Mike Turusy, Menghidupkan yang Mati
Jalan hidup perupa asal Makassar, Sulawesi Selatan, Mike Turusy (59), ibarat sandiwara sarat drama. Setelah nyaris dihampiri maut, dia menemukan dirinya lewat tau-tau, boneka kayu menyerupai manusia di makam adat Toraja. Kini dia bertekad menjaga geliat seni rupa di Makassar tetap hidup.
”Dulu saya di Aldiron Plaza. Kamu pasti tidak mengalami itu. Sekarang sudah jadi Blok M Square,” tutur Mike ketika berbincang di pelataran Bentara Budaya Jakarta, Sabtu (12/1/2019). Dia baru memulai kisah salah satu babakan perjalanan keseniannya.
Blok M, kawasan perbelanjaan modern pada masanya di selatan Jakarta itu, adalah persinggahan Mike ketika ”terdampar” di Ibu Kota pada 1981. Saat itu ia berusia sekitar 22 tahun. Masa mudanya masih bergejolak hebat.
Mike berpindah dari Balikpapan, Kalimantan Timur, tempatnya tinggal bersama kakaknya, menuju Jakarta. Cita-citanya adalah menempuh pendidikan seni di Jakarta. Sebelum berangkat, Mike mendapat informasi bahwa Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) menerima murid tanpa perlu ijasah SMA.
Mike, yang tidak lulus SMP, merasa harus mendaftar di sana. Ia meyakini bakat menggambar mengalir di dirinya. Ketika kelas II SMP, Mike menggambar gurunya di papan tulis ketika jam istirahat. Sang guru itu tak berkenan melihat lukisan telanjang dirinya. Mike, yang saat itu masih bernama Rusmin, dikeluarkan dari sekolah.
Nyatanya, setibanya di Jakarta, LPKJ baru saja berganti menjadi lembaga pendidikan formal bernama Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Karena tidak berbekal ijazah SMA, harapannya menimba ilmu di kampus di lingkungan Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, itu ini pupus. Dia berlabuh ke Blok M, kawasan yang ramai oleh hilir mudik anak muda seperti dia.
Kebisaan menggambar adalah modal yang perlu ia tajamkan demi bertahan hidup. Di Aldiron Plaza itulah Mike bertemu dengan Danny Watti, seorang pelukis potret. Di lantai tiga plaza itu, Mike berguru melukis wajah kepada Danny.
Setelah dirasa mampu, Mike keluar dari gedung. Dia melukis di trotoar, menggambar wajah-wajah manusia. Dia mendaku sebagai salah satu orang pertama yang melukis potret di kawasan Blok M. Hingga hari ini, masih banyak pelukis potret di daerah ini.
”Satu lukisan bisa dibeli orang seharga Rp 5.000 sampai Rp 15.000. Kalau enggak ada yang laku, saya mengamen dari bus ke bus. Enggak pakai gitar. Lagunya ’Hatiku Sunyi’ dari The Mercy’s, diiringi tepukan tangan saja,” kenang Mike.
Persinggahan di Blok M itu adalah babakan penting baginya. Dia mendapat ilmu melukis potret, yang kelak jadi jalan hidupnya, sekaligus juga nyaris kehilangan nyawa. Beberapa sahabatnya di Blok M tewas ditembak aparat akibat operasi ”petrus”, upaya pembasmian kejahatan oleh pemerintah Orde Baru. Pergulatannya di Aldiron dia sematkan pada nama anak bungsunya, Aldi.
”Saya pernah dibawa bersama dua kawan lain dengan mobil. Mata kami ditutup. Kami diturunkan di daerah Puncak, ditembaki. Kawanku mati. Saya pura-pura mati,” ujarnya. Ketika itu, Mike berambut gondrong dan punya tato di lengan kanannya—ciri fisik yang jadi sasaran tembak.
Peristiwa itu merisaukannya. Mike kembali menggelandang. Ia menepi ke Yogyakarta dan singgah di sanggar pelukis Amri Yahya di daerah Gampingan. Kondisi di Yogyakarta ternyata tak lebih baik dari di Jakarta. Dia pindah lagi ke Bali, menuju sanggar pelukis Abdullah, sembari menimba ilmu lukisan realis.
Pada 1986, Mike kembali ke Balikpapan saat melukis sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehariannya. Di sana Mike membuat padepokan melukis dengan nama Sanggar Melati dan bertemu pelukis muda yang berguru kepadanya, seperti Surya Darma, dan Juli Purnama.
Perkenalan penting
Sekitar lima tahun di sana, Mike memutuskan kembali ke tanah asalnya, Makassar, dan bergabung dengan Dewan Kesenian Makassar. Di ibu kota Sulawesi Selatan ini, dia bertemu orang yang kelak berperan dalam meneguhkan jalannya sebagai pelukis. Orang itu bernama Barrie Martin, seorang perempuan berkebangsaan Amerika Serikat.
