Yusti Probowati, Rumah Hati Bagi Eks Napi Anak
Sejak 15 tahun yang lalu, Yusti Probowati (54) rajin menemui para napi anak. Ia mencoba memahami problema dan ketakutan yang mereka hadapi. Dari situ, ia membangun Rumah Hati, sebuah rumah singgah tempat para eks napi anak menyiapkan diri untuk mengarungi kehidupan baru.
Sebagai dosen, Yusti terbilang mapan. Tetapi ia tidak ingin waktunya dihabiskan sekadar untuk mengajar dan menjadi pembicara seminar. Hati kecilnya terus bertanya, apa yang bisa ia lakukan untuk masyarakat?
Pertanyaan itu membawa Yusti rutin berkunjung ke Lapas Anak Blitar sejak 2003. Tahun itu, ia baru mendapat gelar saja doktor ilmu psikologi forensik atau psikologi hukum dari Universitas Gadjah Mada. “Saya mendalami ilmu psikologi hukum karena dulu di meja makan selalu mendengar pembicaraan ayah-ibu mengenai kasus yang mereka tangani. Saya tertarik mengamati proses kognitif hakim saat menangani perkara,” kata guru besar bidang psikologi Universitas Surabaya, Jatim.
Ayah dan ibu Yusti berprofesi hakim. Semula ia ingin menerapkan ilmunya ke para hakim, tetapi ia sadar hal itu tak mudah. Ia pun mengalihkan perhatian ke lapas anak yang kekurangan tenaga konseling. Di lapas, seorang tenaga konseling umumnya harus melayani lebih dari 150 napi anak.
Dari pergaulannya dengan napi anak, ia tahu ada anak yang orangtuanya bercerai sehingga tinggal bersama nenek yang sudah tua. Ada yang ibunya bekerja sebagai TKW di luar negeri, lalu ia tinggal bersama ayah yang tak memperhatikan dirinya, atau ada anak yang tinggal dengan tetangganya karena orangtuanya meninggal. Sementara itu, si tetangga sibuk mengurus anaknya sendiri.
Usia anak-anak yang dihukum karena mencuri, membunuh, menganiaya rata-rata 16-17 tahun, tetapi ada juga di bawah itu. Sebagian dari keluarga tak harmonis sehingga mereka menabrak aturan
“Usia anak-anak yang dihukum karena mencuri, membunuh, menganiaya rata-rata 16-17 tahun, tetapi ada juga di bawah itu. Sebagian dari keluarga tak harmonis sehingga mereka menabrak aturan,” jelas Yusti. Yang membuat Yusti prihatin, jumlah anak-anak yang berkonflik dengan hukum terus bertambah.
"Dulu awal saya ke Lapas Anak Blitar hanya ada 80 anak, tapi tiap tahun bertambah sampai lebih dari 300 anak,” ceritanya.
Sebagai psikolog, Yusti mencoba memahami situasi yang dihadapi anak-anak itu. Ia menyediakan diri sebagai pendengar yang baik. Hasilnya, ia akrab dengan anak-anak binaan. “Intinya anak-anak itu butuh kasih sayang, mereka ingin didengar dan diajak berbicara,” ujar Yusti yang rutin pergi-pulang naik bus dari Surabaya ke Blitar untuk menemui napi anak setidaknya satu bulan sekali.
Satu hal yang selalu membuat hati Yusti terenyuh adalah jawaban anak-anak saat ia tanyakan mau dibawakan apa kalau ia datang lagi. “Mereka tak minta makanan enak seperti anak-anak lainnya. Mereka hanya minta mi ayam. Bagi anak di luar lapas, setiap saat mereka bisa menikmati makanan itu, tetapi tidak bagi napi anak."
Para petugas lapas senang dengan kehadiran Yusti. Mereka lantas meminta Yusti mengajari mereka cara melakukan terapi bagi napi anak.
Ketika tengah giat mengabdi ke lapas anak, Yusti bertemu dengan Margret Rueffler, doktor psikologi asal Swiss. Margret juga tertarik membantu napi anak. Keduanya sering bersama-sama mengunjungi lapas anak, tidak hanya Lapas Anak Blitar tetapi juga Lapas Anak Tangerang (Banten) dan Kutoarjo (Jawa Tengah).
Dari hasil diskusi, mereka menyusun modul terapi bagi napi anak dan melatih petugas lapas mempraktikkan modul tersebut. Pihak Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM waktu itu juga meminta Yusti melakukan hal sama di Lapas Anak Karangasem, Bali.
