Masyarakat Tak Perlu Ragu Laporkan Kekerasan terhadap Anak
›
Masyarakat Tak Perlu Ragu...
Iklan
Masyarakat Tak Perlu Ragu Laporkan Kekerasan terhadap Anak
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
Siang dan malam, tangisan bayi satu tahun tujuh bulan, QLR, diikuti hardikan RS (27), ibunya, rutin didengar orang-orang terdekat di sekitar kontrakannya. Setelah bayi malang itu meninggal, baru semua yang didengar pemilik kontrakan, pengontrak, hingga tetangga dikuak dan dibicarakan.
Rumah Muhammad Ali Siregar (66) di Jalan H Ikhwan Nomor 117, RT 004 RW 003, Sangiang Jaya, Periuk, Tangerang, Banten, beberapa kali didatangi wartawan pada Minggu (20/1/2019). Garasi yang kini dikontrak RS dan Wage (50), suaminya, kini disegel dengan garis polisi kuning. Rupanya, kontrakan itu menjadi saksi bisu cubitan dan tinjuan RS yang dilayangkan kepada QLR setidaknya dua bulan terakhir.
”Empat bulan lalu, si ibu (RS) mulai ngontrak di tempat saya. Dua bulan kemudian, suaminya (Wage), ikut kemari. Dia bawa juga anaknya yang selama ini dititipkan ke bapak asuh di Cirebon (Jawa Barat),” kata Ali yang membahasakan dirinya sebagai ”Pak Haji”.
Ali dan istrinya, Umi Kalsum (60), hanya mengetahui QLR adalah anak RS dari suami sebelumnya yang sama-sama asal Palembang, Sumatera Selatan. Mantan suaminya itu pergi setelah dua bulan RS mengandung QLR dan tak pernah kembali hingga putrinya lahir.
Selain RS dan Wage, ada pula pasangan Miftah (32) dan Nuraini (32) beserta anak perempuan tiga tahun serta seorang kerabat lain yang mengontrak di sana. Mereka menempati ruang di belakang garasi. Tidak ada satu pun pintu di belakang garasi sehingga keluarga RS seakan terisolasi dari pergaulan internal kontrakan. Kendati begitu, suara tangisan dan hardikan dapat menembus tembok garasi.
Ali dan Umi mengaku tidak pernah mendengar tangisan QLR. Sebab, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di ruang tengah untuk menonton televisi. Meski demikian, salah satu anaknya, Arif, yang bekerja sebagai pengojek daring, sering mendengar suara tangisan QLR pada malam hari sekitar pukul 23.00.
”Kalau sudah menangis, ibunya bakal bilang, ’Heh! Diam lo!’” kata Ali menirukan cerita Arif yang baru mengungkapkan kesaksiannya pada kedua orangtuanya setelah QLR meninggal.
Miftah yang baru berangkat mengojek sore hari juga kerap mendengar tangisan dan hardikan yang sama dari garasi saat siang hari. Namun, suara-suara itu dianggapnya wajar. ”Kalau anak mereka menangis, anak saya, kan, juga menangis. Dia ngingetin buat diem, saya juga gitu. Enggak ada yang aneh,” kata Miftah.
Sekali waktu saat akan berangkat mengojek, Miftah melihat sekitar mata QLR lebam hitam. Ia mengatakan tidak sempat bertanya karena RS yang menggendong QLR keburu menjauh.
Nuraini punya cerita lain. Jika QLR menangis terus, RS akan membawanya ke kamar mandi, kemudian mengguyurnya tanpa henti dengan air. ”Kalau diguyur terus, kan, anaknya enggak sempat menangis,” katanya. Suara guyuran air sangat jelas karena kamar mandi di garasi terletak di belakang, berhadapan dengan pintu depan kontrakan Nuraini.
