Jalan Buntu Penuntasan Sampah di Kali Pisang Batu
Geger tumpukan sampah yang mengeras sepanjang 1,5 kilometer di aliran Kali Pisang Batu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, selama Desember 2018-Januari 2019 tidak menemukan penyelesaian. Pengangkutan sampah tidak tuntas. Rencana jangka panjang pun masih meraba-raba.
Tumpukan sampah di Kali Pisang Batu itu masih ada hingga Selasa (22/1/2019). Sampah yang didominasi plastik itu mengapung di sungai yang mengalir di wilayah Desa Pahlawan Setia, Tarumajaya.
Selain sampah, air sungai hitam pekat. Busa muncul di beberapa bagian. Bau busuk pun menguap ke sekitar sungai yang merupakan wilayah permukiman padat.
Hampir dua bulan sebelumnya, sampah menumpuk dan mengeras di aliran sungai sepanjang 1,5 kilometer. Aliran tersebut melintasi tiga wilayah desa, yaitu Setia Asih, Setia Mulya, dan Pahlawan Setia. Dari Pahlawan Setia, sungai berjarak sekitar 6 kilometer dari Teluk Jakarta.
Ketika tumpukan sampah menjadi viral, Pemerintah Kabupaten Bekasi mengambil langkah. Mulai 4 Januari 2019, sebanyak 2 alat berat, 16 truk, dan sejumlah petugas dikerahkan untuk mengangkut sampah. Pengangkutan itu berlangsung hingga 12 hari dengan menambah 1 alat berat dan 4 truk.
”Pengangkutan dihentikan pada Selasa (15/1/2019). Total sampah yang diangkut mencapai 2.100 ton,” kata Kepala Bidang Kebersihan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi Dodi Agus Suprianto.
Tak pernah tuntas
Menurut Dodi, pengangkutan sampah tidak bisa benar-benar tuntas karena sampah telanjur menumpuk dalam waktu lama. Selain itu, sungai yang mengalir antarwilayah itu juga berpotensi mengalirkan sampah dari wilayah lain saat hujan deras turun.
Kali Pisang Batu berhulu di Kali Bancong yang terletak di Kelurahan Pejuang, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi. Selama sampah menumpuk di Kali Pisang Batu, kondisi Kali Bancong tidak berbeda. Hanya saja, tumpukan sampah yang mengeras di sana tidak mencapai 1,5 kilometer, tetapi sekitar 100 meter.
Kali Bancong mulai dibersihkan pada Jumat (11/1/2019). Pemerintah Kota Bekasi menurunkan 1 alat berat dan 4 truk untuk mengangkut sampah. Kini, sebagian besar sampah sudah tidak ada. Namun, sejumlah plastik menyangkut di bambu yang membentang di salah satu bagian sungai.
Kedua pemerintah daerah sempat mengadakan pertemuan untuk membahas penyelesaian masalah tersebut. Namun, tidak ada solusi jangka panjang yang dihasilkan. Mereka sepakat memasang jaring di wilayah perbatasan untuk mengidentifikasi asal sampah dan tanggung jawab pembersihan.
Jaring itu pun telah dipasang di perbatasan Kelurahan Pejuang, Kota Bekasi, dengan Desa Setia Asih, Kabupaten Bekasi. Jaring berupa baja yang diharapkan kuat menahan terjangan air dan aliran sampah.
Bukan solusi
”Pemasangan jaring sampah bukan jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalah sampah di sungai,” ujar pengamat perkotaan Nirwono Joga.
Kedua pemerintah daerah semestinya paham bahwa sungai yang mengalir lintas wilayah itu merupakan tanggung jawab bersama.
Pemasangan jaring justru akan memperkuat ego sektoral pemerintah daerah. Oleh karena itu, peran pemerintah pusat yang dibantu pemerintah provinsi dibutuhkan untuk menengahi perseteruan tersebut.
Menurut Nirwono, kedua pemerintah semestinya memikirkan langkah untuk mengurangi potensi pembuangan sampah sembarangan. Salah satunya dengan membuat peraturan daerah terkait pembuangan sampah ke sungai. Tentunya regulasi itu harus disertai dengan penegakan hukum yang kuat.
”Pada tingkatan selanjutnya, pemerintah perlu menata ulang tata ruang kawasan bantaran sungai,” ujar Nirwono.
Bantaran sungai tidak boleh diisi permukiman dan kawasan industri. Keberadaan permukiman dan kawasan industri mengancam kebersihan sungai. Sungai tidak hanya penuh sampah, tetapi juga terancam limbah industri.
Salah satu langkah yang bisa diambil pemerintah, kata Nirwono, adalah bekerja sama untuk merelokasi warga. Kerja sama pemerintah dari tingkat pusat hingga kota/kabupaten dibutuhkan karena persoalan relokasi biasanya mandek pada pendanaan.
