Dirut PT Transjakarta: Angkutan Lain Bukan Pesaing
›
Dirut PT Transjakarta:...
Iklan
Dirut PT Transjakarta: Angkutan Lain Bukan Pesaing
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
Dalam kurun waktu 2016-2018, angkutan umum berbasis jalan raya Transjakarta mengalami perkembangan signifikan. Jumlah rute bertambah hingga 140 rute, lalu jumlah bus dari 900 unit menjadi 2.000 unit.
Jumlah pelanggan, dijelaskan Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Agung Wicaksono, Selasa (15/1/2019), meningkat signifikan. Apabila pada akhir 2017 Transjakarta mengangkut 144,72 juta penumpang, di akhir 2018 Transjakarta tercatat sudah melayani 189,77 juta orang.
Perkembangan signifikan itu jika digambarkan dalam persentase jangkauan layanan, pada 2015 Transjakarta melayani 42 persen dari seluruh wilayah Jakarta dan jumlah penduduk terlayani 54 persen. Pada 2018, jumlah populasi mencapai 68 persen dan menjangkau 58 persen dari wilayah Jakarta.
Ke depan, menurut Agung, luas jangkauan itu harus bertambah. Cara yang sudah dimulai adalah melalui Jak Lingko.
Di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, pada 2017, pemikiran untuk merangkul pengusaha angkutan bus sedang dan kecil sudah dipikirkan. Meski tanpa merek atau nama seperti sekarang, program itu disebut sebagai program untuk mengintegrasikan angkutan umum di Jakarta.
Dimulai dari bus sedang seperti Kopaja dan Metromini, integrasi dimulai. Para pengusaha diajak bergabung dalam manajemen Transjakarta untuk bisa memberikan pelayanan angkutan prima yang diberikan dengan standar-standar yang disusun PT Transjakarta.
Tak ada lagi kata kejar setoran karena para sopir menjadi karyawan bergaji sehingga budaya kerja mereka juga diharapkan membaik.
Setelah itu, bus-bus kecil yang lebih dikenal sebagai angkutan kota (angkot) dirangkul. ”Karena kami memandang mereka sebagai mitra, bukan pesaing untuk bisa memberikan layanan yang baik,” kata Agung.
Djoko Setijowarno, pengamat transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, yang juga pengamat dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menilai, dalam rangka integrasi itu, Transjakarta seharusnya bisa berperan lebih. Ia menilai angkutan permukiman bisa menjadi fokus Transjakarta.
Dengan demikian, masyarakat ketika keluar rumah, dalam jarak 500 meter sudah mendapati adanya halte. Yang melayani di halte itu tentu saja adalah bus-bus kecil yang sudah tergabung dalam manajemen Transjakarta yang hari ini mendapat label Jak Lingko.
Transjakarta, kata Djoko, harus fokus di sana yang saat ini ia nilai belum maksimal digarap. Karena sebentar lagi akan ada angkutan umum berbasis rel moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT) yang segera beroperasi.
Jak Lingko akan memudahkan masyarakat bergerak. Dari titik rumah ke rute utama Transjakarta yang nantinya bisa menyambung ke moda lain seperti MRT atau LRT.
Integrasi lain yang mesti digarap Transjakarta secara maksimal adalah dengan kota-kota penyangga sekitar Jakarta. Selama tiga tahun terakhir, Transjakarta sudah memperpanjang layanan hingga kota sekitar.
”Sayangnya akses dari rumah ke halte Transjakarta terdekat belum dipikirkan. Transjakarta bisa juga bekerja sama dengan pemkot atau pemkab sekitar mengenai angkutan permukiman ini. Saya melihat juga seharusnya BPTJ terlibat dalam kewenangan aturan angkutan lingkungan ini. Supaya, kalau tujuannya mengurangi kemacetan, warga kota sekitar tak perlu lagi membawa kendaraannya ke halte atau masuk Jakarta,” kata Djoko.
Dibenarkan Agung, menjadi tantangan bagi Transjakarta untuk membuat integrasi angkutan dengan saudara muda dan angkutan bus sedang dan kecil yang sudah ada. Integrasi sebagai mitra, bukan pesaing untuk memberikan layanan terbaik. Sistem transportasi yang terintegrasi itu juga punya arti terintegrasi dari rute, manajemen, juga pembayaran.
Agung optimistis Transjakarta tetap menjadi tulang punggung transportasi Ibu Kota meski saudara muda MRT atau LRT siap beroperasi. Pengalaman 15 tahun melayani masyarakat Jakarta yang dimulai pada masa Gubernur Sutiyoso menjadi nilai tambah bagi perusahaan transportasi milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini.