China Dalam Ketidakpastian Perang Dagang dan Perlambatan Ekonomi
›
China Dalam Ketidakpastian...
Iklan
China Dalam Ketidakpastian Perang Dagang dan Perlambatan Ekonomi
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
Amerika Serikat dan China sedang berada pada masa "gencatan senjata" selama 90 hari terkait krisis perdagangan antara kedua negara. Batas waktu gencatan senjata adalah 1 Maret 2019 sejak dimulai pada Desember 2018.
Kabar tentang rencana presiden Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk bertemu dengan Presiden China Xi Jinping sebelum batas waktu yang ditentukan telah tersiar. Kabar ini membuat penjualan saham AS meroket. Timbul optimisme bahwa kedua negara akan bersepakat sebelum AS memberlakukan kenaikan tarif pada impor China sebesar 25 persen pada 2 Maret 2019.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow di Washington, Kamis (7/2/2019), mengatakan, Presiden Trump tidak berencana bertemu dengan Presiden Jinping sebelum batas waktu yang ditentukan. “Pada suatu titik tertentu, mereka akan bertemu. Itu yang dikatakan Presiden Trump. Namun, pertemuan belum terpikirkan pada saat ini,” ucapnya.
AS-China telah mengadakan pertemuan terkait perdagangan kedua negara di Washington pekan lalu. Namun, keduanya tidak membahas tarif impor yang akan diberlakukan AS pada Maret 2019 dalam diskusi.
Pejabat dari United States Trade Representative (USTR) Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin akan berangkat ke China untuk berdiskusi pada pekan depan. Pada intinya, AS menginginkan China mengubah kebijakan struktural tentang mekanisme perusahaan AS berbisnis di negara tersebut.
“Jika kami membuat kemajuan dan Presiden Trump berpikir dapat membuat perjanjian dalam isu penting, saya kira Trump akan menginginkan sebuah pertemuan,” kata Lighthizer.
Mengutip dari Bloomberg, eskalasi perang dagang AS-China membawa dampak buruk bagi kedua negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini. AS akan merasakan volatilitas pasar dan penurunan kepercayaan investor. Sejauh ini, konsumen AS belum merasakan dampak perang dagang yang telah berlangsung sekitar satu tahun sebab inflasi masih terjaga.
Efek negatif eskalasi perang dagang juga akan dirasakan oleh China. Perekonomian China akan semakin melambat pada 2019. Bloomberg Economics memperkirakan, produk domestik bruto (PDB) China akan turun 0,3 persen dengan asumsi perang dagang berlanjut.
Namun, jika "gencatan senjata" perang dagang berlanjut, perekonomian China akan tumbuh 6,2 persen pada 2019. Pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan lebih lambat dari tahun 2018, yang mencapai 6,6 persen.
Selama beberapa bulan terakhir, pasar global memprediksi ekonomi China akan melambat pada 2019. Sejumlah perusahaan global telah memproyeksikan perlambatan ekonomi China, seperti Apple, Starbucks, Volkswagen, dan FedEx.
Lembaga Riset DBS Group menyimpulkan, penurunan aktivitas ekonomi China mulai terlihat dari sektor perkapalan dan manufaktur. Perlambatan ini akan berdampak pada perdagangan global, terutama pada permintaan komoditas dan barang konsumen.
China menyumbang 30-40 persen terhadap pertumbuhan ekonomi global selama beberapa dekade terakhir. Perlambatan ekonomi China akan ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi global.
“Jelas bagi kami bahwa ketika Tiongkok ‘menghadapi masalah’, seluruh perdagangan dunia akan terpengaruh,” kata Masyita Crystallin, ekonom Lembaga Riset DBS Group, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Tantangan Indonesia
Dampak perang dagang AS-China dan perlambatan ekonomi China akan dirasakan Indonesia. Sepanjang 2018, China merupakan pasar ekspor nonmigas terbesar Indonesia sebesar 24,39 miliar dollar AS atau tumbuh 15 persen.
China juga menjadi sumber impor nonmigas terbesar Indonesia sebesar 45,24 miliar dollar AS atau tumbuh 28,49 persen pada 2018 (Badan Pusat Statistik, Januari 2019).
Riset yang dilakukan DBS Group juga menyebutkan, tantangan bagi perekonomian Indonesia pada 2019 masih berasal dari sisi perdagangan. Ekspor melemah minus 1 persen secara tahunan pada kuartal IV/2018. Sedangkan ekspor mencapai 8,6 persen secara tahunan pada kuartal III/2018.
Adapun impor melambat sebesar 12 persen secara tahunan pada kuartal IV/2018 dari 23,7 persen secara tahunan pada kuartal III/2018. Padahal, harga minyak turun signifikan pada kuartal IV/2018.
“Kami mengharapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1 persen pada 2019. Inflasi stabil, kepercayaan konsumen membaik, konsumsi pemerintah tetap kuat, subsidi meningkat, serta transfer dana ke daerah meningkat,” tutur Masyita.