Permintaan Sawit Dinilai Tak Terganggu Koreksi Pertumbuhan
›
Permintaan Sawit Dinilai Tak...
Iklan
Permintaan Sawit Dinilai Tak Terganggu Koreksi Pertumbuhan
Situasi perekonomian global yang diperkirakan tumbuh melambat tahun ini diperkirakan tidak mengganggu industri kelapa sawit Indonesia.
Oleh
Ferry Santoso / C Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Situasi perekonomian global yang diperkirakan tumbuh melambat tahun ini diperkirakan tidak mengganggu industri kelapa sawit. Sebab, permintaan minyak nabati menunjukkan tren yang terus tumbuh, termasuk di antaranya minyak kelapa sawit.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono di Jakarta, Rabu (23/1/2019) berpendapat, penurunan prediksi pertumbuhan ekonomi dunia oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen tidak terlalu berdampak bagi sektor industri perkebunan kelapa sawit.
Joko menjelaskan, kebutuhan dunia terhadap minyak nabati, terutama minyak sawit, terus tumbuh per tahun. Pertumbuhan atau penambahan kebutuhan minyak nabati dunia itu bisa mencapai 5 juta-6 juta ton per tahun. Jika dilihat kebutuhan pasar berdasarkan wilayah, seperti Eropa, China, dan India, terjadi defisit minyak nabati. Artinya, kebutuhannya jauh lebih besar dari produksi minyak nabati, termasuk minyak sawit.
Oleh karena itu, menurut Joko, permintaan minyak sawit yang besar di dunia menjadi peluang besar bagi industri minyak sawit Indonesia untuk mengisi pasar ekspor.
”Masalahnya, apakah kita bisa berkompetisi karena setiap negara tujuan ekspor memiliki tantangan yang berbeda,” kata Joko.
Volume ekspor minyak kelapa sawit dan turunannya pada 2018 mencapai 33 juta ton atau meningkat dibandingkan volume ekspor tahun 2017 yang 31,5 juta ton. Di sisi lain, program moratorium perkebunan kelapa sawit, produksi relatif tidak bertambah signifikan. Produksi minyak kelapa sawit tahun 2019 diperkirakan 43 juta ton atau naik sedikit dibandingkan tahun 2018 yang 42 juta ton.
Joko menambahkan, jika minyak sawit dapat digunakan lebih maksimal di dalam negeri seperti untuk program B20 atau B30, hal itu dapat memengaruhi pasokan kelapa sawit di pasar dunia.
Jika kebutuhan minyak sawit di pasar domestik untuk program B20 sebesar 6 juta ton, kata Joko, volume ekspor pun bisa berkurang cukup signifikan. Hal itu diharapkan dapat memengaruhi kenaikan harga minyak kelapa sawit di pasar dunia sehingga dapat meningkatkan nilai ekspor minyak sawit.
Garap pasar domestik
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, pelaku usaha terus melakukan konsolidasi dan hati-hati terkait prediksi perlambatan pertumbuhan ekonomi global oleh IMF.
Berdasarkan pengalaman, penyelenggaraan pemilu sebelumnya kondusif dan cukup bagus mendorong peningkatan konsumsi.
Gapmmi berharap pemerintah tidak membuat aturan baru yang menghambat industri. ”Pelaku usaha berharap pemerintah memiliki visi yang sama dalam menghadapi situasi sulit ini,” kata Adhi dari Pakistan lewat pesan tertulis, Rabu (23/1/2019).
Wakil Ketua Umum Gapmmi Rachmat Hidayat menambahkan, peraturan yang kondusif dibutuhkan karena industri makanan dan minuman tergolong industri yang sensitif terhadap gejolak peraturan perundang-undangan. Namun, pihaknya optimistis tahun ini industri makanan dan minuman masih bisa tumbuh di pasar domestik.
”Apalagi, berdasarkan pengalaman, penyelenggaraan pemilihan umum di periode-periode lalu kondusif dan cukup bagus mendorong peningkatan konsumsi makanan dan minuman,” katanya.
Selain menggarap pasar dalam negeri, beberapa anggota Gapmmi juga mengekspor produknya. ”Sejauh ini kami belum mendengar apakah terjadi tekanan terhadap permintaan ekspor,” katanya.
Salah satu kendala ekspor yang selama ini dihadapi pelaku industri makanan minuman skala kecil dan menengah adalah menyangkut pembiayaan ekspor. ”Jadi, kalau pemerintah ada inisiatif ke sana, tentu sangat bagus,” ujar Rachmat.
Hantam optimisme
Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam ketika dimintai tanggapan terkait koreksi pertumbuhan ekonomi global menuturkan, dampak perang dagang AS dan China memang mulai terlihat. ”Hal yang paling terhantam itu kan optimisme terhadap perekonomian ke depan,” kata Bob.
Bob mengatakan, optimisme yang terganggu bisa mendorong orang berhati-hati dan mengurangi belanja. Sebagai gambaran, penjualan otomotif global triwulan III dan IV tahun 2018 pun turun. ”Jadi, situasinya untuk ekspor harus mempertimbangkan ekonomi dunia lebih pesimistis yang antara lain ditandai revisi pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Menurut Bob, kondisi ekonomi global yang melesu pasti akan berdampak pada kinerja ekspor, terutama ketika negara tujuan ekspor tersebut memiliki ikatan kuat dengan perekonomian AS dan China.
Menurut Bob, kebijakan uang muka kendaraan bermotor yang lebih ringan dapat membantu mendorong konsumsi. Namun, di sisi lain juga harus dijaga agar sampai kebijakan tersebut menaikkan kredit bermasalah.
Terkait kebijakan mobil listrik, pihaknya berharap peraturan presiden tentang kendaraan listrik nantinya dapat memacu munculnya investasi terutama untuk teknologi baru. ”Untuk berinvestasi, investor butuh kepastian karena itu sifatnya jangka panjang. Di sisi lain investasi untuk kendaraan konvensional juga harus tetap dijaga,” kata Bob.