Kuasa Hukum Korban Dugaan Pelecehan Seksual di UGM Tak Setuju “Damai”
›
Kuasa Hukum Korban Dugaan...
Iklan
Kuasa Hukum Korban Dugaan Pelecehan Seksual di UGM Tak Setuju “Damai”
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS—Kuasa hukum korban dugaan pelecehan seksual di UGM tidak setuju atas penggunaan istilah “damai” dalam upaya penyelesaian perkara tersebut. Istilah itu dianggap membuat perjuangan korban meraih keadilan selama ini terkesan sia-sia.
Korban atau penyintas merupakan mahasiswi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Terduga pelaku adalah mahasiswa dari Fakultas Teknik UGM. Peristiwa itu diduga terjadi saat keduanya menjalani Kuliah Kerja Nyata, di Pulau Seram, Maluku, pada tahun 2017.
“Kami keberatan dengan penulisan istilah damai. Ini menegasikan tahapan demi tahapan perjuangan yang mengakibatkan, seolah tampak apa yang dilakukan selama kurang lebih 1,5 tahun ini tidak membuahkan hasil. Kami berkeyakinan, kejadian pelecehan seksual yang dialami korban, terjadi tanpa persetujuan korban,” kata Suharti, Direktur Rifka Annisa, di Yogyakarta, Rabu (6/2/2019).
Pernyataan itu merupakan tanggapan atas penyelesaian perkara tersebut lewat jalur nonlitigasi, atau diselesaikan secara internal, pada Senin (4/2/2019). Sebelumnya, korban dan terduga pelaku menyepakati untuk menyelesaikan perkara itu dengan dipenuhinya sejumlah tuntutan korban. Kemudian, terdapat penafsiran bahwa korban dan pelaku “berdamai” atas perkara tersebut.
Anggota Tim Kuasa Hukum Korban Sukiratnasari menjelaskan, jalur nonlitigasi ditempuh agar tidak memperburuk kondisi psikologis yang dialami oleh korban dalam penyelesaian kasus tersebut. Tujuan utamanya adalah memenuhi hak-hak yang memang seharusnya diperoleh korban.
“Kami berdiskusi dan memilih penyelesaian nonlitigasi supaya kami berfokus pada keadilan-keadilan substantif yang dibutuhkan oleh penyintas,” kata Sukiratnasari.
Sebelumnya, Rektor UGM Panut Mulyono mengungkapkan, ada sejumlah hal yang disepakati bersama oleh terduga pelaku dan korban lewat mekanisme penyelesaian tersebut. Hal-hal yang disepakati, yaitu pengakuan dan permohonan maaf dari terduga pelaku terhadap korban, bimbingan konseling wajib bagi terduga pelaku, pemulihan trauma bagi korban, perbaikan regulasi yang mengedepankan pencegahan dengan keberpihakan terhadap korban pelecehan seksual di UGM, serta ditanggungnya biaya kuliah dan biaya hidup korban sesuai komponen dalam beasiswa Bidik Misi sampai studinya selesai.
Suharti berharap agar apa yang telah disepakati kedua belah pihak ini benar-benar dijalankan. Misalnya, dalam bimbingan konseling wajib bagi terduga pelaku. Hal itu dilakukan untuk mengubah perilaku terduga pelaku agar tidak berbuat hal serupa di kemudian hari. Bimbingan konseling itu pun harus dipastikan dilakukan bersama psikolog klinis yang tersertifikasi untuk penanganan kasus pelecehan seksual.
Penyidikan terus berjalan
Secara terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo menyatakan, tidak akan menghentikan penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual tersebut, meskipun terduga pelaku dan korban telah menyepakati untuk menyelesaikan perkara itu lewat jalur nonlitigasi.
“Saya akan tetap membuktikan pemerkosaan itu terjadi atau tidak. Itu tugas saya. Tetapi, kalau para pihak sudah melakukan penyelesaian masalah, silakan saja. Saya selaku penyidik belum menyelesaikan rangkaian penyidikan saya. Masih akan terus saya jalankan,” kata Hadi.
Hadi menyatakan, pihaknya sudah mengumpulkan berbagai alat bukti dan keterangan saksi, tetapi masih membutuhkan setidaknya satu kali lagi gelar perkara. Ia akan mengundang para ahli untuk membantunya merumuskan kesimpulan yang jelas mengenai perkara tersebut.
Saya selaku penyidik belum menyelesaikan rangkaian penyidikan saya. Masih akan terus saya jalankan
“Saya akan undang para pihak untuk ikut gelar perkara. Saya akan undang beberapa ahli supaya kita bisa mengetahui peristiwa apa yang terjadi ini,” kata Hadi.