usaha juga berbagi tugas memantau kebersihan lingkungan. Bersama tenaga honorer khusus kebersihan yang rutin membuang sampah setiap hari, kami ingin meminimalkan munculnya penyakit berbahaya sejak dari sekolah,” kata dia.
Terbatas
Mitigasi meminimalkan kasus DBD juga dilakukan di Kabupaten Cirebon, Jabar, lewat peran jumantik. Pada 2018, tercatat 215 kasus DBD dengan korban meninggal mencapai delapan orang di Kabupaten Cirebon.
“Musim hujan adalah saat paling rawan kemunculan DBD,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di Dinkes Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana.
Nanang mengatakan, saat ini, sebanyak 60 puskesmas yang tersebar di 40 kecamatan di Cirebon sudah memiliki kader jumantik. Setiap kader biasanya memantau satu desa. Selain mengecek sarang nyamuk yang menjadi sumber penularan penyakit, jumantik juga menyosialisasikan pencegahan DBD, seperti menguras bak mandi secara rutin.
“Di awal 2019, dilaporkan ada 10 kasus DBD. Semoga laju pertambahannya bisa ditekan,” kata dia.
Salah satu puskesmas yang aktif menggerakkan kader jumantik ialah Puskesmas Pamengkang, Kecamatan Mundu. Puskesmas ini memiliki lima kader jumantik untuk lima desa.
Setiap kader ditargetkan berkeliling 40 sampai 60 rumah setiap pekan. Mereka juga membawa abate, serbuk obat pembasmi jentik, jika diperlukan. Hasil pemantauan dilaporkan ke puskesmas setiap bulan.
Hingga pertengahan Januari. Tercatat satu kasus DBD di sekitar puskesmas itu. Jumlah itu menurun dibandingkan 2018, sebanyak tiga kasus. Tidak ada korban jiwa saat itu.
Sumiati (60), kader jumantik di Desa Setupatok, misalnya, telah mendatangi lebih dari 80 rumah di dua minggu pertama tahun 2019. Nenek enam cucu ini kerap mengingatkan warga untuk rutin menguras bak kamar mandi, setidaknya tiga kali sehari untuk mencegah munculnya sarang nyamuk.
“Warga sudah tahu kalau musim hujan seperti ini, pasti saya datang untuk mengecek sarang nyamuk di rumah. Tapi, masih ada satu atau dua orang yang tidak mau rumahnya diperiksa,” ujarnya.
Kendala lainnya, lanjutnya, adalah kesibukan sebagian warga yang jarang berada di rumah karena harus berdagang di luar desa. Akibatnya, bak mandi dan sarana sanitasi lainnya jadi tak terurus.
“Saya juga berharap kader jumantik ditambah. Saya kerepotan berkeliling memantau jentik nyamuk di 3.000 rumah di desa ini,” ujarnya.
Kepala Puskesmas Pamengkang Nila Sofyan mengatakan, selama ini, jumlah kader jumantik terbatas. Keberadaannya bergantung pada anggaran Bantuan Operasional Kesehatan Kementerian Kesehatan.
“Tahun lalu, anggarannya sekitar Rp 300 juta dan digunakan untuk beragam kegiatan. Namun, kami berupaya menjangkau semua rumah. Jumantik dibantu petugas kesehatan lainnya. Kami juga terus melakukan sosialisasi. Tahun ini rencananya, setiap RT bakal punya satu jumantik,” ujarnya.