Kaburnya Pengungsi Rohingya dari Penampungan Jadi Tanggung Jawab Pemda
›
Kaburnya Pengungsi Rohingya...
Iklan
Kaburnya Pengungsi Rohingya dari Penampungan Jadi Tanggung Jawab Pemda
Oleh
Rini Kustiasih/Zulkarnaini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menegaskan, persoalan kaburnya 34 dari 79 pengungsi etnis Rohingya asal Myanmar, dari tempat penampungan di Kabupaten Bireuen, Aceh, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam hal ini Direktorat Jenderal Imigrasi, tidak memiliki kewenangan untuk menangani persoalan itu.
“Kami tidak memonitor informasi (kaburnya pengungsi etnis Rohingya) itu, karena itu bukan menjadi ranah pengawasan kami. Persoalan pengungsi yang terdaftar itu sepenuhnya menjadi kewenangan dari pemda setempat. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Presiden mengenai pengungsi, tahun 2016,” kata Theodorus Simarmata, Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Imigrasi Kemenkumham, Selasa (22/1/12019) di Jakarta.
Seperti diberitakan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bireuen menyatakan tidak sanggup lagi mengurus imigran yang ditampung di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Bireuen. Anggaran penanganan tak tersedia, pengamanan longgar, dan rencana penempatan ke negara ketiga belum jelas, bahkan sebagian kabur.
Pada prinsipnya, menurut Theodorus, persoalan pengungsi menjadi urusan daerah setempat di mana mereka ditempatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kalau pun ada dari pengungsi itu yang melarikan diri, hal itu bukan menjadi wilayah pengawasan imigrasi, kecuali mereka kedapatan menggunakan dokumen tertentu yang tercatat.
“Tetapi kalau mereka misalnya naik kapal lalu berlayar, dan terdampar di tempat lain, itu akan sulit terdeteksi oleh pihak imigrasi. Oleh karenanya, penanganan dan pengawasan pengungsi berada di tangan pemda setempat,” kata Theodorus.
Sebelumnya, Kepala Dinas Sosial Bireuen Murdani, Minggu (20/1/2019), mengatakan, dari 79 orang, 34 imigran melarikan diri dari penampungan. Sejak terdampar pada Jumat, 20 April 2018, imigran ditempatkan di sanggar kegiatan belajar (SKB) milik Pemkab Bireuen. ”Kami sudah kewalahan menangani. Jangan dibebankan pada kami semua. Kami tidak punya lagi anggaran dan kekuatan,” kata Murdani.
Sejak April hingga Desember 2018, katanya, Pemkab Bireuen telah mengeluarkan anggaran besar untuk memenuhi biaya makan, kesehatan, pengamanan, dan operasional. ”Pada 2019, kami tidak menganggarkan sama sekali. Kami tak punya anggaran lagi,” ujar Murdani.
Saat ini, para pihak terkesan lepas tangan menangani imigran Rohingya. Bahkan, badan urusan pengungsi di bawah PBB telah menghentikan subsidi anggaran. Beberapa bulan terakhir, logistik untuk imigran mengandalkan sumbangan.
Pemkab Bireuen menginginkan imigran Rohingya segera dikeluarkan dari kabupaten itu. Sebab, pemkab butuh SKB untuk pelatihan pegawai dan kegiatan lain. Selain itu, fasilitas keamanan SKB minim sehingga tidak layak dijadikan tempat penampungan imigran.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Lhokseumawe Safrizal mengatakan, penjagaan sangat lemah karena tidak ada biaya pengamanan. Pengamanan hanya dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja dan sukarelawan tanggap bencana. Staf keimigrasian tak ada yang menetap di SKB, tetapi datang ke Bireuen dari Lhokseumawe secara berkala.
Kaburnya imigran tidak bisa disalahkan kepada siapa pun. Sebab, SKB tak layak jadi tempat penampungan dan Pemkab Bireuen kesulitan pendanaan.
Lembaga internasional bidang pengungsi diharapkan segera memindahkan imigran itu ke negara ketiga. ”Yang bisa kami lakukan sekarang hanya menunggu. Namun, tidak jelas kapan mereka dipindahkan,” kata Safrizal.
Imigran yang kabur diduga telah keluar Bireuen. Letak SKB dengan jalan nasional Medan-Banda Aceh hanya 1 kilometer. ”Mereka tidak mungkin bertahan di Bireuen karena pasti terdeteksi dan kesulitan makanan,” kata Murdani.
Kepala Polres Bireuen Ajun Komisaris Besar Gugun Hardi Gunawan mengatakan, belum ada upaya khusus mengejar imigran. Namun, polisi terus berkoordinasi dengan keimigrasian dan pemkab.