JAKARTA, KOMPAS - Survei Indonesia Millennial Report 2019 menyebutkan seperlima milenial tidak mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI sebagai sistem negara.
Menghadirkan pendidikan Pancasila, sejarah kontemporer, serta keagamaan yang inklusif, sebagai mata pelajaran utama di sekolah menjadi sangat penting. Hal ini berguna untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila yang cenderung melemah setelah era Reformasi.
Indonesia bukan negara agama atau sekuler, melainkan negara yang Ketuhanan Yang Maha Esa
Survei independen oleh IDN Research Institute bersama Alvara Research Center pada akhir 2018 menunjukkan sebanyak 1 dari 5 milenial dari total 1.400 responden di 12 kota, setuju dengan sistem khilafah yang berbasis keagamaan. Potensi tersebut ada pada kategori perempuan dan milenial senior, yakni mereka yang lahir di antara tahun 1983-1990.
Peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Hendro Muhaimin mengatakan, angka survei tersebut cukup mengkhawatirkan adanya tren peningkatan sejak 2010. "Kondisi ini harus direspons oleh kita semua, karena generasi kita mulai kehilangan ideologi atau dasar negaranya," ujarnya saat dihubungi melalui telepon pada Senin (21/1/2019).
Menurutnya, ada tiga alasan yang setidaknya meningkatkan kecenderungan milenial yang lahir di antara 1983-1998 itu memilih ideologi berlandaskan khilafah atau kepemimpinan berbasis agama. Alasan itu terkait budaya yang dibentuk media baru, sentimen agama akibat efek politik negara, dan tak adanya pendidikan Pancasila yang inklusif.
"Sentimen keagamaan akibat aktivitas politik yang menular di media baru jadi wacana yang terus berulang. Dari sana, kelompok pendukung khilafah masuk dan mendukung identitas politik. Sementara itu, masih ada pemahaman yang keliru antara agama dan negara. Indonesia bukan negara agama atau sekuler, melainkan negara yang Ketuhanan Yang Maha Esa," tutur Hendro.
Plt Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono pun mengungkapkan, rendahnya kepercayaan milenial pada ideologi Pancasila juga disebabkan karena Pancasila tidak hadir secara inklusif di berbagai level pendidikan. Hal itu terutama terjadi setelah Reformasi pada 1998.
"Ini membawa dampak dalam tataran pengetahuan. Mereka yang tidak mengenal Pancasila cenderung berpola pikir tidak inklusif dan intoleran. Budaya intoleran yang kuat membuat milenial mudah curiga dan berprasangka buruk sehingga mudah diadu domba," ucapnya, yang dihubungi melalui telepon.
Evaluasi yang dilakukan BPIP sejauh ini menunjukkan pembelajaran Pancasila tidak efektif jika hanya melalui ceramah di kelas. Menurut Hariyono, hal ini perlu diperbaiki dengan mengubah metode pembelajaran Pancasila, salah satunya dengan menghadirkan materi sejarah kontemporer. "Selain itu juga menghadirkan pendidikan agama yang inklusif," jelasnya.
Saat ini, BPIP dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tengah melakukan proyek percontohan menerapkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di 80 sekolah. Mata pelajaran itu diterapkan di sekolah dasar hingga menengah atas dan yang sederajat. Mata pelajaran ini direncanakan diterapkan pada tahun ajaran 2019/2020.
Jika dikembalikan lagi ke konsep kebangsaan, nasionalisme yang diinginkan pendiri bangsa adalah yang inklusif
Selain itu, BPIP juga mendorong Kemdikbud menerapkan pelajaran terkait sejarah dunia kontemporer. Ini khususnya untuk membuka wawasan mengenai kondisi negara-negara yang mengalami konflik keagamaan, seperti Afganistan, Irak, hingga Suriah. BPIP juga tengah melakukan pendekatan dengan Kementerian Agama agar setiap guru agama bisa mengajarkan materi yang inklusif, yaitu tidak hanya mengajarkan prinsip agama yang ekslusif tapi juga universal.
"Pendidikan yang inklusif akan meningkatkan literasi di aspek-aspek tersebut (pendidikan Pancasila dan keagamaan yang inklusif) dan mendorong generasi muda untuk kritis, baik di dunia nyata maupun digital. Karena jika dikembalikan lagi ke konsep kebangsaan, nasionalisme yang diinginkan pendiri bangsa adalah yang inklusif," jelas Hariyono.
Selain melalui pendidikan formal, lanjut Hariyono, penerapan nilai-nilai Pancasila juga harus dihadirkan di ruang-ruang publik yang terbuka dan toleran, seperti dalam kegiatan ekstrakulikuler di sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Upaya tersebut perlu digalakan masyarakat. (ERIKA KURNIA)