JAKARTA, KOMPAS - Neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2019 tercatat defisit 1,16 miliar dollar AS. Perlambatan ekonomi dan permintaan global dinilai turut mempengaruhi angka defisit tersebut. Namun, pemerintah perlu bekerja keras menggenjot ekspor dan mengerem impor.
Perdagangan nonmigas menyumbang defisit 704,7 juta dollar AS, sementara perdagangan migas 454,8 juta dollar AS. Jika dibandingkan Januari 2018, neraca migas sebenarnya lebih baik karena defisit berkurang dari 935,6 juta dollar AS. Namun, neraca nonmigas sebaliknya, sebab pada Januari 2018 tercatat surplus 179,6 juta dollar AS.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penurunan volume perdagangan di China dan Amerika Serikat berdampak langsung ke Indonesia. Pertumbuhan ekspor nonmigas terus melambat sejak mencapai puncak pada bulan Juli 2018 sebesar 16,29 miliar dollar AS.
"Kita terpengaruh langsung oleh perang dagang (Amerika Serikat-China). Akibatnya, ekspor menurun tajam terutama ke China, negara tujuan nomor satu," kata Darmin di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Secara terpisah, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, defisit neraca perdagangan Januari 2019 menunjukkan adanya persoalan yang lebih fundamental dibandingkan ekspor-impor migas. Kondisi perekonomian global ke depan akan mengancam perdagangan nonmigas Indonesia.
Di tengah ekonomi global yang rentan bergejolak, pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam mengelola impor. Sebab, laju pertumbuhan impor bisa lebih cepat dibandingkan ekspor, seperti terjadi tahun 2018. Di sisi lain, langkah pemerintah memperbaiki defisit migas, antara lain melalui perluasan pemakaian biodiesel, dinilai berada di kerangka yang benar.
Produk industri
Darmin menambahkan, pemerintah segera menyusun kebijakan jangka pendek untuk memperbaiki defisit perdagangan nonmigas. Ekspor yang diprioritaskan tidak lagi komoditas mentah, tetapi komoditas industri. Sejauh ini ada dua komoditas industri prioritas yang akan didorong pemerintah, yaitu otomotif dan garmen.
Setidaknya ada lima sektor unggulan dalam peta jalan Revolusi Industri 4.0, yaitu industri kimia, tekstil dan produk tekstil, elektronik, otomotif, serta makanan dan minuman. Sektor lain bisa dari industri perikanan, permesinan, peralatan kesehatan, furnitur, serta produk kayu dan kertas.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Widjaja Kamdani, untuk menggenjot ekspor, pelaku industri butuh dukungan berupa akses lahan, perizinan usaha, dan infrastruktur. Dia usul pengembangan industri pengolahan diprioritaskan pada sektor yang bernilai tambah dan tingkat penyerapan tenaga kerjanya tinggi, seperti industri makanan-minuman, teknologi informasi, agrobisnis, dan transportasi.
Jika ditinjau dari golongan barang, impor berbagai produk kimia pada Januari 2019 tercatat naik 47,14 persen dibandingkan Januari 2018, yakni dari 200,7 juta dollar AS jadi 295,3 juta dollar AS. Mayoritas di antaranya adalah bahan baku dan penolong industri.
"Bahan kimia tersebut antara lain untuk bahan baku tekstil maupun petrokimia, termasuk industri kosmetika, dan farmasi," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono.
Peningkatan impor produk kimia dinilai tidak lepas dari pertumbuhan industri tekstil dan kosmetika nasional. Oleh karena itu, investasi diperlukan untuk memperkuat industri yang mampu memproduksi bahan baku di dalam negeri.
Menurut dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, ekspor berbasis komoditas tidak dapat diandalkan dalam jangka panjang karena fluktuasi harga internasional. Oleh karena itu, pemerintah mesti mengambil langkah yang mendorong aktivitas industri pengolahan agar mendongkrak ekspornya. (JUD/MED)