Integrasi Masih Jadi PR Besar
JAKARTA, KOMPAS — Integrasi antara bus Transjakarta dan berbagai moda transportasi massal di DKI Jakarta sudah dilakukan, tetapi masih menjadi pekerjaan rumah besar yang menunggu diselesaikan. Integrasi antarmoda yang nyaman dan mudah berperan penting karena menjadi salah satu faktor utama yang mendorong pengguna kendaraan pribadi menjadi transportasi umum.
Sejumlah titik integrasi yang sudah terwujud dinilai belum memenuhi kebutuhan tersebut.
Selain integrasi dengan MRT dan LRT, Dinas Perhubungan DKI Jakarta masih terus menyelesaikan proses integrasi Transjakarta dengan angkutan umum reguler yang masih beroperasi. Proses ini sudah dirintis sejak beroperasinya Transjakarta pada 2004 dengan merangkul beberapa operator bus besar masuk dalam manajemen Transjakarta.
Integrasi ini akan menyatukan sistem tarif, operasional, dan rute antara Transjakarta dan angkutan umum reguler, dari bus besar, sedang, hingga angkutan kota. Proses ini dilakukan bertahap dalam sistem transpotasi DKI Jakarta yang sekarang disebut Jak Lingko.
Kepala Bidang Angkutan Darat Dinas Perhubungan DKI Jakarta Masdes Arroufy di Jakarta, Selasa (22/1/2019), mengatakan, integrasi Transjakarta dengan angkutan umum reguler ini ditargetkan selesai pada 2021. Saat ini masih ada sekitar 10.300 angkutan umum reguler yang beroperasi di luar Transjakarta. Jumlah ini terdiri dari 800 bus sedang, 500 bus besar, dan sekitar 9.000 angkutan kota.
Namun, setelah restrukturisasi trayek, direncanakan hanya sekitar 6.300 unit angkutan kota yang akan masuk dalam sistem transportasi. ”Kami juga ingin nanti unit ditingkatkan sesuai standar pelayanan minimal dan kapasitas 1,5 kali lebih besar dari kapasitas angkutan kota sekarang,” katanya.
Untuk ini, masih banyak tantangan yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah ketersediaan armada yang sesuai standar dari karoseri dan kemampuan finansial operator. Untuk itu, Transjakarta dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menggagas skema yang memungkinkan untuk membantu finansial para operator memenuhi standar yang diinginkan tersebut.
Masdes mengatakan, saat ini seluruh stasiun MRT yang berjumlah 13 stasiun sudah tersambung dengan moda transportasi umum lanjutan. Terdapat sekitar 40 rute angkutan umum yang sudah tersambung dengan 13 stasiun MRT.
Namun, menurut dia, memang belum semuanya tersambung dengan armada Transjakarta. Sebagian masih tersambung dengan bus pengumpan Transjakarta. Sebagian lain tersambung dengan angkutan umum reguler. ”Tapi, semua stasiun sudah ada moda transportasi umum lanjutannya, satu stasiun ada 7-8 rute yang tersambung,” katanya.
Menurut Masdes, integrasi ini tak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga integrasi waktu kedatangan dan keberangakatan antara Transjakarta dan MRT. Untuk integrasi tarif, sudah dilakukan dengan Jak Lingko yang menggunakan satu sistem pembayaran antara Transjakarta dan angkutan kota dalam Jak Lingko dengan satu tarif Rp 5.000 yang berlaku selama tiga jam waktu tempuh.
Adapun untuk integrasi tarif antara Transjakarta dan MRT tengah dalam proses pembahasan sebab ada berbagai aspek yang perlu disepakati dan disinkronkan.
Konsep besar
Deputi Gubernur Bidang Industri, Perdagangan, dan Transportasi DKI Jakarta Sutanto Suhodo mengatakan, DKI Jakarta tengah menuju sistem transportasi antarmoda yang terintegrasi secara keseluruhan, yaitu ketersambungan fisik, terintegrasi tarif, hingga sistem operasional.
Menurut Sutanto, integrasi ini merupakan proses berkelanjutan yang akan terus dilakukan. Tujuannya adalah sistem transportasi yang harganya terjangkau masyarakat, aman, dan nyaman, serta memudahkan warga untuk berpindah moda transportasi (seamless).
Sistem satu tiket ini juga bertujuan untuk memberikan insentif yang lebih besar saat warga menggunakan semakin banyak moda transportasi. ”Jadi, misalnya, kalau naik Transjakarta insentifnya 10 persen, nanti kalau disambung MRT akan semakin besar insentifnya, misalnya jadi 30 persen. Dengan cara ini, warga semakin tertarik menggunakan transportasi umum,” katanya.
Sutanto mengatakan, secara ideal seluruh moda transportasi di DKI Jakarta ini terintegrasi di bawah satu operator sehingga tarif dan sistem operasionalnya bisa betul-betul terintegrasi. Hal ini termasuk juga KRL yang saat ini pengelolaan masih sepenuhnya berada di PT KAI.
Untuk itu, katanya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu duduk bersama dengan PT KAI demi pelayanan publik yang lebih baik.
Kendala
Integrasi baru terus dalam penyelesaian. Saat ini, sejumlah titik integrasi masih menyisakan kekurangan. Institute of Transportation and Development Policy (ITDP) mencontohkan dua titik yang masih perlu perbaikan tersebut.
Simpang CSW yang merupakan perpotongan antara Koridor 1 dan 13 Transjakarta dan MRT dinilai masih terlalu tinggi. Halte Transjakarta CSW yang berada di ketinggian 23 meter hanya memiliki akses tangga dan belum ada koneksi langsung dengan Stasiun MRT Sisingamangaraja yang berjarak kurang dari 100 meter di sebelah utara.
Titik lain adalah Cawang Cikoko yang fasilitas koneksi Transjakarta dengan KRL masih sangat minim. Penumpang harus melalui jalur pejalan kaki yang hanya selebar 90 sentimeter jika ingin mengakses sisi selatan,” kata Transport Associate ITDP Gandrie Ramadhan.
Kondisi semakin parah ketika malam dan hujan dengan minim pencahayaan dan kondisi jalur yang penuh kubangan. Titik ini perlu mendapat perhatian sebab stasiun LRT Jabodebek juga akan ada di lokasi ini.
Gandrie mengatakan, mayoritas akses menuju atau dari halte Transjakarta saat ini adalah dengan menggunakan JPO yang juga memiliki ramp. Standar maksimal kemiringan ramp JPO menurut pedoman teknis dari Kementerian Pekerjaan Umum adalah 8 persen. Namun, pengukuran di lapangan menunjukkan belum ada ramp JPO yang memenuhi standar tersebut. Bahkan, masih ada yang kemiringannya mencapai lebih dari 40 persen. Akibatnya, ramp sangat curam dan menyulitkan kaum disabilitas.
Menurut kajian ITDP, terdapat 53 titik yang sangat memungkinkan untuk integrasi antara Transjakarta dan stasiun MRT. Kajian tersebut sudah diusulkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.