Sebanyak 13 kepala daerah terjerat kasus korupsi di Jawa Timur, 11 di antaranya sudah divonis hingga 10 tahun pidana penjara dan dicabut hak politiknya untuk dipilih selama lima tahun.
Persoalan korupsi para ”adipati” ini menjadi tamparan bagi 39,6 juta warga Jatim karena deretan kasus itu terjadi seperti beruntun dalam tiga tahun terakhir.
Yang menarik dari kasus korupsi yang menjerat 13 kepala daerah di Jatim itu, semuanya terjaring atau hasil pengembangan operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain 13 kepala daerah, kasus korupsi juga menjerat lebih dari 100 orang dari kalangan pejabat eksekutif, legislatif, dan swasta.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak yang dilantik Presiden Joko Widodo pada Rabu (13/2/2019) jelas menghadapi persoalan pelik dalam pencegahan korupsi di lingkungan mitra mereka, pemerintah daerah tingkat dua.
Tidak mengherankan, Khofifah-Emil selepas dilantik berkunjung ke KPK lantas sehari kemudian ke Badan Pemeriksa Keuangan.
”Antikorupsi menjadi perhatian khusus kami,” kata Khofifah di Gedung Negara Grahadi di Surabaya, rumah dinas Gubernur Jatim.
Sejak era Mataram
Menelusuri jejak rasuah di provinsi berjuluk ”Brang Wetan” (seberang timur), terlihat bahwa praktik korup ternyata sudah ada beradab-abad silam melintasi perjalanan era kerajaan-kerajaan.
Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir menceritakan bahwa manipulasi telah ada di era Mataram Kuno dan tercatat dalam prasasti bertarikh 741 Caka atau 819 Masehi.
Petugas pajak saat itu yang disebut mangilala drwya haji menggelembungkan pajak yang dipungut dari rakyat. Rakyat selalu sengsara.
Dalam History of Jawa karya Gubernur Jenderal Hindia-Belanda (1811-1816) Thomas Stamford Bingley Raffles digambarkan, penduduk Pulau Jawa amat nrimo atau pasrah terhadap keadaan. Korupsi yang terjadi di tubuh organisasi militer, hukum, dan kerajaan ”dibiarkan” menggurita.
Penelusuran terhadap pemberitaan Kompas yang terbit sejak 28 Juni 1965, kasus korupsi di Jatim muncul pertama kali dalam edisi Senin (13/9/1965). Saat itu, Direktur PN Pabrik Gula Kebonagung berinisial IM divonis Pengadilan Malang karena terbukti menerima suap.
Pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan bupati/wali kota di Jatim pertama kali terbit pada edisi Kamis (15/8/1991), di mana Bupati Pasuruan saat itu membantah menerima suap.
Periode 1990-2010, kasus rasuah menyeret Bupati Sumenep, Bupati Sampang, Bupati Tuban, Bupati Madiun, Bupati Blitar, Bupati Jember, dan Bupati Banyuwangi.
Pola korupsi yang jamak terjadi adalah penyelewengan uang rakyat dalam banyak cara. Cara yang konservatif, penggelembungan nilai proyek dalam APBD.
Lainnya, menerima atau memberi suap atau gratifikasi, memeras, memungut secara ilegal, menerima ”upeti” dari bawahan atau staf, serta uang bermotif perjanjian kerja sama.
Rasuah telah meracuni sistem kerja dan pertemuan antarpihak dalam pemerintahan hingga rapat-rapat pembahasan APBD atau program di DPRD. Tempat transaksi haram itu terjadi di kantor, gedung, hotel, taman, restoran, bahkan tempat istirahat di jalan tol.
Mantan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, misalnya, dua kali terjerat kasus korupsi. Salah satunya menerima suap dalam lelang jabatan di Pemkab Nganjuk.
Mantan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko terbukti memeras pegawai Dinas Kesehatan Jombang yang terpaksa memungut dari dana kapitasi BPJS Kesehatan di semua puskesmas.
Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat dan Bupati Jombang Munjidah Wahab dalam kesempatan terpisah berjanji tidak mengulangi korupsi pejabat terdahulu.
Dengan strateginya, ”adipati” wilayah bertetangga itu menjadikan pencegahan korupsi sebagai program utama pemerintahan. Langkah awal yang ditempuh membersihkan sisa rezim sebelumnya dengan mutasi dan rotasi.
Terobosan
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga, Iqbal Felisiano, mengatakan, para bupati/wali kota di 38 kabupaten/kota plus Khofifah-Emil perlu membuat terobosan untuk pencegahan rasuah. Rakyat Jatim sudah cukup mendapat rasa malu akibat kelakuan para raja kecil yang korupsi.
Iqbal menyarankan, pemerintah mendorong perluasan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pelaporan kasus korupsi. ”Harus ada mekanisme jaminan perlindungan untuk pelapor,” katanya.
Dalam konteks politik, publik diharapkan mencari tahu serta tidak memilih calon kepala daerah dan calon anggota legislatif yang terlibat korupsi. Kemudian, mendorong kerja sama yang bersih dengan swasta agar tidak mau terlibat suap.
”APIP (aparat pengawasan intern pemerintah) juga harus diawasi agar tidak main-main oleh gubernur, bupati, dan wali kota dengan supervisi pemerintah pusat atau lembaga,” ujar Iqbal. (AMBROSIUS HARTO)