Di antara anak-anak itu ada yang tak punya orangtua, lalu ke mana mereka akan pergi. Sekalipun mereka punya orangtua belum tentu diterima kembali. Mereka memang harus disiapkan untuk kembali ke masyarakat
Suatu ketika, Yusti menemani tamu dari Jerman yang berkunjung ke lapas anak. Si tamu menyarankan Yusti memikirkan napi anak usai menjalani hukuman agar mereka siap kembali ke masyarakat. “Benar juga. Di antara anak-anak itu ada yang tak punya orangtua, lalu ke mana mereka akan pergi. Sekalipun mereka punya orangtua belum tentu diterima kembali. Mereka memang harus disiapkan untuk kembali ke masyarakat,” ujar psikolog yang kerap membantu polisi dan KPK ini.
Ditentang warga
Bersama Margret, Yusti merintis rumah singgah bagi eks napi anak di Jombang dengan dana dari Kindernothilfe, lembaga sosial dari Jerman, pada 2010. Sayangnya, niat mulia mereka malah ditentang sejumlah warga yang keberatan bertetangga dengan eks napi anak.
Yusti dan Margret terpaksa mencari rumah kontrakan di lokasi lain yang warganya menerima keberadaan eks napi anak. Tahun 2011, rumah singgah bagi eks napi akhirnya berdiri. Rumah singgah itu diberi nama Rumah Hati yang terbuka bagi eks napi anak dari berbagai suku dan agama. Kapasitas awal rumah singgah itu hanya untuk delapan penghuni. “Kami terpaksa menyeleksi calon penghuni secara ketat karena yang mau banyak. Kami hanya menerima anak lelaki,” kata Yusti.
Penghuni rumah singgah itu wajib mentaati aturan, belajar mandiri dengan memasak dan membersihkan rumah setiap hari. Di rumah ada pendamping yang menjaga mereka 24 jam, tetapi mereka tetap bebas berkegiatan. Sebulan sekali ada kunjungan psikolog alumnus Universitas Surabaya.
Semua anak bebas memilih kursus keterampilan sesuai minat. Tiap Senin-Jumat kursus, Sabtu dan Minggu mereka belajar di kelompok belajar paket. “Selama enam bulan mendapat bimbingan di sini. Biaya hidup dan pendidikan mereka kami tanggung,” jelas Yusti.
Meski sejak tahun 2013 tak ada lagi dukungan dana dari Jerman, Rumah Hati tetap bertahan. Margret yang makin sepuh tak kuat lagi bepergian ke Indonesia, praktis Yusti mengelola sendiri. Sejak lima tahun lalu, ia harus memutar otak mencari uang untuk mempertahankan Rumah Hati. “Sekarang setiap bulan kami harus punya dana Rp 11 juta untuk menggaji pendamping, biaya hidup, dan pendidikan anak-anak.”
Ia bersyukur mendapat bantuan dari banyak pihak, misalnya, teman sesama dosen dan alumnus Universitas Surabaya. Mereka siap menjadi volunter pendamping dan mencari dana lewat seminar.
Sejauh ini, Rumah Hati sudah membimbing lebih dari 80 anak. Di antara mereka ada yang menjadi pemijat, pemilik tempat potong rambut, bekerja di kebun sawit di Malaysia dan lainnya. Untuk saling kontak, Yusti membuat grup di sosial media. Setahun sekali ada reuni di Rumah Hati, biasanya usai lebaran.
“Senang sekali tahu kehidupan mereka sekarang. Sebagian melaporkan sudah bekerja atau punya usaha. Sudah punya sepeda motor dan lainnya. Cerita mereka itu sudah membayar semua lelah saya,” tutur Yusti.
Yusti Probowati
Suami : Pujiono Santoso
Anak : Annisa Rizkiayu Leofianti, Adistyana Damaranti
Pendidikan : S1 sampai dengan S3 Psikologi Forensik Universitas Gadjah Mada
Jabatan: Dekan Fakultas Psikologi Universitas Surabaya (2011-2015 dan 2015-2019)
Prestasi :
- 100 Wanita Inspiratif Versi Majalah Kartini 2012
- Wanita Inspirasi Tupper Ware She Can 2013
- Kartini Inspiratif Versi Semen Indonesia 2014
- Diundang sebagai peserta International Visitor Leader Program Bidang Child Protection oleh Pemerintah Amerika Serikat tahun 2017