Perbaiki Manufaktur, Indonesia Tak Boleh Terus Bergantung pada Komoditas
›
Perbaiki Manufaktur, Indonesia...
Iklan
Perbaiki Manufaktur, Indonesia Tak Boleh Terus Bergantung pada Komoditas
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pertumbuhan produksi industri manufaktur sejak 2016 masih berada di angka lima persen. Padahal, dengan pangsa pasar yang besar, sejumlah kalangan menilai sektor ini menarik bagi para investor. Perbaikan secara mendasar bagi industri manufaktur perlu segera dilakukan.
“Sebagai negara nett importir, kita memang bergantung pada komoditas. Namun, kita tidak bisa terus-menerus bergantung pada sektor komoditas yang harganya relatif berfluktuasi mengikuti harga minyak dunia,” kata Head of Mandiri Institute Moekti Soejachmoen, di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Hal ini disampaikan dalam konferensi pers Mandiri Investment Forum (MIF) 2019 bertajuk “Indonesia: Invest Now!” yang akan diselenggarakan pada 28 Januari hingga 1 Februari 2019. Kegiatan yang akan diikuti sekitar 600 investor baik dalam maupun luar negeri, bertujuan untuk menciptakan sinergi antara investor, pelaku usaha dan pemangku kepentingan.
Deputy Head of Equity Research Mandiri Sekuritas Tjandra Lienandjaja menilai, perbaikan sektor manufaktur dapat meningkatkan daya tarik para investor. Menurutnya, kegiatan MIF 2019 diharapkan mampu menangkap peluang investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 ditargetkan mencapai 5,3 persen atau naik sekitar 0,13 persen dibandingkan tahun lalu. “Untuk mencapainya, perlu strategi dan dukungan semua pihak. Dasar itulah yang mendorong kami untuk mempertemukan investor dengan pemangku kepentingan agar pembangunan berjalan dengan baik,” ujar Tjandra.
Untuk mendatangkan minat para investor, Moekti mengatakan, pemerintah harus mulai berfokus pada sektor manufaktur. Sebab, harga-harga di sektor manufaktur lebih stabil dan kontrak dari para investor pada umumnya dalam jangka panjang. Selain itu, sektor manufaktur juga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan III-2016 sebesar 4,87 persen. Selanjutnya dalam periode yang sama di tahun 2017 menjadi 5,46 persen. Sementara di tahun 2018, turun menjadi 5,04 persen.
“Jadi, kalau ingin pertumbuhan ekonomi lebih dari yang sekarang, kita perlu mulai berfokus pada bagaimana meningkatkan produktivitas di sektor manufaktur yang pada akhirnya dapat meningkatkan nilai ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan,” kata Moekti.
Selain itu, Moekti menyampaikan, pemerintah juga perlu bertindak cepat dalam mengambil peluang ekonomi. Saat ini, China sudah mulai mengubah pola konsumsinya, dari impor bahan baku menjadi impor barang konsumsi. “Peluang ini yang harus kita manfaatkan. Dengan berfokus pada pengembangan sektor manufaktur, kita dapat mengekspor barang-barang yang diminati oleh China,” ujarnya.
Secara terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Muhammad Faisal menyampaikan hal senada. Menurutnya, perlu perbaikan secara fundamental di sektor manufaktur untuk menarik para investor guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
“Secara keseluruhan, pertumbuhan investasi di tahun 2019 ini akan melambat. Meski demikian, Indonesia masih sangat menarik bagi para investor asing sebab pangsa pasar atau jumlah penduduk kelas menengah yang tergolong besar. Maka, perlu banyak perbaikan di sektor manufaktur untuk menarik investor agar menjadi bergairah,” kata Faisal.
Menurut data BPS, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035. Sebesar 50 persen dari total jumlah penduduk berada di usia produktif antara 15-64 tahun. Dari data Bank Dunia, populasi kelas menengah Indonesia juga meningkat dari 7 persen pada tahun 2002 menjadi 20 persen pada tahun 2017.
“Maka, kesempatan menarik investor di sektor manufaktur sangatlah besar. Memang harus diakui, persaingan di sektor ini cukup berat, misalnya dengan Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang unggul dari sisi logistik. Namun, jika pemerintah memprioritaskan pengembangan sektor manufaktur, daya saing kita pun akan meningkat,” papar Faisal.
Sebagai contoh, sektor otomotif kita mulai membaik karena sebagian dari rantai produksi sudah dilakukan di sini. “Namun, sektor elektronik khususnya smartphone, harus lebih ditingkatkan karena masih impor semua,” kata Faisal.
Selain itu, salah satu permasalahan yang harus segera diselesaikan adalah sistem online single submission (OSS/sistem perizinan tunggal terintegrasi daring). Faisal menilai, dari sisi konsep, sistem OSS ini bagus karena dapat mempermudah prosedur investasi. Namun, dari sisi implementasi, masih ditemukan banyak ketidaksesuaian antara sistem di pusat dan di daerah.
Misalnya, ketika sistem dari pusat ingin disederhanakan tetapi sistem di daerah belum bisa mengakomodasi sistem OSS, akhirnya sistem akan bercampur dengan prosedur lama. “Jadi sebenarnya kita pakai sistem yang baru atau yang lama. Kalau persoalan ini tidak segera diatasi, ini akan menjadi boomerang bagi investasi,” kata Faisal. (SHARON PATRICIA)