JAKARTA - Margin perdagangan dan pengangkutan sejumlah komoditas pangan pokok penyumbang inflasi cenderung naik. Kenaikan itu menjadi indikator bahwa rantai distribusi belum efisien.
Berdasarkan hasil survei pola distribusi perdagangan komoditas atau Poldis 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik, Jumat (15/2/2019), margin perdagangan dan pengangkutan atau MPP beberapa komoditas pangan pokok pada tahun 2017 naik dibandingkan MPP tahun 2016.
Komoditas dengan MPP naik yakni daging sapi, bawang merah, teluh ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng. Adapun tiga komoditas lain, yakni beras, cabai merah, dan daging ayam ras, turun. Delapan komoditas itu merupakan bahan pangan yang paling banyak dikonsumsi, membentuk inflasi, dan berkontribusi pada produk domestik bruto.
Khusus beras, MPP-nya turun dari 26,12 persen tahun 2016 menjadi 25,35 persen tahun 2017. Namun, angka itu masih lebih tinggi dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati berpendapat, semakin tingginya angka persentase MPP beras menunjukkan ada kenaikan selisih harga yang diterima produsen dengan harga yang diterima konsumen.
Angka persentase MPP tinggi juga berarti rantai distribusi masih berjalan tidak efisien. Penyebab masih tingginya persentase MPP beras berasal dari berbagai faktor yang kompleks, termasuk biaya pengangkutan dari satu rantai ke rantai berikutnya.
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras serta membentuk Satuan Tugas Pangan yang mengawasi distribusi. Namun, kebijakan itu dinilai belum efektif memangkas margin perdagangan dan pengangkutan.
Berdasarkan survei-survei Poldis sebelumnya, MPP beras tahun 2013 tercatat 17,27 persen, lalu turun jadi 10,43 persen tahun 2014, dan 10,42 persen tahun 2015. Namun, MPP beras melonjak jadi 26,12 persen tahun 2016.
Rantai terpotong
Terkait harga beras, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi (Perpadi), Sutarto Alimoeso berpendapat, kenaikan harga gabah sepanjang tahun 2017 berdampak signifikan pada harga beras yang diproduksi penggilingan. "Harga di penggilingan bergantung pada harga gabah di tingkat petani sebagai bahan bakunya," ucapnya.
Berdasarkan data BPS, sepanjang 2017, harga gabah kering panen di tingkat petani naik 8,05 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Seiring dengan kenaikan itu, harga beras medium meningkat 5,04 persen dibanding 2016.
Menurut Kepala BPS, Suhariyanto, pola distribusi perdagangan beras tahun 2017 sama dengan tahun sebelumnya, yakni dari produsen ke distributor, lalu ke pedagang eceran, dan konsumen akhir. Namun, pola distribusi pada komoditas cabai merah berubah karena rantai terpotong, yakni dari 4 rantai jadi 3 rantai.
Pada survei tahun 2016, ada mata rantai pengepul di antara petani dan pedagang grosir yang nilai MPP di titik itu mencapai 15,56 persen. Terputusnya rantai itu membuat MPP cabai merah berkurang dari 61,05 persen tahun 2016 menjadi 47,1 persen tahun 2017. Pada tahun 2017, rata-rata petani cabai merah langsung menjual ke pedagang grosir, tanpa melalui pengepul.
Ekonom Indef lain, Rusli Abdullah berpendapat, turunnya MPP belum berpengaruh signifikan pada inflasi pangan. Kenaikan indeks harga konsumen pada kelompok bahan makanan tahun 2017 mencapai 1,26 persen dibandingkan dengan tahun 2016.
Data MPP, kata Rusli, menjadi gambaran bagi pemerintah untuk menentukan titik mata rantai yang berpengaruh signifikan terhadap pembentukan harga. "Pemerintah dapat intervensi titik mata rantai tersebut," ujarnya.
Survei Poldis digelar untuk mendapatkan gambaran pola distribusi serta margin perdagangan dan pengangkutan dari produsen ke konsumen akhir. Survei mencakup 34 provinsi dan 232 kabupaten/kota. Komoditas yang dipilih bersifat strategis dan banyak dikonsumsi masyarakat.