Jakarta, Kompas - Presiden Joko Widodo memastikan pemerintah tak akan melanggar aturan saat memberikan pembebasan kepada terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir. Walaupun ada keinginan melepaskan Ba’asyir demi alasan kemanusiaan, sistem hukum tak bisa ditabrak.
”Ada mekanisme hukum yang harus kita lalui. Ini namanya pembebasan bersyarat, bukan pembebasan murni. Syaratnya harus dipenuhi,” kata Presiden Joko Widodo kepada pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Syarat itu antara lain setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila. Hal ini adalah prinsip dan mendasar. Keputusan pembebasan bersyarat, tambah Presiden, akan bergantung pada kajian dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan serta keluarga besar Ba’asyir.
Menurut Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Presiden Jokowi memahami keinginan keluarga sejak tahun 2017 agar Ba’asyir dibebaskan dengan pertimbangan kesehatan. Pembebasan bersyarat dimungkinkan sebab Ba’asyir sudah menjalani dua pertiga masa hukuman.
Namun, semua harus memenuhi aturan hukum, seperti yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Syarat itu antara lain menunjukkan kesadaran dan mengakui kesalahan yang menyebabkannya dipidana dan menyatakan ikrar setia kepada NKRI secara tertulis.
”Itu pertimbangan Pak Yusril (Ihza Mahendra), tetapi Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara memiliki prinsip yang tidak bisa dikurangi,” ujar Moeldoko.
Pada 16 Juni 2011, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan pidana 15 tahun penjara kepada Ba’asyir sebab terbukti menggerakkan pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh, bersama Dulmatin alias Yahya Ibrahim alias Joko Pitono. Ba’asyir terbukti pula mengumpulkan dana dari berbagai pihak untuk pelatihan itu. Putusan tersebut lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang meminta Ba’asyir dihukum seumur hidup. Saat itu Ba’asyir tiga kali diadili (Kompas, 17/6/2011).
Pendapat asing
Secara terpisah, Wakil Presiden M Jusuf Kalla menegaskan, sikap dan keberatan sejumlah negara asing tidak menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam memutuskan pembebasan bersyarat kepada Ba’asyir, pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid. ”Kami tidak mempertimbangkan keberatan atau tidak keberatannya negara lain,” ujar Wapres di Kantor Wapres, Jakarta, Selasa.
Perdana Menteri Australia Scott Morisson meminta Pemerintah Indonesia mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari sisi korban bom Bali jika berencana membebaskan Ba’asyir. Menurut Wapres, keberatan itu tak akan dijadikan pertimbangan. Selama ini Indonesia juga tak pernah turut campur urusan Australia.
Pertimbangan pemerintah adalah kemanusiaan. ”Hanya kemanusiaan, sebab umur dan sakit. Umur 80 tahun. Kesehatan juga tidak kuat,” kata Kalla. Namun, Wapres menjelaskan pula, pemerintah masih harus mengkaji aspek hukum untuk memberikan pembebasan bersyarat, selain kesediaan Ba’asyir memenuhi syarat kesetiaan kepada Pancasila dan NKRI.
Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta wacana pembebasan Ba’asyir tidak dipolitisasi. Ba’asyir berusia senja dan sakit-sakitan.
Sementara itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tetap mengkaji langkah pembebasan Ba’asyir. Salah satu syarat yang diperlukan belum dipenuhi sehingga pengajuan pembebasan bersyarat belum bisa diproses.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly di Jakarta, Selasa, mengakui, masa pidana Ba’asyir telah mencapai
2/3 dari vonis yang dijatuhkan. Ia bisa mengajukan pembebasan bersyarat. Kalau semua syarat dipenuhi, Ba’asyir dapat keluar dari tahanan secara bersyarat pada 13 Desember 2018.
Namun, Yasonna mengatakan, ada syarat penting sesuai prosedur hukum yang sampai sekarang belum dipenuhi. Ikrar setia kepada Pancasila dan NKRI wajib hukumnya bagi terpidana terorisme.