Kecenderungan Anak Muda Dukung Khilafah Meningkat
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah perlu menyikapi secara serius kecenderungan bertambah banyaknya generasi milenial yang setuju terhadap gagasan pembentukan negara berbasis khilafah. Melihat sejumlah hasil survei, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme pun meyakini kecenderungan generasi muda untuk mendukung gagasan negara khilafah terus meningkat.
Untuk itu, ruang perjumpaan bagi generasi muda bertemu dengan rekan seusianya yang berbeda pandangan dan keyakinan perlu disediakan agar merangsang tumbuhnya semangat toleransi dan kebinekaan.
Sebelumnya, IDN Research Institute merilis data yang menunjukkan, sebanyak 19,5 persen kaum milenial Indonesia setuju khilafah sebagai bentuk ideal negara. Hasil survei tersebut menunjukkan saat ini generasi milenial semakin rawan terpikat radikalisme.
Kepala Satuan Tugas Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ajun Komisaris Besar Didik Novi Rahmanto, Senin (21/1/2019), mengatakan, mayoritas generasi milenial berkenalan dengan konsep negara khilafah melalui media sosial. Sebagian lainnya, diperkirakan mendapatkan informasi mengenai hal itu dari kegiatan di sekolah atau di kampus.
“Secara pasti kami tidak mengetahui jumlah anak muda yang setuju terhadap gagasan negara khilafah. Namun, jika melihat survei yang dipublikasikan sejumlah lembaga non-pemerintah, kecenderungannya memang terus meningkat,” ujar Didik.
Tren peningkatan kecenderungan anak muda untuk menyetujui ide negara khilafah ini setidaknya terbaca dari hasil survei-survei sebelumnya. Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Agustus 2017 silam merilis hasil survei yang menunjukkan, sebanyak 90,5 persen generasi milenial tidak setuju jika ada gagasan mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Adapun sebanyak 9,5 persen responden menyetujui penggantian Pancasila sebagai ideologi negara.
Didik menjelaskan, ada dua model pendekatan yang dilakukan BNPT dalam melawan maraknya penyebaran ideologi radikal tersebut. Yang pertama, merupakan pendekatan lunak dengan melakukan tindakan yang bersifat kontra narasi.
Artinya, BNPT, dalam hal ini, meliputi usaha konter naratif dengan mendorong penyelenggaran seminar, kuliah umum, ataupun penelitian yang bersifat melawan penyebaran paham radikal. “Sasarannya bukan saja siswa atau mahasiswa, tetapi juga guru dan dosen karena selama ini paham itu juga tersebar cepat melalui peran keduanya,” kata Didik.
Sasarannya bukan saja siswa atau mahasiswa, tetapi juga guru dan dosen karena selama ini paham itu juga tersebar cepat melalui peran keduanya
Selain itu, usaha kontra narasi itu juga dilakukan dengan mempromosikan nilai-nilai Pancasila yang mencakup toleransi dan kebhinekaan serta memblokir situs atau akun media sosial yang terindikasi sengaja menyebarkan paham radikal.
Sedangkan yang kedua adalah penindakan hukum terhadap penyebar informasi yang mengajak masyarakat menganut paham radikal. Dedi mengatakan hal itu sesuai dengan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam undang-undang itu disebutkan, setiap orang yang sengaja menyebarkan tulisan dengan tujuan untuk menghasut orang melakukan tindak pidana terorisme bisa dipenjara paling lama 5 (lima) tahun. “Itu jadi dasar hukum untuk menyeret pelaku,” kata Didik.
Menurut Penasehat Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Depok Jawa Barat, Nur Arif, fenomena generasi milenial bersimpati pada paham gerakan Islam transnasional bukanlah hal baru di Indonesia. Ia menerangkan, kecenderungan itu sudah terlihat pada awal tahun 1990-an dan terus berkembang hingga kini.
“Pascareformasi, gerakan sosial di kampus berubah menjadi gerakan politik. Di sana, berbagai macam ideologi dari luar masuk dan mencoba menancapkan pengaruhnya,” kata Arif.
Target penyebaran
Arif menjelaskan, penyebaran gagasan pendirian kekhalifahan biasanya menyasar kelompok remaja usia kelas IX SMP hingga remaja usia mahasiswa semester awal. Menurut dia, fase itu menjadi sasaran utama karena remaja pada kelompok umur itu masih dalam fase mencari jati diri.
“Para pengkader itu sengaja menyasar orang yang pengetahuan agamanya belum mendalam, sehingga mudah dipengaruhi lalu percaya pada gagasan pendirian kekhalifahan yang mereka bawa,” ujar Arif.
Menurut dia, remaja yang belajar agama secara mendalam, di pesantren misalnya, justru akan lebih sulit dipengaruhi untuk percaya pada paham baru.
Maka tidak heran, temuan BNPT menunjukkan, gagasan pendirian kekhalifahan dan paham radikalisme lainnya justru lebih berkembang pesat di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) umum daripada di Universitas Negeri Islam. Menurut Didik, paham itu biasanya masuk ke kampus melalui diskusi terbatas di kalangan aktivis keagamaan.
Hal itu sesuai dengan Survei Wahid Foundation tahun 2016 tentang radikalisme yang menunjukkan sebanyak 78 persen aktivis keagamaan di sekolah mendukung gagasan pendirian kekhalifahan. “Anak yang masuk PTN itu kan kebanyakan dari sekolah umum yang dalam seminggu paling banyak hanya mendapatkan empat jam pelajaran agama,” tambah Arif.
Pengajar UIN Sunan Ampel Surabaya Achmad Murtafi Haris dalam opininya yang dimuat di harian Kompas (11/6/2018), menulis, di Indonesia paham itu kebanyakan merebak fakultas eksakta. Pertama, karena mereka awam terhadap ilmu agama sehingga bisa dimasuki pandangan agama apa pun, termasuk yang radikal.
Kedua, mereka adalah individu-individu yang kritis, tekun, dan disiplin. Karakteristik itu sesuai dengan karakter figur yang agamis.
Kebudayaan
Menurut Arif, kecenderungan generasi milenial untuk mendukung gagasan negara kekhilafahan tidak perlu disikapi pemerintah dengan tindakan represif. Penanganan yang tidak tepat justru akan membuat mereka semakin antipati terhadap negara.
Pemahaman sejarah yang baik dan perjumpaan dengan kaum berkeyakinan lain dinilai Arif lebih tepat untuk membangkitkan semangat kebinekaan. “Gagasan pendirian negara khilafah itu kan juga merupakan produk budaya, jadi mari kita lawan juga dengan jalan kebudayaan yang kita miliki,” kata Arif.
Ia meyakini, generasi milenial akan lebih mudah menerima konsep kebinekaan jika mereka merasakan manfaatnya sendiri secara nyata. Misalnya, melalui kegiatan menjadi relawan bencana bersama dengan penganut agama lain, atau mengikuti diskusi sambil ngopi bersama dengan remaja lain yang memiliki cara pandang berbeda dalam memaknai keislaman.
Hal itulah yang menurut Arif justru selama ini diabaikan. Pemerintah terlalu fokus merancang acara yang sifatnya terlalu formal dan justru malah terkesan kaku dan membosankan sehingga pesan yang ingin diberikan justru tidak tersampaikan.
“Generasi milenial itu kan karakternya terbuka dan santai. Jadi sebaiknya sediakan saja ruang perjumpaan yang santai tempat mereka bisa berdiskusi dengan asik membahas hal yang selama ini menjadi kegelisahaan mereka,” ujar Arif. (PANDU WIYOGA)