Media Arus Utama, Rumah Penjernih Informasi
Kepercayaan terhadap media arus utama kian meningkat di tengah situasi banjir informasi di media sosial. Media arus utama terbukti mampu menjalankan peran sebagai rumah penjernih informasi.
SURABAYA, KOMPAS— Pesatnya teknologi digital yang diikuti dengan perkembangan media sosial membuat masyarakat tidak hanya menerima, tetapi juga memproduksi informasi berlimpah. Melalui media sosial, setiap orang menjadi ”jurnalis” bahkan menjadi ”pemimpin redaksi”, yang sebagian malah menciptakan kegaduhan, ketakutan, dan pesimisme.
Di tengah suasana itu, media arus utama sangat diperlukan untuk menjadi rumah penjernih informasi, serta penyaji fakta dan kabar terverifikasi.
”Media arus utama (pers) harus terus menjalankan peran sebagai komunikator, penangkal hoaks, dan dibutuhkan untuk bisa memberikan harapan- harapan besar kepada bangsa kita, Indonesia,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidato puncak peringatan Hari Pers Nasional 2019, Sabtu (9/2/2017), di Surabaya, Jawa Timur.
Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPD Oesman Sapta Odang, Gubernur Jatim Soekarwo, duta besar negara sahabat, serta sejumlah menteri Kabinet Kerja hadir dalam acara itu. Ada pula Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, Penanggung Jawab Hari Pers Nasional (HPN) 2019 Margiono, Ketua Umum PWI Atal Sembiring Depari, dan kalangan pemimpin redaksi media di Indonesia.
Peran media arus utama, menurut Presiden, kian penting untuk mengaplikasi kebenaran dan menyingkap fakta, terutama di tengah keganasan informasi pascafakta dan pascakebenaran. Dengan demikian, dampak buruk dari keganasan informasi hoaks bisa dicegah dan diatasi.
Presiden mengatakan, sejalan dengan ekspansi jaringan internet, media sosial melompat jauh dan tinggi. Pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 143,2 juta jiwa atau 54,6 persen dari penduduk negeri ini sebanyak 261,9 juta orang. Adapun pemakai media sosial mencapai 124,4 juta jiwa atau 87,1 persen dari pengguna internet. Yang viral di media sosial biasanya menjadi rujukan informasi, bahkan tidak jarang pula dirujuk oleh media konvensional.
Padahal, menurut Edelman Trust Barometer 2018, yang dikutip oleh Presiden, kepercayaan publik terhadap media arus utama meningkat. Singkat kata, publik tetap lebih memercayai pers ketimbang media sosial.
Presiden memaparkan, pada 2016, tingkat kepercayaan terhadap pers 59 persen berbanding 45 persen terhadap media sosial. Tahun berikutnya, perbandingan menjadi 58 persen:42 persen. Tahun lalu, perbandingannya mencapai 63 persen:40 persen.
”Saya sungguh gembira dengan situasi ini. Selamat kepada pers atas kepercayaan dari masyarakat,” ujar Presiden.
Presiden berharap media arus utama mempertahankan misi mencari kebenaran dan membangun optimisme. Saat pemerintah memaparkan capaian pembangunan, jangan terburu-buru dianggap kampanye atau pencitraan karena sebenarnya untuk membuat masyarakat sadar informasi.
Media massa diharapkan menjadi amplifier informasi tentang pembangunan, termasuk berbagai kekurangan yang harus dibenahi bersama. Pemerintah menjamin prinsip kemerdekaan pers dan kebebasan berpendapat sepanjang dipandu oleh tanggung jawab moral, etika, dan tata krama. Kemerdekaan pers itu juga sesuai dengan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran.
Dalam peringatan HPN 2019, Presiden Jokowi menerima penghargaan medali Kemerdekaan Pers yang diserahkan oleh Yosep Adi Prasetyo, yang akrab dipanggil Stanley, serta Margiono. Penghargaan diberikan karena selama lima tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi dinilai tidak mengintervensi kebebasan pers. Presiden juga selalu mendorong agar kasus sengketa pers diselesaikan oleh pers sendiri. ”Presiden memberikan kebebasan dan mengawal saja dari jauh tanpa banyak melakukan intervensi,” kata Stanley.
