Trotoar Belum Nyaman dan Aman
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gencar memperbaiki dan membangun jalur pejalan kaki atau trotoar. Ini terutama tampak menjelang perhelatan Asian Games 2018. Namun, tak sedikit trotoar yang masih tidak terawat kondisinya, bahkan dikuasai oleh mereka yang tak punya hak.
Memperingati Hari Pejalan Kaki Nasional setiap 22 Januari, Kompas menelusuri trotoar di sejumlah jalan di Ibu Kota, Selasa (22/1/2019).
Jika di jalan protokol, seperti Sudirman dan Thamrin, trotoar yang baru dibangun bisa memuaskan pejalan kaki, apalagi trotoar dilengkapi lantai pemandu berwarna kuning untuk memudahkan para penyandang disabilitas netra, tetapi tidak halnya di sejumlah ruas jalan lain.
Salah satunya di Jalan Tentara Pelajar, Palmerah. Saban hari, di trotoar selebar 3 meter itu, khususnya yang ada di sekitar Stasiun Palmerah, selalu dipenuhi lapak dagangan penjual makanan ataupun lainnya. Selain itu, motor milik tukang ojek juga sering diparkir di trotoar.
Alhasil, pejalan kaki yang hendak ke Stasiun Palmerah atau baru keluar dari stasiun harus berdesak-desakan saat berjalan di trotoar. Kejadian seperti itu umumnya terjadi di waktu sibuk, seperti pagi hari ketika orang-orang beraktivitas ke sekolah atau tempat kerja dan sore hari ketika kembali ke rumah.
Menurut salah satu pejalan kaki, Yasin Ramadhan (19), kondisi trotoar seperti itu kurang layak untuk pejalan kaki. Pejalan kaki seakan terintimidasi di jalur yang sesungguhnya dibuat untuk mereka. Keadaan semakin buruk karena ada bagian dari trotoar yang rusak atau dibiarkan bolong. Jika tidak hati-hati, pejalan kaki bisa jatuh atau bahkan terperosok ke dalam got.
”Saya sering olahraga lari di kawasan Gelora Bung Karno (GBK). Trotoar di dekat GBK sangat layak dan terawat dengan baik. Rasanya aman dan nyaman ketika mengakses trotoar di sana,” ucap Yasin.
Baca juga: Trotoar Sekadar Dibangun Belum Dipelihara
Ia berharap trotoar lebih diperhatikan pemerintah ataupun masyarakat. Selain itu, jangan ada lagi okupasi trotoar. ”Jangan hanya ngurusin jalan untuk kendaraan saja. Perhatikan juga pejalan kaki,” ujarnya.
Kondisi mirip seperti di sekitar Stasiun Palmerah bisa terlihat pula di kawasan Pasar Kopro, Jakarta. Trotoar diokupasi pedagang. Ada pula yang dijadikan parkiran dadakan. Ditambah lagi kondisi trotoar yang rusak. Tak hanya itu, ada bangunan yang menutup trotoar. Ini membuat pejalan kaki saat melintas harus mengalah dengan turun ke jalan raya.
Mansyur Wahyudi (24), salah satu warga Jakarta, mengatakan, sepanjang trotoar di sekitar Kampus Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta, juga selalu tertutup warung dadakan setiap malam hari. Banyaknya warung dadakan praktis membuat pejalan kaki yang melintas tak nyaman.
”Kalau sudah pukul 19.00 ke atas, banyak tenda dipasang jadi warung. Pas banget di trotoar. Kita kalau jalan ibaratnya seperti masuk warungnya. Pejalan kaki keganggu,” kata Mansyur.
Berbahaya
Ketua Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus mengatakan, pihaknya pun banyak menerima laporan dari pejalan kaki terkait buruknya kondisi trotoar di Jakarta, di antaranya kondisi trotoar yang rusak atau bahkan tidak ada trotoar sama sekali. Kemudian tiang atau bangunan yang menghambat dan jalur untuk disabilitas yang tidak memadai.
”Banyak pejalan kaki melaporkan dirinya terperosok di saluran air karena trotoar rusak. Sebenarnya pemerintah bisa dituntut karena membiarkan fasilitas itu rusak. Ini karena publik masih santun saja, tidak tuntut pemerintah,” kata Alfred di sela-sela peringatan Hari Pejalan Kaki di sebelah Halte Tugu Tani, Jalan MI Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa sore.
Alfred melanjutkan, dalam beberapa kasus, ketidaknyaman itu dipicu pengaturan tata ruang yang keliru.
Dia memberi contoh banyaknya tiang papan reklame dan pot-pot besar di trotoar. Hal itu juga bisa membahayakan bagi pejalan kaki.
Baca juga: Ruang Pejalan Kaki Belum Terintegrasi
”Di kawasan Radio Dalam, misalnya, seorang pejalan kaki tertabrak mobil dari belakang. Korban terpaksa turun ke jalan raya karena ada pot-pot besar. Kalau hal seperti itu, jangan dipandang sebagai satu kasus. Kalau satu kasus, tetapi terus berulang, harusnya menjadi perhatian,” ujarnya.
Terkait banyak penyerobotan trotoar oleh pengendara, Alfred mengusulkan agar kamera pemantau tilang elektronik (ETLE) dipasang di trotoar, tidak hanya di jalan raya.
”Jangan hanya yang melanggar di lampu lalu lintas yang ditilang, tetapi di trotoar seharusnya juga. Tetapi, kalau kepolisian tidak mau menindak, beri saja wewenang kepada pemerintah daerah untuk menindak. Kalau tidak, pemerintah daerah tidak punya wewenang untuk menindak itu. Kasih saja kuasa untuk menindak tentunya dengan dasar hukum dari kepolisian, misalnya peraturan kapolri atau apa pun,” ujarnya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY/YOLA SASTRA)
Baca juga : Trotoar di Bekasi Belum Menjadi Milik Pejalan Kaki