Mengenang 20 Tahun Konflik, Mari Belajar dari Maluku
Tanggal 19 Januari 1999, konflik sosial bernuansa agama pecah dan memporak-porandakan Maluku. Lebih kurang 9.000 orang kehilangan nyawa akibat pertikaian yang tak jelas pangkal dan ujungnya itu. Serasa kiamat kecil. Momentum peringatan 20 tahun peristiwa itu mengajak Indonesia belajar damai dari Maluku sekaligus mengingatkan kembali akan bahaya keretakan sosial akibat politik identitas dan menguatnya kelompok radikal.
"Katong seng mau inga akang lai. Konflik biking katong sangsara. Seng ada untung paskali. Provokator parlente katong biking katong bakalai (Kami tidak mau ingat hal itu lagi. Konflik membuat kami sengsara. Tidak ada untung sama sekali. Provokator tipu kami, bikin kami berkelahi)," kata Hendrik (38), warga Kota Ambon, pada Jumat (18/1/2019).
Gara-gara konflik, mimpi Hendrik yang ingin menjadi seorang guru terkubur. Konflik yang terjadi menjelang ia tamat sekolah menengah atas itu ikut menyeret dirinya masuk dalam medan pertikaian. Masa mudanya berlalu tanpa meninggalkan sesuatu yang bermakna untuk masa depan. Kini, ia sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek. Ia menyesali itu. Hendrik hanyalah satu dari ratusan ribu anak muda yang kehilangan mimpi masa depan.
Penyesalan itu membuat hampir semua masyarakat Maluku ingin hidup damai untuk selamanya. Konflik terbuka yang terjadi mulai 1999 hingga 2003 tidak hanya membinasakan nyawa manusia dan mengusir orang dari tanah kelahiran. Konflik telah merusak pola pikir, termasuk melihat yang berbeda adalah salah, bahkan musuh. Pemulihan pola pikir membutuhkan waktu beberapa generasi.
Pergulatan masyarakat Maluku untuk merajut perdamaian, yang oleh banyak orang -terutama dari luar Maluku- menganggap proses itu akan membutuhkan waktu sangat lama. Berpuluh-puluh tahun. Mereka memandang Maluku dengan tatapan pesimisme. "Dulu banyak yang bilang, Maluku tidak mungkin rukun lagi. Kacau di mana-mana, pertumbuhan ekonomi anjlok hingga minus 26 persen," kata Gubernur Maluku Said Assagaff dalam beberapa kesempatan.
Said sendiri mengalami dinamika Maluku sejak era sebelum dan setelah konflik dari dalam tubuh birokrasi. Ia merintis karier dari pegawai biasa di kantor Gubernur Maluku, kemudian menjadi sekretaris daerah, wakil gubernur, hingga menjadi orang nomor satu di kantor itu. Ia dan banyak tokoh terlibat dalam pemulihan Maluku.
Namun, pesimisme itu bukan tanpa dasar. Setelah konflik mulai reda pada tahun 2003, tiga tahun kemudian, yakni pada 2006, Ambon kembali digoyang konflik berdarah dan terulang lagi pada tahun 2011. Itu belum termasuk riak-riak kecil yang tak terhitung banyaknya. "Masih ada yang kipas-kipas terus (provokasi). Mereka mengingingkan Maluku tidak aman. Betapa berat membangun kembali damai itu," kata Uskup Diosis Amboina Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC.
Mandagi dikenal sebagai tokoh yang tidak banyak kompromi bila berbicara tentang upaya merajut perdamaian. Ia kerap melontarkan kritikan keras kepada aparat keamanan yang menurutnya melakukan pembiaran. Sikap itulah yang membuat tokoh Katolik itu diterima oleh umat lintas agama. Mereka selalu menanti kalimat-kalimat pedas dari Usman (Uskup Mandagi).
Provokasi damai
Percikan konflik itu lalu membuat masyarakat Maluku paham mengenai anatomi konflik. Siapa dan modus apa yang digunakan. Jika hari ini ditanya siapa yang merancang dan terlibat dalam konflik Maluku, sejumlah kalangan dengan suara bulat langsung menjawabnya. Pola dan modus untuk memprovokasi masyarakat itu kemudian dilawan bersama.
