Pada awal Orde Baru, pencabutan surat izin terbit (SIT) dan surat izin cetak (SIC) merupakan sesuatu yang sangat menakutkan bagi pengelola media. Kedua surat izin itu ibarat ”nyawa”.
Media bisa berhenti terbit jika SIT atau SIC dicabut pemerintah. Parahnya, pemerintah yang antikritik saat itu bisa mencabut kedua izin kapan saja jika ada berita di media yang dianggap tidak sesuai dengan kehendak rezim penguasa.
Januari 1974, misalnya, sejumlah media merasakan ampuhnya pencabutan SIT oleh Kementerian Penerangan yang disusul pencabutan SIC oleh militer.
Media yang dicabut izinnya itu adalah empat harian, yakni Abadi, Kami, Indonesia Raya, dan Jakarta Times. Kemudian mingguan Wenang dan majalah Putera Indonesia.
Pemimpin Redaksi Kami, Zulharmans mengatakan, pemberitahuan mengenai pencabutan izin cetak disampaikan melalui telepon oleh Penguasa Khusus Komando Keamanan dan Ketertiban Daerah (Laksus Kopkamtibda) Jakarta Raya kepada percetakan pukul 17.00.
Dua hari kemudian, harian Pedoman dan majalah Ekspres di Jakarta juga dicabut izin cetaknya. Namun, bukan cuma di Jakarta, pencabutan SIT dan SIC terhadap media beberapa waktu kemudian juga terjadi di Surabaya, Bandung, Medan, dan 11 media di Pontianak, Kalbar.
Alasan pencabutan surat izin tersebut adalah karena media-media itu dinilai penguasa membuat berita menghasut yang bisa mengganggu keamanan dan ketertiban.
Pencabutan izin terhadap media tidak hanya berlaku di tahun 1970-an pada awal Orde Baru. Di tahun 1980-an, lebih dari 130 media dicabut surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP)-nya dengan alasan melanggar kebebasan pers yang bertanggung jawab.
Setelah reformasi, dengan diberlakukannya Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, SIUPP tidak diperlukan lagi. Pers pun tumbuh subur dan jumlah wartawan berlimpah. Kini tantangan yang harus dihadapi adalah menghadirkan pers yang sesuai dengan kehendak undang-undang. (THY)