JAKARTA, KOMPAS - Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI menangkap tersangka terorisme HK alias Wahyu Nugroho alias Uceng. HK ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, ketika hendak berangkat ke Iran dan selanjutnya menuju Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo, Senin (11/2/2019), di Jakarta, menuturkan, HK merupakan residivis perkara terorisme. Sebelum ditangkap pada 3 Januari lalu, ia pernah dua kali diproses hukum karena perkara terorisme.
Penangkapan HK baru diumumkan sekitar satu bulan setelah ia ditangkap, menurut Dedi, karena Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membutuhkan waktu untuk menyelesaikan pengumpulan alat bukti.
Dedi mengungkapkan, HK merupakan sosok penting dalam jaringan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Ia punya kontak dengan salah satu tokoh NIIS di Suriah, yaitu Abu Walid. Bahkan, Abu Walid pula yang menyuruh dan memberikan uang sekitar Rp 30 juta kepada dirinya untuk bekal menuju Suriah pada awal Januari lalu. ”Selain untuk kepengurusan dokumen keberangkatan ke Suriah, uang itu juga diberikan ke sel-sel tidur NIIS di Indonesia untuk melakukan aksi teror,” kata Dedi.
Dedi memastikan sejumlah sel NIIS yang didanai HK telah dipetakan dan masuk dalam pemantauan Densus 88 Antiteror Polri. Antisipasi teror juga dilakukan Satuan Tugas Antiteror di semua kepolisian daerah.
Sebelum terlibat dengan NIIS, pada awal tahun 2000-an HK juga telah bergabung dengan kelompok Jamaah Islamiyah. Keterlibatan HK dengan jaringan teroris di luar negeri tidak lepas dari rekam jejaknya yang pernah belajar di Arab Saudi dan Afghanistan, termasuk bergabung dengan kelompok Taliban.
”Dia (HK) sangat senior yang memiliki koneksi langsung ke luar negeri,” ujar Dedi.
Di Indonesia, HK terlibat dalam serangkaian aksi teror yang direncanakan oleh Noordin M Top dan Azahari Husin. Ia juga terlibat dalam sejumlah perencanaan dan aksi kelompok teroris di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Yogyakarta.
Deradikalisasi
Pengamat terorisme Al Chaidar menilai, perlu ada evaluasi terhadap program deradikalisasi yang ditujukan untuk narapidana terorisme. Menurut dia, pendekatan ideologi yang dilakukan dengan memberikan pemahaman kebangsaan atau Pancasila kepada narapidana teroris tidak tepat.
”Pendekatan ideologis harus dilakukan bertahap. Mereka yang sudah radikal perlu diturunkan pemahaman keagamaannya menjadi fundamentalis, lalu diturunkan lagi menjadi moderat agar tidak lagi berkeinginan melakukan aksi teror,” papar Chaidar.
Pendekatan yang humanis melalui keluarga juga perlu dilakukan. Namun, Chaidar mengingatkan, pendekatan untuk membantu kehidupan keluarga terpidana teroris itu, terutama istri dan anak, tidak diumumkan kepada publik karena dapat membahayakan keselamatan mereka.