Layanan Trans Semarang Terus Berkembang
Demam bus "Transjakarta" melanda kota-kota di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Pembangunan transportasi umum massa berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT) meskipun terus menuai pro kontra sejak awal beroperasi pada 15 Januari 2004 hingga kini, tetapi dinilai cukup berhasil di Jakarta.
Cakupan luas hingga 13 koridor utama dan ratusan rute pengembangan menjadikan Transjakarta alternatif menarik bagi warga ibu kota bermobilitas. Wajah ibu kota pun dinilai berubah menjadi makin baik.
Hal tersebut makin mendorong kota-kota lain turut mengembangkan BRT. Apalagi ada dukungan program BRT berupa hibah bus dari pusat, yaitu dari Kementerian Perhubungan. Salah satu layanan BRT yang berkembang cukup baik yaitu di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Sejak pertama dioperasikan pada 2009, layanan bernama Trans Semarang tersebut kini memiliki tujuh koridor yang melayani transportasi dalam kota bagi warga. Penggunaan bahan bakar gas juga telah dimulai.
Ketujuh koridor itu yakni Mangkang-Penggaron (I), Terboyo-Ungaran (II), Pelabuhan Tanjung Emas-Taman Diponegoro (III), Cangkiran-Stasiun Tawang (IV), Meteseh-Bandara Ahmad Yani (V), Unnes-Undip (VI), dan Terboyo-Jalan Pemuda (VII). Ditambah rute Bandara Ahmad Yani-Simpang Lima.
Saat ini, terdapat 153 unit bus yang berasal dari bantuan Kementerian Perhubungan, bantuan keuangan Pemprov Jawa Tengah dan konsorsium. Armada terdiri dari bus medium berkapasitas 43 orang (duduk dan berdiri) dan bus besar dengan kapasitas 82 orang. Keberangkatan pertama bus pukul 05.30 dan terakhir pukul 18.30.
Harga tiket yakni Rp 3.500 untuk umum dan Rp 1.000 untuk pelajar/mahasiswa serta pemegang kartu identitas anak (KIA). Pembelian tiket dilakukan dengan tunai dan nontunai, seperti menggunakan kartu BRT Kota Semarang, kartu Semarang Hebat (Brizzi dan BNI Tap Cash), Telkomsel t-cash, OVO, serta Go Pay.
Berstatus badan layanan umum (BLU) sejak 2010, terdapat konsorsium yang terdiri dari para pengusaha kendaraan umum pada rute yang dilalui BRT. Artinya, pihak angkutan umum, seperti angkutan kota yang sebelumnya bertrayek di rute koridor BRT, diberi pemahaman serta dirangkul.
"Dengan status BLU, kami bisa mengelola keuangan sendiri dan tak bergantung pada APBD. Saat ada keperluan pengembangan yang mesti segera dilaksanakan, tak perlu menunggu penganggaran tahun-tahun berikutnya," kata Kepala BLU UPTD Trans Semarang, Ade Bhakti Ariawan, Jumat (18/1/2019).
Kendati demikian, untuk operasional BRT tetap menggunakan APBD Kota Semarang. Pada 2019, total biaya operasional Trans Semarang yakni sebesar Rp 140 miliar dan 112 miliar di antaranya dari APBD.
Dengan status BLU, kami bisa mengelola keuangan sendiri dan tak bergantung pada APBD
"Ade Bhakti Ariawan"
Menurut rencana, pada 2019 akan diluncurkan Koridor VIII dengan rute Cangkiran-Jalan Pemuda. Selain itu, juga akan diluncurkan Koridor IX Ngaliyan-Jalan Madukoro, Koridor X Pasar Banget Ayu-Kaligawe, dan Koridor XI USM Penggaron-Ungaran. Namun, armada untuk ketiga koridor itu berupa angkutan feeder (pengumpan).
Bahan bakar gas
Pada 9 Januari 2019, Pemkot Semarang meluncurkan penggunaan alat konversi bahan bakar dari solar ke gas (BBG) untuk 72 unit bus Trans Semarang. Proyek senilai Rp 10 miliar itu kerja sama Kota Semarang dan Kota Toyama Jepang. Skema pembiayaan yakni 50-50, dari Kota Toyama dan APBD Kota Semarang.
Ade menuturkan, manfaat penggunaan BBG itu antara lain emisi kendaraan menjadi lebih rendah sehingga ramah lingkungan. "Biaya operasional menjadi lebih murah karena penghematan bahan bakar. Selain itu, mesin lebih awet, halus, dan bertenaga, terutama saat di tanjakan," kata Ade.
Alex Bima (17), warga Meteseh, Kota Semarang yang bersekolah di SMKN 7 Semarang, mengaku sangat terbantu dengan adanya layanan Trans Semarang. "Kalau naik angkutan umum biasa, harus beberapa kali naik dan ribet, tetapi dengan BRT cukup sekali naik. Tiketnya pun sangat murah Rp 1.000," katanya.
Hal serupa juga dirasakan Agus (17), warga Pedurungan, Kota Semarang. Meskipun harus berjalan dulu ke halte, BRT dinilai praktis. Kendati demikian, pada waktu jam-jam pulang sekolah, ia cukup lama menunggu bus, terkadang lebih dari setengah jam. Pada jam-jam tersebut, bus pun penuh. Ia pun berharap armada ditambah.
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menuturkan, dibandingkan kota lain, Semarang menjadi salah satu daerah yang cukup baik dalam pengembangan BRT. Namun, pelibatan angkutan umum existing (yang sudah beroperasi sebelumnya) perlu lebih optimal, sehingga APBD dapat lebih termanfaatkan termasuk dalam menghasilkan pendapatan.
Lebih jauh, Djoko menilai, pengembangan sarana transportasi dalam satu kabupaten/kota bergantung pada kemauan dan kepemimpinan kepala daerah. "Harus ada political will dari para kepala daerah. Yang paling utama soal sistem. Sebelum fisik, harus ada sistem yang terbangun," katanya.
Tak hanya di dalam kota, Djoko juga menilai angkutan aglomerasi yang menghubungkan kabupaten/kota dalam satu wilayah, seperti Trans Jateng yang dikembangkan Pemprov Jateng, penting. Saat ini, Trans Jateng telah beroperasi untuk rute Kota Semarang-Bawen dan Purwokerto-Purbalingga.
Menurut rencana, Trans Jateng beroperasi di empat aglomerasi, yakni Kedungsepur (Kendal, Demak, Ungaran, Kota Salatiga, Semarang, Purwodadi), Solo Raya (Solo, Sragen, Klaten, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar), Purwomanggung (Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung), dan Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen).