Transjakarta, Reformasi Angkutan Layanan dan Obat Macet
›
Transjakarta, Reformasi...
Iklan
Transjakarta, Reformasi Angkutan Layanan dan Obat Macet
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
Kalau dikatakan kemacetan di Jalarta sebagai penyakit akut, itu fakta. Maka, menjadi tugas pemerintah pula untuk mencarikan obat sakit demi memulihkan kondisi atau meminimalkan kemacetan. Lalu lintas lancar, pergerakan manusia menjadi lebih mudah.
Berawal dari pemikiran untuk mereformasi sistem angkutan umum yang berkualitas rendah serta untuk mengatasi kemacetan Jakarta, studi atau kajian tentang sistem angkutan umum yang aman, layak, nyaman, dan cepat yang menjadi obat dari masalah di Ibu Kota dibuat. Melalui berbagai tarik ulur dan penolakan-penolakan, akhirnya Transjakarta memulai operasi pertama pada 15 Januari 2004.
Sebagai angkutan umum, Transjakarta beroperasi dengan sistem bus rapid transit atau BRT. Sebuah sistem baru bagi kalangan operator angkutan umum di Ibu Kota kala itu. Bus Transjakarta beroperasi di jalan atau koridor khusus dengan mengorbankan satu lajur khusus untuk mobil. Sementara posisi halte ada di tengah.
Agung Wicaksono, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta, dalam wawancara, Selasa (15/1/2019), menjelaskan, angkutan umum di Jakarta sebelum adanya Transjakarta adalah seperti yang masih ada tersisa saat ini. Angkutan umum yang ada banyak dikelola swasta.
Alih-alih mengutamakan keamanan, kenyamanan, juga pelayanan prima kepada penumpang, perusahaan angkutan swasta lebih banyak mengejar setoran untuk keuntungan. Bus yang ngetem banyak ditemui. Akibatnya, orang memilih naik kendaraan pribadi daripada naik angkutan umum. Kemacetan di Jakarta kian menjadi.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, mengungkapkan, dengan kata kunci goodwill atau kemauan pemerintahlah maka kajian tentang sistem BRT yang dipelajari hingga ke Bogota, Kolombia, diterapkan di Jakarta.
Sistem BRT pun diyakini lebih murah dan mudah diterapkan dibandingkan membuat angkutan umum berbasis rel. Untuk bisa memberikan layanan, pemerintah hadir dengan regulasi, bus, standar pelayanan minimum, hitung-hitungan bisnis, dan subsidi tiket.
Semua itu disusun karena Transjakarta yang awalnya dikelola oleh UPT di bawah Dishub DKI juga merangkul sejumlah perusahaan angkutan swasta sebagai operator. Adanya standar pelayanan minimum juga menjadi patokan bagaimana layanan kepada penumpang dilakukan.
Saat mulai beroperasi, ada tiga koridor yang sudah jadi. Targetnya, sampai dengan 2012 sudah ada 13 koridor yang selesai dan beroperasi.
Dalam buku berjudul Busway, Terobosan Penanganan Transportasi Jakarta terbitan Sinar Harapan tahun 2006, sambutan masyarakat khususnya atas Koridor 1 sepanjang 12,9 kilometer dari Blok M ke Kota sungguh antusias. Ribuan penumpang memadati bus TransJakarta.
”Penumpang bisa banyak dan tertarik naik Transjakarta. Salah satunya juga karena adanya subsidi tarif. Untuk angkutan umum, di semua kota di dunia pasti melibatkan adanya subsidi pemerintah,” kata Djoko.
Belajar dari kota-kota yang menjadi contoh Jakarta, adanya pemberlakuan sistem angkutan baru bernama BRT membuat dishub dan polisi juga menerapkan sejumlah aturan pembatasan kendaraan, mulai dengan three in one hingga ganjil genap.
Efektifkah mengobati macet di Jakarta? Djoko melihat, itu bisa dijawab dari jumlah penumpang Transjakarta dari awal hingga hari ini. Dengan jumlah rata-rata harian 650.000-660.000 penumpang yang terlayani, Transjakarta sudah turut berkontribusi dalam mengurai kemacetan.
Bisa dibayangkan apabila layanan angkutan umum di Jakarta tetap sama seperti 15 tahun yang lalu. Sebagian besar penumpang tetap akan menggunakan kendaraan pribadi, penyakit bernama macet kian menjadi.
”Sudah ada peran Transjakarta di situ,” kata Djoko.
Dijelaskan Agung, hal itu memungkinkan karena adanya penambahan jumlah bus besar berbagai ukuran. Jumlah bus yang pada 2015 sekitar 900 unit, sekarang sudah 2.000 bus. ”Itu adalah bus yang dikelola Transjakarta dan operator,” kata Agung.
Belum lagi rute layanan yang juga dilengkapi dengan rute nonkoridor yang sekarang berjumlah 140 rute atau trayek. Pengembangan rute untuk layanan juga mendorong penambahan jumlah penumpang. Pada akhir 2018, jumlah penumpang tercatat 189,77 juta orang. Target terbaru pada 2019 adalah 231 juta orang dengan 236 rute.
Sebagai sistem angkutan baru, ujar Agung, dalam 15 tahun terakhir juga mendorong perubahan perilaku masyarakat dalam menggunakan angkutan umum. Masyarakat belajar antre saat memasuki bus. Warga Ibu Kkota juga belajar menggunakan uang kartu untuk membayar.
Sementara bagi operator swasta terjadi perubahan budaya. Tak lagi kejar setoran, tetapi menjadi pekerja bergaji.
Namun, ujar Djoko, Transjakarta pun masih punya tantangan yang belum tuntas. Utamanya masalah kemacetan.