Pariwisata Semestinya Tak Terpengaruh Harga Tiket Pesawat
›
Pariwisata Semestinya Tak...
Iklan
Pariwisata Semestinya Tak Terpengaruh Harga Tiket Pesawat
Oleh
Maria Clara Wresti
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga tiket pesawat semestinya tidak menjadi hambatan pengembangan sektor pariwisata. Selain relatif belum lama dan hanya oleh sebagian maskapai, kenaikan harga tiket pesawat dan penerapan kebijakan bagasi berbayar merupakan kewenangan perusahaan penerbangan.
”Maskapai yang menerapkan bagasi berbayar hanya Lion Air dan Wings Air. Maskapai lainnya tidak, bahkan Citilink sudah mencabut kebijakan bagasi berbayarnya,” kata pengamat penerbangan yang juga anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, saat dihubungi, Selasa (12/2/2019).
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyampaikan keluhan pengusaha kepada Presiden Joko Widodo dalam gala dinner Peringatan HUT Ke-50 PHRI di Jakarta, Senin (11/2). Menurut Hariyadi, terbentuknya kartel penerbangan dan monopoli avtur menjadi penyebab melambatnya pariwisata Indonesia sejak awal 2019.
Menurut Alvin, pernyataan itu merupakan generalisasi yang berlebihan. Apalagi kebijakan bagasi berbayar baru tiga minggu dilaksanakan dan hanya dilakukan oleh dua maskapai. ”Apa sudah dilakukan kajian yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa penyebab turunnya penumpang adalah karena bagasi berbayar? Tidak semua penumpang pesawat itu adalah wisatawan,” ujarnya.
Alvin mengatakan, resolusi Asosiasi Transportasi Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA) Nomor 302 Tahun 2011 menyebutkan bahwa maskapai diberikan kebebasan menentukan sendiri kebijakan bagasi. ”Di aturan tersebut disebutkan, mulai dari membebaskan biaya bagasi seluruhnya, sebagian, ataupun mengenakan biaya pada bagasi yang dibawa oleh penumpang. Tidak hanya itu, kewenangan pengenaan biaya tersebut juga boleh dengan penentuan tarif berdasarkan biaya per kilogram, biaya berdasarkan sektor, biaya sama rata, dan sebagainya,” katanya.
Lalu jika dilihat di dalam negeri, tambah Alvin, memang sejak dulu tidak diatur, maskapai bebas menentukan sendiri. Bahkan di Peraturan Menteri Nomor 185 Tahun 2015 ditegaskan bahwa maskapai berbiaya rendah (low cost carrier/LCC) atau no frill boleh menerapkan bagasi berbayar atau tanpa bagasi gratis. Sementara maskapai dengan kategori medium service dapat memberikan bagasi gratis hingga 15 kilogram. Adapun bagi maskapai dengan kategori full service dapat memberikan bagasi gratis hingga maksimal 20 kilogram.
Alvin juga mengakui, pemberlakuan bagasi berbayar ini menimbulkan polemik karena konsumen penerbangan di negara kita telah lama dimanjakan dengan pemberian bagasi cuma-cuma. ”Di Inggris juga begitu, masyarakat juga menolak ketika maskapai Flybe menerapkan aturan bagasi yang dibawa ke kabin harus diukur volume dan besarnya. Yang melebihi aturan, akan dikenai biaya lagi,” kataya.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo berpendapat, guna menyelesaikan polemik terkait pro kontra bagasi berbayar, maskapai diharapkan lebih mengedepankan faktor proporsional dan menggencarkan sosialisasi baik dari tarifnya maupun acuan aturan yang berlaku.
”Tidak dimungkiri jika saat ini ada maskapai langsung mengenakan tarif yang cukup memberatkan ditambah kurang sosialisasi, akhirnya terjadilah kegaduhan. Saya berkeyakinan, jika konsumen dikenai tarif yang proporsional dan diberikan sosialisasi yang masif, penumpang akan bisa menerima,” tuturnya.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, tidak perlu ikut mengatur masalah tarif bagasi karena hal ini sudah masuk ke dalam ranah bisnis maskapai. ”Lebih baik Kemenhub jangan terlalu jauh masuk mengurusi bagasi berbayar. Kemenhub fokus saja pada masalah keselamatan penerbangan,” ujarnya.
Harga avtur
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan untuk meninjau ulang harga avtur. ”Kalau harga avtur turun, harga tiket pesawat juga bisa turun karena biaya avtur mengambil porsi 40 persen dari total biaya penerbangan,” kata Arief.
Masalah itu diharapkan bisa diselesaikan dengan hati-hati agar tidak membahayakan semua industri yang terlibat. ”Memang, apabila harga naik, permintaan akan turun. Ini namanya price elasticity. Nanti akan ada keseimbangan baru, ada normal yang baru,” ujarnya.
Apabila kenaikan harga terlalu tinggi dan mendadak (sangat cepat) dan tidak bertahap, normal barunya jauh lebih rendah. ”Angka permintaan baru lebih rendah daripada permintaan lama. Di sinilah kita harus berhati-hati,” kata Arief.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti meminta maskapai yang menerapkan bagasi berbayar agar lebih maksimal menyosialisasikan tarif bagasi. ”Maskapai harus membuat informasi yang mengedukasi penumpang, baik melalui media elektronik, media cetak, maupun media sosial,” ujarnya.
Sosialisasi bisa dilakukan dengan membuat infografis mengenai daftar harga tarif bagasi prabayar (prepaid) ataupun excess baggage ticket (EBT) untuk semua rute yang dilayani. Juga terkait batasan bagasi prabayar yang dapat dibeli oleh penumpang.