Sebelumnya, penghargaan serupa diberikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di ujung kepemimpinannya. Pemberian penghargaan medali kemerdekaan pers itu dilakukan saat puncak HPN 2009. Pada puncak HPN 2014, Presiden Yudhoyono juga diberi penghargaan sebagai sahabat pers.
Media terverifikasi
Dalam peringatan HPN kemarin, Stanley memaparkan, hingga saat ini, ada 2.400 media yang terverifikasi. Selain itu, ada 15.000 jurnalis yang lulus uji kompetensi berbagai level yang digelar oleh 27 lembaga penguji.
Di luar itu, masih banyak perusahaan media yang belum terverifikasi dan jurnalis yang belum berkompetensi. Kondisi ini patut mendapat perhatian mengingat jurnalis memiliki tugas utama menyampaikan kebenaran. Apalagi dalam pelaksanaan tugas menyampaikan kebenaran itu, dalam lima tahun terakhir para jurnalis mendapat tantangan yang begitu besar berupa maraknya hoaks.
Sebagian kalangan, menurut Stanley, mengetahui bagaimana memverifikasi informasi. Mereka membandingkan informasi yang diterima dengan informasi serupa di media arus utama seperti koran, majalah, tabloid, radio, televisi, dan laman.
Dengan kondisi seperti itu, Stanley mengingatkan pentingnya jurnalis untuk
tetap memegang teguh dan melaksanakan kode etik secara konsisten. Jurnalis berkewajiban untuk tetap independen, melaporkan peristiwa atau fakta sesuai hati nurani, serta menyampaikan informasi yang akurat dan bisa dipercaya sesuai kondisi obyektif.
”Tahun ini, di mana ada pemilihan umum DPD, DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, pers patut turut mengawal kontestasi. Jangan malah sebaliknya menjadi pemain yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap informasi yang dibutuhkan,” katanya.
Cabut remisi
Saat ditanya wartawan terkait perkembangan pencabutan remisi terhadap I Nyoman Susrama dalang pembunuhan jurnalis Radar Bali, Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, Presiden Jokowi menyatakan sudah menandatangani keputusan presiden terkait pencabutan remisi itu. ”Sudah, sudah saya tanda tangani,” ujarnya.
Pernyataan Presiden ini sekaligus menjadi jawaban atas tuntutan jurnalis yang terus memprotes pemberian remisi bagi Susrama. Pemberian remisi itu tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Berupa Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara, 7 Desember lalu. Susrama yang sebelumnya dipidana penjara seumur hidup dipotong masa tahanannya menjadi tinggal 20 tahun.
Secara terpisah, pengamat media sekaligus dosen Program Studi Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Masduki, mengapresiasi pembatalan remisi bagi Susrama. Pengungkapan kasus pembunuhan Prabangsa pada 2010 merupakan satu-satunya kasus kekerasan terhadap wartawan yang terungkap hingga ke dalangnya.
”Banyak kasus kekerasan pada wartawan yang belum tuntas hingga sekarang,” katanya.
Paling tidak, masih ada delapan kasus pembunuhan terhadap wartawan yang belum terungkap.
Masduki berharap, HPN menjadi ruang publik untuk membicarakan bagaimana kondisi kebebasan pers, keselamatan kerja jurnalis, independensi terhadap kekuasaan, dampak disrupsi teknologi atas profesionalis jurnalis, gerakan antihoaks, dan sebagainya.
”Model World Press Freedom Day yang digelar UNESCO setiap 3 Mei bisa menjadi acuan,” kata mahasiswa program doktoral Institute for Communications and Media Research, The University of Munich, Jerman, ini.
Dalam konteks kebebasan pers, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, Reporters Sans Frontieres atau Reporters Without Borders, pada 2018, masih menempatkan Indonesia di peringkat ke-124 dari 180 negara. Dengan peringkat ini, prestasi Indonesia dalam memperjuangkan kebebasan pers masih di bawah Timor Leste (ke-95), Afghanistan (ke-118), dan Nigeria (ke-119).
Bersamaan dengan perhelatan HPN, Aliansi Jurnalis Independen bersama Kontras Surabaya dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia mendesak penghentian praktik-praktik impunitas dengan mengungkap kasus pembunuhan dan kekerasan terhadap jurnalis serta kasus lainnya.
(BRO/SYA/ABK)