Tindakan Maroko menarik dubesnya, Mustafa al-Mansouri, dari Riyadh pada Jumat (8/2/2019) lalu menjadi tanda puncak memburuknya hubungan Arab Saudi-Maroko saat ini. Maroko juga menarik dubesnya untuk Uni Emirat Arab (UEA), Mohamed ait Quali, dari Abu Dhabi.
Memburuknya hubungan Maroko-Arab Saudi cukup mengejutkan karena dua negara Arab monarki itu dikenal dua negara sahabat strategis sejak tahun 1957. Para raja Arab Saudi sejak Raja Faisal bin Abdulaziz hingga Raja Salman saat ini memiliki tradisi berlibur musim panas ke Maroko. Di kota Tangier, Maroko barat laut, terdapat istana yang sangat megah dan menjadi tempat liburan populer para raja Arab Saudi.
Memburuknya hubungan Maroko dengan Arab Saudi dan UEA terakhir ini menandai semakin retaknya aliansi negara-negara Arab monarki yang selama ini dikenal selalu bersatu menghadapi tantangan mereka bersama. Sebelumnya, pada Juni 2017, aliansi negara-negara Arab monarki sudah retak, ditandai blokade kuartet negara Arab (Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir) terhadap Qatar.
Ada delapan negara di dunia Arab yang sampai saat ini masih menerapkan sistem monarki mutlak. Sang raja atau emir memegang kekuasaan mutlak dalam sistem monarki itu. Delapan negara itu adalah enam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), yaitu Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, UEA, Qatar, dan Kesultanan Oman. Dua negara Arab monarki di luar GCC, yaitu Jordania dan Maroko.
Konflik Qatar-kuartet Arab memuncak akibat perbedaan pandangan atas musim semi Arab tahun 2011. Qatar mendukung gerakan musim semi Arab yang mengusung agenda demokrasi. Sebaliknya, kuartet Arab itu memimpin gerakan menggagalkan musim semi Arab, yang mereka nilai hanya mengantarkan gerakan Islam politik ke tampuk kekuasaan.
Adapun terpuruknya hubungan Maroko dengan Arab Saudi dan UEA disebabkan oleh sikap Maroko yang netral terhadap konflik Qatar-kuartet Arab. Arab Saudi sangat kecewa terhadap Maroko yang tidak mendukungnya dalam gerakan melawan Qatar. Arab Saudi juga kecewa terhadap sikap Maroko yang tidak mendukung Riyadh dalam kasus tewasnya wartawan Jamal Khashoggi di Istanbul pada 2 Oktober lalu.
Kekecewaan Arab Saudi terlihat ketika Maroko tidak menjadi persinggahan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dalam lawatannya ke negara-negara Arab, akhir November lalu. Arab Saudi kemudian membalas dengan mengambil sikap menolak dalam voting suara di FIFA terhadap upaya Maroko menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026.
Kekecewaan Arab Saudi terlihat ketika Maroko tidak menjadi persinggahan Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) dalam lawatannya ke negara-negara Arab, akhir November lalu.
Puncak hubungan buruk Maroko-Arab Saudi terjadi ketika stasiun televisi Alarabiya, pekan lalu, menayangkan laporan jurnalistik tentang isu Sahara Barat. Dalam laporan televisi itu disebutkan bahwa PBB telah mengakui front Polisario sebagai wakil resmi rakyat Sahara Barat. Seperti dimaklumi, konflik Maroko-front Polisario muncul menyusul aneksasi Maroko ke wilayah Sahara Barat pasca mundurnya kolonial Spanyol dari Sahara Barat tahun 1975. Front Polisario yang dibentuk warga Sahara Barat mengklaim, Sahara Barat adalah wilayahnya.
Tayangan tersebut tampaknya sebagai serangan balasan Arab Saudi atas Maroko pasca wawancara Menlu Maroko, Nasser Bourita, dengan televisi Al Jazeera. Bourita mengungkapkan, Maroko sudah tidak aktif lagi dalam koalisi Arab dalam perang melawan kelompok Houthi di Yaman.
Maroko sangat marah dengan tayangan televisi Alarabiya. Tayangan itu dianggap memecah belah wilayah kesatuan negara Maroko. Padahal Arab Saudi selama ini dikenal pendukung kuat kedaulatan Maroko atas Gurun Sahara Barat.
Maroko langsung menarik dubesnya dari Arab Saudi dan UEA sebagai protes atas tayangan televisi Alarabiya tersebut. Maroko memandang Arab Saudi dan UEA berandil besar karena saham terbesar televisi itu milik Arab Saudi, dan stasiun televisi tersebut berbasis di Dubai, UEA.
Kasus buruknya hubungan Maroko dengan Arab Saudi dan UEA, serta terpuruknya hubungan Qatar dengan Arab Saudi, UEA dan Bahrain, merupakan fenomena pertama kali ambruknya aliansi negara Arab monarki dalam sejarah modern Arab yang selama ini dikenal selalu bersatu. Tahun 1950-an dan 1960-an, delapan negara Arab monarki tersebut bersatu melawan gerakan nasionalisme Arab progresif yang dipimpin Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser.
Delapan negara Arab monarki itu memandang figur Nasser yang berasal dari militer sebagai ancaman terhadap kekuasaan monarki di dunia Arab. Nasser meraih kekuasaan dengan cara menumbangkan sistem monarki di Mesir pada tahun 1952. Gerakan Nasser itu menginspirasi tokoh-tokoh muda militer di sejumlah negara Arab untuk melancarkan aksi kudeta di negara mereka masing-masing.
Maka. maraklah aksi kudeta di dunia Arab pada tahun 1950-an dan 1960-an. Dimulai dari aksi kudeta di Irak yang dikenal dengan nama Revolusi 14 Juli 1958 oleh Brigjen Abd al-Karim Qasim atas Raja Faysal II. Aksi kudeta tersebut mengakhiri era monarki Hashemite di Irak.
Setelah itu, disusul aksi kudeta di Suriah yang dilancarkan sejumlah perwira muda loyalis partai Baath atas Presiden Suriah Shukri al-Quwatli pada 8 Maret 1963. Aksi kudeta juga terjadi di Aljazair oleh Jenderal Houari Boumediene atas Presiden Ahmed Ben Bella tahun 1965. Kudeta terjadi pula di Libya oleh Kolonel Moammar Khadafy atas Raja Idris pada tahun 1969 yang mengakhiri sistem monarki di negara itu.
Pada tahun 1969 juga, terjadi kudeta di Sudan oleh Kolonel Jaafar Nemeiry atas pemerintahan Sadiq al-Mahdi.
Menghadapi gerakan kudeta militer di sejumlah negara Arab tersebut, delapan negara Arab monarki menggerakkan gerakan Islamisme untuk melawan gerakan nasionalis sekuler yang digalang oleh Nasser saat itu. Arab Saudi, Kuwait, Qatar, dan UEA pada tahun 1950-an dan 1960-an menampung tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin (IM) yang lari dari Mesir akibat diburu rezim Gamal Abdel Nasser.
Kini, negara-negara Arab monarki terpecah akibat beda pandangan atas isu kekinian, seperti isu musim semi Arab, tewasnya Khashoggi, dan isu gerakan Islam politik.