Didorong, Publikasi Anggota Legislatif yang Abai Laporkan Harta Kekayaan
›
Didorong, Publikasi Anggota...
Iklan
Didorong, Publikasi Anggota Legislatif yang Abai Laporkan Harta Kekayaan
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mempublikasikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang tidak melaporkan harta kekayaannya dinilai langkah tepat dan perlu dilakukan secepatnya. Hal tersebut merupakan salah satu upaya menjaga transparansi penyelenggaraan negara dan dapat dijadikan sebagai sarana penilaian bagi masyarakat.
Berdasarkan laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 2017-2018, dari 537 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang wajib lapor, hanya 115 orang atau 21,42 persen yang menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Jumlah tersebut terpaut jauh di bawah tingkat kepatuhan di lembaga eksekutif sebesar 66,31 persen dan BUM/BUMD (85,01 persen).
Menurut Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Oce Madril, rencana publikasi data wakil rakyat yang belum melaporkan harta kekayaannya patut dilakukan secepatnya. Sebagai salah satu pejabat publik di lingkungan legislatif Indonesia, LHKPN merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh anggota dewan setiap tahunnya.
Oce mengatakan, publikasi nama-nama yang belum melaporkan merupakan salah satu bentuk sanksi sosial terhadap para wakil rakyat. Masyarakat dapat mengetahui wakil rakyat mana saja yang telah mengabaikan salah satu kewajiban penting dalam upaya menjaga transparansi penyelenggaraan negara.
dewan merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan masyarakat untuk memeriksa adanya kejanggalan-kejanggalan dalam laporan yang ada, contohnya seperti lonjakan kekayaan dan jumlah aset.
“Warga pasti ingin mengetahui bagaimana kepatuhan masing-masing lembaga terkait penyerahan LHKPN ini,”ujar Oce saat dihubungi pada Kamis (24/1/2019).
Kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya telah diatur pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Setiap pejabat publik harus bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menempati posisi tersebut. Mereka juga diwajibkan melaporkan harta kekayaan sebelum dan setelah menjabat.
Kewajiban penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya telah diatur pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Harta kekayaan wajib dilaporkan di awal dan akhir jabatan, atau ketika kembali menjabat setelah berakhir masa jabatan dan pensiun.
Pendapat serupa juga diungkapkan Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng. Publikasi laporan nama yang belum menyerahkan LHKPN perlu dilakukan sesegera mungkin mengingat rendahnya kepatuhan anggota DPR tahun ini.
Penyerahan laporan kekayaan merupakan salah satu konsekuensi yang harus dihadapi oleh anggota dewan sebagai pejabat publik. Hal ini juga merupakan bagian dari penegakan integritas baik secara
individu maupun kelembagaan.
“LHKPN adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban mereka terhadap negara. Kalau mereka tidak mau melakukannya, sebaiknya tidak usah menjadi pejabat publik,” kata Robert.
Menurutnya, pengumuman anggota dewan yang tidak melaporkan kekayaan dapat merugikan anggota tersebut. Secara perlahan, persepsi publik terhadap mereka yang tidak mengumpulkan laporan kekayaan akan terbentuk. Wakil rakyat akan terlihat sebagai orang yang tidak memiliki komitmen dan integritas terhadap penyelenggaraan negara yang transparan.
Oce menambahkan, ke depannya, perlu ada kesadaran dari anggota DPR akan pentingnya LHKPN. Pengabaian terhadap hal semacam ini juga seharusnya menjadi perhatian khusus lembaga internal DPR seperti Majelis Kehormatan DPR (MKD). Mereka dapat menegur anggota dewan yang tidak mengindahkan kewajiban penyerahan laporan kekayaan.
Selain itu, Pimpinan DPR dan partai juga memiliki tanggung jawab untuk mengingatkan anggotanya. Kedua pihak juga dapat berinisiatif memberikan sanksi seperti peringatan keras bagi kadernya yang tidak menyerahkan LHKPN untuk menimbulkan kesadaran dengan lebih cepat.
Sementara itu, Robert mengatakan pemberian sanksi sosial seperti publikasi nama anggota yang tidak menyerahkan daftar kekayaan tidak bisa selalu dilakukan setiap tingkat kepatuhannya rendah. Sebaiknya ada regulasi hukum yang mengatur tentang sanksi-sanksi yang dapat diberikan apabila seorang pejabat publik, termasuk anggota DPR, abai dalam menyerahkan LHKPN.(LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)