JAKARTA, KOMPAS - Perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance/MLA) antara Indonesia dan Swiss merupakan langkah maju dalam upaya pengembalian aset hasil korupsi atau tindak pidana ekonomi lain. Namun, kesibukan menjelang Pemilu 2019 berpotensi menghambat proses ratifikasi perjanjian tersebut. Terhalangnya ratifikasi ini berpotensi membuat kerja sama itu hanya sebatas di atas kertas tanpa ada implikasi yang bisa memudahkan penegak hukum.
Jika hal ini terjadi, akan menambah panjang perjanjian kerja sama yang tidak dapat segera diterapkan. Misalnya, Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) yang sudah diratifikasi, tetapi tak dapat diterapkan karena Undang-Undang Pemberantasan Korupsi tak segera direvisi sesuai rekomendasi UNCAC.
Sinyal terhalangnya ratifikasi MLA yang ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Kepala Departemen Keadilan dan Kepolisian Federal Swiss Karin Keller-Sutter pada Senin (4/2/2019) di Bern, Swiss, itu, antara lain, disampaikan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra, Sufi Dasco Ahmad. Ia mengatakan, kesibukan anggota DPR menjelang Pemilu 2019 ini memperkecil adanya ratifikasi.
”Ya, kami harus lihat-lihat dulu, dipelajari. Tahun politik ini. Takutnya enggak sempat lho,” kata Dasco, Rabu (6/2), di Jakarta.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mengatakan, bola ratifikasi perjanjian ini berada di pemerintah. DPR saat ini menunggu pemerintah mengusulkan ratifikasi terhadap perjanjian itu.
Sementara Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa menuturkan, akan mempelajari sebelum proses ratifikasi perjanjian dimulai. Komisi III DPR hingga kini belum mendapat salinan dari pemerintah.
”Ini masih versi pemerintah saja. Kami belum dapat drafnya atau dokumen apa pun yang sudah ditandatangani itu,” kata Desmond.
Pengajar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Akhiar Salmi mengatakan, kerja sama itu harus segera diratifikasi. Perjanjian itu jangan hanya dibiarkan menjadi kerja sama di atas kertas semata tanpa ada implikasi yang bisa memudahkan penegak hukum dalam praktiknya.
”Kami sudah banyak memiliki kerja sama dengan negara lain, tetapi apakah itu bisa diterapkan, itu pertanyaan lain,” kata Akhiar.
Kerja sama dengan Singapura, misalnya, sampai sekarang belum benar-benar bisa diimplementasikan karena tidak ada kerja sama ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. ”Banyak tersangka atau orang yang diduga melakukan kejahatan lari ke Singapura dan penegak hukum kita kesulitan untuk membawa mereka kembali karena tidak ada perjanjian ekstradisi. Adapun aset mereka yang disimpan di luar negeri juga tidak bisa disita,” ujar Akhiar mengingatkan.
Jika MLA tak kunjung diratifikasi, patut disayangkan. Sebab, menurut Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham Bambang Wiyono, penandatanganan MLA itu bisa dimanfaatkan Indonesia untuk mengatasi kejahatan di bidang perpajakan, perjudian, hingga pencucian uang yang menjadi bagian dari modus penyimpanan uang hasil korupsi ataupun bentuk kejahatan lain termasuk peredaran narkotika.
Namun, penandatanganan MLA itu baru tahap awal dari operasionalisasi kerja sama kedua negara. Kerja sama itu harus diratifikasi sebelum benar-benar bisa diterapkan. Indonesia telah memiliki kerja sama serupa dengan 9 negara atau kawasan lainnya, yakni Australia, Hong Kong, China, Korea Selatan, India, Vietnam, Iran, Uni Emirat Arab (UEA), dan ASEAN. (SPW/IAN)