Kisah Warga Burangkeng Tak Berdaya di Hadapan Tumpukan Sampah
›
Kisah Warga Burangkeng Tak...
Iklan
Kisah Warga Burangkeng Tak Berdaya di Hadapan Tumpukan Sampah
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Warga Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, telah merelakan tanahnya untuk menjadi tempat pembuangan akhir sampah sejak belasan tahun lalu. Selama itu pula, kerelaan itu bertepuk sebelah tangan. Mereka berjibaku menahan aneka dampak gunungan sampah secara mandiri.
Een, warga Kampung Jati, Desa Burangkeng, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, masih ingat betul letak sawah keluarganya yang kini telah berubah menjadi gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Burangkeng. Belasan tahun lalu, keluarganya dan sejumlah keluarga lain bersedia membebaskan lahan untuk kepentingan warga se-kabupaten.
Warga buta huruf itu tidak terbayang dampak yang akan muncul setelah TPA beroperasi. “Tiba-tiba daerah sini berubah jadi sangat bau,” kata Een saat ditemui di rumahnya, Kamis (14/2/2019). Rumahnya berada di areal TPA Burangkeng, jaraknya sekitar 10 meter dari gunungan sampah setinggi kira-kira 10 meter.
Setiap hari, ada 120 truk yang membuang aneka sampah, mulai dari sampah domestik, plastik, hingga perabot rumah tangga. Bau busuk pun menjadi sahabat sehari-hari Een. Ia merasa tak nyaman, tetapi tak punya pilihan.
“Saya mau bagaimana lagi ya, mau pindah rumah juga enggak punya duit. Saya juga mencari uang di sini,” kata Een. Sejak TPA dibuka pada 2001, Een bekerja sebagai pemulung. Sementara itu suaminya, direkrut sebagai petugas pengamanan di sana.
Ketidakberdayaan yang sama dirasakan Abi (42), warga Kampung Cinyosok, Desa Burangkeng. Meski rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari TPA, namun dampak keberadaan gunungan sampah itu juga sampai ke rumahnya.
Saya mau bagaimana lagi ya, mau pindah rumah juga enggak punya duit. Saya juga mencari uang di sini
Bagaimana tidak, rumahnya berada di tepi jalur masuk truk sampah Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi. Sebagian besar truk baknya masih terbuka. Selain menyebarkan bau busuk, truk itu juga merembeskan air lindi ke sepanjang jalan.
Abi mengatakan, bau busuk semakin menyengat saat musim hujan. Air hujan mengalirkan kotoran yang menempel di sampah ke permukiman warga. Saat itu juga, ia dan keluarga kerap menderita sakit kepala. Namun, lagi-lagi tidak ada yang bisa dilakukan oleh pedagang makanan itu untuk menghindari bau. Di lokasi berbau busuk itulah tempatnya mencari nafkah.
Selain bau, kerumunan lalat juga hinggap di rumah Abi. Ia dan istri khawatir keberadaan lalat itu dapat mengganggu kesehatan kedua anaknya yang masih balita. Oleh karena itu, ia tidak pernah memasak lauk pauk dan sayuran di rumah.
“Kami di rumah hanya memasak nasi di penanak nasi, karena lebih aman dari lalat. Kami tidak berani memasak lauk pauk, apalagi ikan,” kata Abi. Ketakutannya beralasan, sekitar satu tahun lalu anaknya menderita diare setelah beraktivitas di TPA selama beberapa jam. Diarenya pun cukup berat, ia harus dirawat di rumah sakit selama tiga hari.
Kepala Desa Burangkeng Nemin mengatakan, warganya memang terancam begitu banyak penyakit karena tumpukan sampah. Ia pun menduga, TPA Burangkeng belum memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). “Saya belum pernah mendapatkan salinan dokumen AMDAL TPA Burangkeng,” ujarnya.
Pengelolaan sampah di TPA juga berantakan. Pada Kamis siang, sampah sudah berceceran di jalan yang berjarak 100 meter dari gerbang TPA Burangkeng. Memasuki areal TPA, sampah juga tigak terkonsentrasi pada gunungan-gunungan, tetapi juga di tepi jalan. Begitu juga air lindi, bau busuk, dan kerumunan lalat ada dimana-mana.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) TPA Burangkeng Maulan mengatakan, TPA sudah kelebihan kapasitas atau overload sejak 2014. Tempat pembuangan seluas 11,6 hektare (ha) itu belum bisa diperluas karena harus mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) Jawa Barat terlebih dahulu. Di dalam RTRW tersebut, luas TPA sudah ditetapkan, yaitu 11,6 ha dan masih berlaku hingga 2030.
Dalam kondisi demikian, warga harus menghadapi seluruh ancaman itu sendirian. Pemerintah Kabupaten tidak membangun infrastruktur kesehatan yang memadai di sana.
“Hanya ada satu Puskesmas di Kecamatan Setu,” kata Nemin. Baru dua tahun lalu, ia membangun Puskesmas Pembantu (Pustu) di kompleks kantor desa. Namun, layanan di Pustu itu pun terbatas pada penyakit-penyakit ringan.
“Bantuan dari pemeritah kabupaten juga euweuh (tidak ada),” kata Een. Baik berupa uang, maupun sosialisasi mengenai cara menjaga kesehatan bagi warga yang tinggal di tengah gunungan sampah. Padahal, mereka harus berhadapan dengan ratusan ton sampah dari seluruh penduduk Kabupaten Bekasi setiap hari.