Para pegiat perdamaian memimpin perlawanan itu dengan sebutan provokasi damai. Isu dilawan dengan isu. "Tahun 2011 waktu kacau, umat Islam dan Kristen tidak berani jalan ke mana-mana. Waktu itu ada seorang ibu Muslim pake kerudung jalan di dekat Gereja Maranatha. Kami foto ibu itu dan posting di media sosial. Lewat foto itu, orang-orang lalu percaya bahwa suasana tidak seburuk yang diisukan," kata Zairin Embong Salampessy.
Kini, provokasi perdamaian gencar dimainkan lewat kolaborasi musik yang disebut Musik Salam Sarane.
Zairin merupakan tokoh muda Islam yang menjadi saksi terjadinya konflik pertama kali. Rumahnya berada di Desa Batumerah, tempat bermulanya konflik 19 Januari 1999. Kala itu ia melihat banyak wajah baru yang muncul di Batumerah. Wajah-wajah itu tidak dikenal. Ini semakin menegaskan bahwa ada tangan-tangan tertentu yang mengarsiteki konflik Maluku.
Kini, provokasi perdamaian gencar dimainkan lewat kolaborasi musik yang disebut Musik Salam Sarane. Salam berarti Islam, sedangkan Sarane berarti Nasrani. Kolaborasi itu bertujuan untuk menyatukan anak muda. Musik dianggap menjadi media yang dapat meleburkan rasa. Harmoni musik dapat mengharmonikan kehidupan sosial.
"Musik meluluhkan segala sekat. Orang Maluku saat menyanyikan lagu Gandong, mereka bisa menangis dan berpelukan. Tidak peduli melihat dia siapa," kata Abidin Wakano, Ketua I Majelis Ulama Indonesia Provinsi Maluku. Ide kolaborasi itu datang dari Abidin dan Pendeta Jacky Manuputty, fungsionaris pada Majelis Pekerja Harian Sinode Gereja Kristen Protestan Maluku.
Selain musik, anak muda juga dianggap efektif untuk dijadikan sebagai agen untuk menyebarkan pesan damai. Rudy Fofid, sastrawan Maluku, lewat banyak kegiatan, melibatkan anak muda lintas agama. Rudy hadir sebagai korban konflik yang mau berdamai dengan masa lalu. Ayah dan kakaknya terbunuh kala konflik. Rudy menebarkan virus pengampunan.
"Laboratorium konflik"
Maluku kini menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang. Kehidupan sosial semakin bagus. Ekonomi juga terus tumbuh di atas 5 persen, di atas rata-rata nasional. Kala konflik, pertumbuhan ekonomi anjlok hingga minus 26 persen. Banyak orang memuji ketangguhan masyarakat Maluku keluar dari badai konflik. Pencapaian Maluku dalam merajut perdamaian itu terukur.
Maluku berhasil menggelar acara keagamaan skala nasional seperti Musabaqah Tilawatil Quran 2012, Pesta Paduan Suara Gerejawi Kristen Protestan tahun 2015, dan Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik tahun 2018. Maluku dijadikan panggung harmoni untuk mengumandangkan pujian bagi Sang Pemilik Kehidupan.
Maluku yang dulu pernah dijadikan "laboratorium konflik" pun dapat bermetamorfosis menjadi "laboratorium kerukunan antarumat beragama".
Berkat semua itu, Maluku menjadi salah satu provinsi dengan indeks toleransi tertinggi. Ambon, ibu kota provinsi berpenduduk sekitar 1,8 juta jiwa itu, pada awal tahun ini menjadi kota yang paling harmonis versi Kementerian Agama. Sejumlah negara seperti Myanmar pernah datang untuk belajar tentang cara penyelesaian konflik di Maluku. Maluku yang dulu pernah dijadikan "laboratorium konflik" pun dapat bermetamorfosis menjadi "laboratorium kerukunan antarumat beragama".
Namun, relawan kemanusiaan ketika konflik Maluku yang kini menjadi pengamat sosial dan politik di Universitas Pattimura Ambon, Josef A Ufi, berpendapat, dinamika politik saat ini yang diwarnai politik identitas berbasis agama serta menguatnya kelompok inteloran dapat merusak tatanan sosial. Guratannya sangat terasa di daerah bekas konflik seperti Maluku. Apakah konflik berpotensi terulang?
Masyarakat Maluku dianggap memiliki cukup imun sosial untuk menghadapi politik adu domba. Maluku akan lebih kuat menghadapi ancaman keretakan sosial. Namun, jika ancaman itu terus menguat tanpa diantisipasi, tembok pertahanan diri itu bisa roboh dan kiamat kecil 20 tahun silam itu datang lagi. Cukup satu kali. Jangan terulang lagi!