Semua penghuni rumah itu menyatakan RS dan Wage cukup ramah dan selalu tersenyum jika menyapa atau disapa. Tidak pernah ada masalah apa pun selama empat bulan terakhir. Namun, saat ditanyai kenapa tidak menegur saat merasa ada yang janggal, semuanya berdalih keluarga itu jarang keluar dan agak tertutup.
”Namanya orang jaga toko. Anaknya juga jarang main dengan anak saya karena enggak pernah keluar,” kata Ali.
Semua baru terkuak saat Ratna, anak Ali dan Umi, panik memanggil sang ibu. Umi mendapati QLR sudah lemas seperti tak bernyawa. Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Sejati, Jatiuwung, gadis mungil itu mengembuskan napas terakhir dengan luka lebam di sekujur tubuhnya.
Kepala Kepolisian Sektor Jatiuwung Komisaris Eliantoro Jalmaf mengatakan, pihak rumah sakitlah yang melaporkan kematian QLR yang dinilai tak wajar. RS yang segera diperiksa kepolisian langsung mengaku bahwa ia sering memukuli putrinya sendiri karena teringat akan suami sebelumnya. Dendamnya tak dapat dilampiaskan pada siapa pun selain QLR.
Aib keluarga
Pengajar Psikologi Forensik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Komisaris Besar Arif Nur Cahyo mengatakan, perkembangan zaman membuat kesulitan hidup meningkat dan kualitas relasi antarmanusia menurun. Akibatnya, kepedulian seseorang terhadap lingkungan sekitarnya menjadi sangat rendah.
”Sekarang, melaporkan kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai menyebarkan aib. Makanya orang jadi cuek dan menganggap pelanggaran hukum itu bukan urusannya. Kalau sudah merenggut nyawa seperti kasus ini, baru dilaporkan,” kata Arif.
Komisioner Bidang Sosial dan Anak dalam Kondisi Darurat Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Susianah Affandy, mengatakan, kekerasan terhadap anak oleh orangtuanya masih dianggap sebagai urusan privat setiap keluarga. Pelaporan pun sering dianggap mencoreng nama baik keluarga. Bahkan, para pengadu sering diintimidasi dan dianggap merusak harmoni keluarga teradu.
”Masyarakat Indonesia masih butuh banyak waktu untuk mendobrak paradigma privat dan publik dalam penegakan hukum. Pembedaan ini menghambat penegakan hukum. Padahal, pelanggaran hak anak adalah bentuk pidana yang tidak mengenal istilah ranah privat dan publik,” kata Susianah.
Langkah ke depan
Mata rantai kekerasan terhadap anak harus diputus. Sebab, jika kekerasan terhadap anak berlanjut, itu akan dianggap sebagai praktik normal dan bahkan diwariskan ke generasi berikutnya. Korban kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan.
Karena itu, perlu peran aktif dari masyarakat. Susianah menekankan pentingnya edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya mencegah kekerasan terhadap anak sekalipun di ruang privat.
Sementara itu, Arif menyatakan, masyarakat harus diberdayakan melalui kegiatan RT dan RW sehingga perhatian antarwarga berkembang. Di samping itu, institusi agama perlu dikerahkan untuk memberi pembekalan tentang pernikahan bagi para calon pasangan baru.
Adapun Eliantoro menyatakan baru pertama kali menjumpai kekerasan terhadap anak oleh ibunya sendiri di wilayah hukum Polsek Jatiuwung. Ia pun mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melapor kepadanya jika mengetahui adanya kekerasan terhadap anak. ”Fungsi kami adalah mengamankan masyarakat. Setiap laporan pasti kami tindak lanjuti,” ujarnya.
QLR seharusnya dapat dilindungi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang tak mengenal istilah ranah privat ataupun publik. Pemenuhan haknya untuk bebas dari kekerasan pun menjadi tanggung jawab setiap orang dewasa di sekitarnya. Nyawa seorang anak tak dapat dibandingkan dengan aib keluarga. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)