”Saya iseng membuat sketsa ketika dia sedang minum di restoran di sebuah hotel di Makassar. Setelah jadi, saya panggil pemilik hotel, memintanya membingkai dan memberikan lukisan itu, tepat pada ulang tahunnya,” ujar Mike, yang gemar pakai jas dan bandana merah melingkar di leher ini.
Perkenalan itu rupanya memberi kesan mendalam. Sepekan kemudian, Mike diminta datang ke Toraja, sebuah kota kecil yang jadi daerah wisata. Mike diminta menetap dan melukis di sana. Ia menyetujuinya ketika Barrie bersedia membiayai kebutuhan hidup istri dan anaknya yang ia tinggal di Makassar.
Di Toraja, dia melukis setiap hari. Tak hanya lukisan potret, tetapi juga pemandangan sehari-hari, seperti orang memanggul babi, rumah tongkonan, ataupun kerbau tedong bonga. Gaya lukisannya terlihat seperti foto, amat mirip dengan subyeknya. Di sana, dia juga melukis tau-tau, boneka kayu di makam adat Toraja. Boneka itu mewakili orang yang dimakamkan di situ.
”Wujud bonekanya kaku, begitu-begitu saja. Saya kembangkan di dalam lukisan saya. Saya membuat tau-tau menjadi hidup. Dia bisa menenun kain atau bermain suling,” kata penggemar topi koboi ini. Lukisan tau-tau ini kelak menjadi identitas baginya.
Sekitar 20 lukisan selama masa ”bertapa” di Toraja itu sempat dipamerkan di Ohio, AS, tempat asal Barrie. Berkat dia pula, Mike terpapar literatur seni rupa dunia, lewat buku, jurnal, dan majalah. Dia kini bisa berceloteh panjang lebar tentang Vincent van Gogh, atau Rembrandt, atau Norman Rockwell, misalnya.
Sekembalinya ke Makassar dari Toraja, Mike mendirikan Makassar Art Gallery di sebuah rumah kontrakan di Jalan Jampea, dekat Benteng Rotterdam. Di benteng itu pula dia berkantor sebagai Ketua Departemen Seni Rupa Dewan Kesenian Makassar.
Menebar ilmu
Melukis tau-tau dan potret manusia—sebagian besar adalah tokoh penting di Sulawesi—masih ia tekuni hingga kini meski harus lebih sering istirahat karena tangannya tak lagi kuat menggores kuas berlama-lama. Di sela-sela itu, dia sering mengajarkan melukis kepada kaum muda. Hampir setiap akhir pekan ada kelas melukis yang ia ampu di Benteng Rotterdam. Siapa saja boleh ikut tanpa dipungut bayaran.
”Ilmu itu tidak dibawa mati. Lewat berkesenian, kita harus bisa sebarkan ilmu,” kata Mike yang sudah berhenti merokok, minum kopi, apalagi wiski ini. Aktivitas di galeri dan DKM memberikan geliat bagi pergerakan seni rupa di Makassar. Sejumlah pegiatnya, sebagian adalah murid-murid Mike, sering menggelar pameran bersama.
Pada 11 Januari hingga 19 Januari ini, sebanyak 24 perupa Makassar berpameran bersama di Bentara Budaya Jakarta. Tajuknya adalah ”Sulawesi Pa’rasanganta”, yang artinya Sulawesi kampung halaman kita. Mike adalah pencetus judul itu.
”Ini adalah pameran paling berkesan selama saya melukis. Suasana pameran dan tata letaknya bagus betul. Ada emosi yang terlibat di sini. Selain itu, kami juga mengenalkan tiga perupa muda dari Makassar,” kata penggemar band The Rolling Stones ini. Ketiga perupa muda itu adalah Daniel, Rio, dan Muhammad Suyudi, murid-murid Mike.
Omong-omong soal The Rolling Stones, nama Mike terinspirasi dari vokalis band gaek itu, Mick Jagger. Ketika muda dulu, penampilannya urakan dan berambut gondrong sehingga sering dipanggil Mike, alih-alih Rusmin, nama lahirnya.
”Itu dari Balikpapan. Sebelum ke Jakarta saya minta dibuatkan KTP oleh teman saya. Dia kira nama asli saya sama dengan nama vokalis Rolling Stones itu. Itu saja dia salah menulis ’Mick’ jadi ’Mike’. Jadilah nama di KTP saya Mike Turusy sampai sekarang,” katanya.
Dia pakai gelang rantai seperti yang dipakai Keith Richards, gitaris band itu, di pergelangan kirinya. ”Mungkin cuma ada tiga gelang seperti ini di Indonesia. Ini asli dari Amerika,” katanya.
MIKE TURUSY
Lahir: Masamba, 4 Februari 1959
Aktivitas: melukis, mengelola Makassar Art Gallery, Kepala Departemen Seni Rupa Dewan Kesenian Makassar
Istri: Ica
Anak:
- Virgiawan Turusy
- Monalisa Turusy
- Aldi Turusy
Sebagian penghargaan:
- Celebes Awards, 1995
- Piagam dari Wapres Try Sutrisno, atas Juara III sayembara logo AIDS