Beijing melakukan strategi perimbangan kekuatan dengan negara-negara yang berseteru di Timur Tengah. Baik Iran maupun Arab Saudi membutuhkan China.
Beijing, Selasa China memperkuat kerja sama strategis dengan Iran, negara pengekspor minyak keempat terbesar bagi China. Pada saat bersamaan, China juga mengantisipasi penguatan kerja sama perdagangan dengan Arab Saudi, musuh bebuyutan Iran di kawasan.
Ini merupakan langkah strategis China untuk melakukan perimbangan di Timur Tengah. China berupaya mengambil keuntungan dari ketegangan yang terjadi di kawasan dengan merangkul kedua pihak yang bermusuhan.
Penasihat negara China, Wang Yi, Selasa (19/2/2019), bertemu dengan Menlu Iran Mohammad Javad Zarif di wisma negara di Beijing. Wang Yi menyatakan bahwa ia menyaksikan pidato Zarif melalui televisi, hari Minggu lalu, pada Konferensi Keamanan Muenchen, Jerman. Saat itu, dalam pidatonya, Zarif menuduh Israel mencari gara-gara untuk menyulut perang.
”Saya melihat di televisi, bagaimana Anda membela hak- hak rakyat Iran secara tegas dan jelas di Konferensi Keamanan Muenchen. Saya rasa ratusan juta penonton di China juga menyaksikan apa yang Anda katakan. Anda orang yang terkenal saat ini,” kata Wang saat jumpa pers, Selasa.
Menurut kantor berita Associated Pers, rakyat China umumnya melihat AS sebagai pihak yang ingin menghalangi kemajuan China di tingkat global. Hal itu memunculkan simpati mereka terhadap Iran dan sejumlah negara lainnya yang dimusuhi Washington.
Wang mengatakan, China ingin semakin memperdalam rasa saling percaya di antara kedua negara dan melanjutkan kemitraan strategis yang komprehensif. China berharap Iran memainkan peran yang lebih konstruktif di kawasan.
Relasi terpenting
Dalam kunjungan ke China, Zarif didampingi delegasi di antaranya Ketua DPR Iran Ali Larijani dan Menteri Perminyakan Bizan Zanganeh. ”Hubungan Iran dan China sangat berarti bagi kami. Kami menganggap kemitraan strategis yang komprehensif antara China dan Iran merupakan salah satu relasi yang paling penting,” kata Zarif.
Tahun lalu, Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran 2015 yang ditandatangani AS, Rusia, China, Inggris, Perancis, dan Jerman. Washington kembali menerapkan sanksi ekonomi kepada Iran dan membuat negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan AS dipaksa ikut memberikan sanksi kepada Iran.
Namun, kelima negara lainnya bertekad melanjutkan kesepakatan itu dan berupaya agar Iran tetap berada dalam kesepakatan nuklir.
Bulan lalu, Perancis, Jerman, dan Inggris membentuk sistem barter yang disebut dengan INSTEX. Dengan sistem barter ini, tiga negara itu tetap berbisnis dengan Iran, tetapi menghindari transaksi finansial langsung dengan Iran sehingga terhindar dari sanksi AS.
Terkait hal itu, Wapres AS Mike Pence dalam konferensi di Muenchen mendesak ketiga negara itu sejalan dengan AS dan tak mengacaukan sanksi AS.
Jejak China
Hubungan Beijing dan Riyadh juga menguat sejak kunjungan Raja Salman ke China pada 2017. Dalam kunjungan itu, China dan Arab Saudi meneken kontrak kerja sama ekonomi dan perdagangan sebesar 65 miliar dollar AS.
Pekan ini, giliran Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman yang berkunjung ke Beijing.
China terus memperkuat jejaknya di Timur Tengah, baik secara ekonomi maupun strategis. Terlepas dari konflik yang tak pernah padam di Timur Tengah, Beijing sejauh ini mampu mempertahankan ”netralitas” di antara negara yang berseteru.(AP/REUTERS/MYR)