”Misalnya, Pemerintah Kota Bekasi mengurus soal relokasi, sedangkan Pemerintah Kabupaten Bekasi menyediakan lahan untuk membangun rumah bagi warga yang direlokasi,” katanya.
Kepala Bidang Penanganan Sampah dan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Kiswati mengatakan, persoalan sampah tidak akan tuntas selama ada permukiman di bantaran sungai. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi terus berupaya menertibkan bangunan di tepi sungai.
Namun, Kali Bancong justru mengalir di tengah dua area permukiman, yaitu Kavling Serut Jaya dan Taman Harapan Baru. Perumahan Taman Harapan Baru berjarak sekitar 15 meter dari sungai. Semua rumah menghadap ke sungai.
Sementara itu, Kavling Serut Jaya berdiri di atas turap sungai. Bangunan tidak hanya terdiri atas rumah, tetapi ada juga peternakan sapi. Pada setiap bangunan terdapat pipa yang mengalirkan air limbah domestik ke sungai.
Jika ditarik lebih jauh, aliran Kali Bancong juga berasal dari Kaliabang, Bekasi Utara. Di sekitar sungai terdapat puluhan pabrik yang memproduksi aneka komoditas, mulai dari air mineral hingga ban mobil. Kredibilitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) pada setiap pabrik pun perlu diteliti kembali.
Pemandangan serupa terjadi di wilayah Kabupaten Bekasi. Mulai dari Desa Setia Asih yang berbatasan dengan Kelurahan Pejuang hingga Kali Pisang Batu di Desa Pahlawan Setia, permukiman padat memenuhi bantaran sungai.
Gunawan (47), warga Desa Setia Asih, mengatakan, sejak lahir ia tinggal di rumah yang ada di tepi sungai. Selama itu pula tidak ada layanan truk sampah yang sampai di wilayahnya. Oleh karena itu, ia dan warga setempat membuang sampah organik ke sungai dan membakar sampah anorganik.
Pola usang
Kepala Seksi Penanganan Sampah Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Nazirwan mengatakan, sejumlah sampah memang masih dibuang warga ke sungai. Sebab, pihaknya belum mampu menangani sampah kota secara tuntas.
”Total produksi sampah mencapai 1.700 ton per hari. Namun, baru 600-700 ton yang bisa kami angkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sumur Batu, Kecamatan Bantargebang,” ujarnya.
Dia melanjutkan, pengangkutan sampah terkendala keterbatasan jumlah truk. Terdapat 239 truk yang harus berkeliling ke 1.013 rukun warga (RW) di 12 kecamatan dan 56 kelurahan setiap hari. Dengan beban kerja itu, truk hanya mampu melintas satu putaran per hari.
”Sistem pengangkutan sampah kami itu dari pintu ke pintu sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama,” kata Nazirwan. Untuk melayani 2,7 juta penduduk, idealnya Kota Bekasi memiliki 400-450 truk.
Sementara itu, upaya untuk mengurangi produksi sampah pun tersendat. Dari 911 bank sampah yang dibentuk di tingkat RW, hanya ada 200 unit yang aktif beroperasi. Menurut Nazirwan, perannya pun terbatas, hanya mampu mengurangi sampah paling banyak 15 persen dari total produksi.
Kendala serupa dialami Kabupaten Bekasi. Dodi mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup hanya memiliki 104 truk sampah. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan warga di 23 kecamatan, setidaknya dibutuhkan 325 truk. Akibatnya, baru warga di 15 kecamatan yang mendapatkan pelayanan pembuangan sampah. Itu pun tidak semua, hanya sekitar 40-50 persen dari total warga.
Belajar dari kasus Kali Pisang Batu, kata Dodi, pihaknya merencanakan untuk memberdayakan warga agar produksi sampah berkurang. Ada seorang warga di setiap desa yang dilintasi Kali Pisang Batu yang diangkat sebagai petugas kebersihan. “Selain itu, kami akan membuat kelompok-kelompok pengelola sampah,” ujarnya.
Menurut Nirwono, pengurangan produksi sampah dengan mengedukasi masyarakat semestinya menjadi prioritas. Pemerintah daerah kerap terjebak pada pola pikir usang dalam penanganan sampah, yaitu mengumpulkan, mengangkut, dan membuang. Padahal, pola tersebut membutuhkan biaya besar. kapasitas tempat pembuangan akhir pun selalu tidak cukup.
Kini, dibutuhkan ketegasan dan strategi cerdas untuk menangani persoalan sampah yang melintas antarwilayah. Masalah tersebut hanya akan menemui jalan buntu jika pemerintah masih berkutat pada pola usang dan ego sektoral.