Rawan Penyalahgunaan, Buka Revisi Rencana Kerja Usaha ke Publik
›
Rawan Penyalahgunaan, Buka...
Iklan
Rawan Penyalahgunaan, Buka Revisi Rencana Kerja Usaha ke Publik
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Koalisi Anti Mafia Hutan meminta agar pemerintah serta perusahaan hutan tanaman industri yang menjalankan restorasi gambut membuka dokumen revisi rencana kerja usaha restorasi gambut ke publik. Tujuannya agar publik bisa berpartisipasi dalam memantau pelaksanaan restorasi agar kebakaran hutan dan lahan tidak lagi terulang.
Pelaksanaan restorasi ekosistem gambut ini dilakukan sebagai respon pemerintah atas bencana kebakaran hutan dan lahan 2015 yang melahap hutan dan lahan seluas 2,6 juta hektar dan menimbulkan kerugian hingga Rp 221 triliun. Belum lagi dampak lingkungan dan kesehatan yang tidak dapat diakumulasi.
Syahrul Fitra Tanjung, peneliti Yayasan Auriga Nusantara – bagian Koalisi Anti Mafia Hutan – mengatakan pelaksanaan restorasi gambut yang tertutup rentan akan perilaku koruptif dan kongkalingkong. Ia menunjukkan data perusahaan raksasa hutan tanaman industri yang memiliki konsesi seluas 800.000 hektar di kawasan lindung gambut.
Pelaksanaan restorasi gambut yang tertutup rentan akan perilaku koruptif dan kongkalingkong.
Konsekuensi berada di kawasan lindung gambut, perusahaan wajib merevisi rencana kerja usaha (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT) dengan memasukkan upaya-upaya restorasinya. Setidaknya 45 perusahaan hutan tanaman industri telah menyampaikan revisi RKU tersebut.
“Namun demikian, daftar perusahaan itu tidak muncul ke publik, apalagi rincian perubahan rencana kerjanya,” kata Syahrul, Rabu (13/2/2019) di Jakarta. Sebagai bagian dari Koalisi Anti Mafia Hutan, ia telah bersurat ke KLHK untuk mendapatkan revisi RKU tersebut namun permintaaan belum dipenuhi.
Syahrul mengkhawatirkan perusahaan yang telanjur memiliki konsesi besar dan telah ditanami tersebut berupaya terus untuk memenuhi kapasitas kebutuhan pabrik pengolahan bubur kertas. Di posisi ini, ia mengkhawatirkan proses revisi RKU menjadi “sarana transaksi” apabila pemerintah dan perusahaan tak transparan.
Indikasi yang menguatkan kekhawatirannya yaitu pemerintah masih memberikan izin baru peningkatan kapasitas produksi industri pulp dan kertas. “Meski berkomitmen keberlanjutan dan perlindungan ekosistem gambut, industri tersebut juga harus memenuhi kebutuhan bahan baku industri. Lantas, bagaimana mereka melakukan restorasi ekosistem gambut dan di mana saja? Ini belum bisa diverifikasi hingga saat ini,” kata dia.
Tahun 2017, Pemerintah juga membentuk kebijakan lahan pengganti (land swap) sebagai insentif bagi perusahaan yang 40 persen konsesinya masuk zona lindung ekosistem gambut. Analisis Koalisi atas lahan pengganti ini, justru menemukan sekitar 40 persen alokasi lahan pengganti terletak di kawasan hutan alam baik primer atau sekunder. Artinya, kebijakan land swap akan memperluas deforestasi dan kerusakan hutan di Indonesia beserta potensi konflik sosial.
Koalisi Anti Mafia Hutan mendesak pemerintah dan perusahaan HTI yang terimbas kebijakan perlindungan ekosistem gambut agar mempublikasi revisi RKU dan RKT yang mencakup yang mencakup rencana pengelolaan dan pemulihan ekosistem gambut di dalamnya. Total sebanyak 87 perusahaan HTI yang berada di kawasan hutan gambut (Kompas, 12 Januari 2018).
Dokumen terbuka
Dikonfirmasi terkait dokumen RKU dan RKT ini, Kepala Biro Humas KLHK Djati Witjaksono Hadi mengatakan pada prinsipnya RKU merupakan dokumen terbuka. Ia mengatakan akan mengecek perihal permohonan Auriga atas informasi dokumen tersebut ke KLHK.
Namun, ia menjelaskan apabila tak semua isi RKU bisa dibuka ke publik. Ia mencontohkan data yang tertutup yaitu terkait investasi dan teknik silvikultur. “Itu kan klasifikasinya rahasia perusahaan. Kalau teknik silvikultur biasanya terkait paten,” kata dia
Djati juga mengatakan informasi peta pun merupakan dokumen terbuka. Kecuali pemohon informasi meminta peta dalam format shape file. Hal ini tak bisa diberikan demi keamanan data dan menghindari penyalahgunaan informasi.