E-Jiwa, Kepedulian DKI terhadap Kesehatan Mental Warganya
Tekanan hidup yang tinggi pada masyarakat perkotaan terkadang memicu stres dan mengganggu kesehatan jiwa. Sadar akan pentingnya kesehatan jiwa, Dinas Kesehatan DKI Jakarta meluncurkan program berbasis aplikasi e-Jiwa.
Program pemetaan masalah kejiwaan itu awalnya dilaksanakan oleh Puskesmas Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, sejak Juni 2018. Kepala Puskesmas Kecamatan Cilandak Luigi, Selasa (19/2/2019), mengatakan, sejak aplikasi pemantauan kesehatan jiwa diluncurkan pada Juni 2018, sudah ada 7.000 pendaftar.
Ribuan pendaftar itu dijaring dari program jemput bola puskesmas, seperti Ketuk Pintu Layani dengan Hati dan pos Bina Terpadu. Para pendaftar kemudian dideteksi dini (screening) dengan 29 pertanyaan tentang masalah kejiwaan. Jumlah pertanyaan itu disesuaikan dengan standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Dari para pendaftar itu, kami kategorikan mana yang mengalami gangguan kejiwaan ringan, sedang, hingga berat. Mereka yang dinyatakan menderita gangguan jiwa berat (merah) harus ditindaklanjuti, baik konseling maupun pengobatan,” ujar Luigi.
Dari total pendaftar yang masuk ke aplikasi e-Jiwa ini, 165 orang dinyatakan berada pada posisi merah atau gangguan jiwa berat. Mereka kemudian diarahkan untuk mendapatkan penilaian (assessment) oleh psikolog atau diberi obat khusus. Jika pihak puskesmas merasa yang bersangkutan harus ditangani psikiater, pasien juga akan diberi rujukan ke rumah sakit.
”Mereka yang hasil screening-nya merah itu akan kami daftarkan secara online dan akan dinilai secara lebih dalam, dan akan diperiksa lagi fisiknya,” kata Luigi.
Bentuk pemeriksaan kejiwaan itu adalah konseling yang difokuskan pada gangguan perasaan, depresi, psikotik, napza, dan sindrom pascatraumatik. Mereka yang dikategorikan berada dalam kategori merah akan dicek secara komprehensif sejauh mana gangguannya. Selain itu, mereka juga akan diperiksa secara fisik apakah ada penyakit lain yang akan memperparah gangguan kejiwaannya. Penyakit itu seperti gula, jantung, dan hipertensi.
”Mereka yang kategori merah ini semua otomatis jadi pasien e-Jiwa. Tidak semuanya butuh obat, ada juga yang hanya butuh konseling. Banyak orang yang punya perasaan, tetapi tidak bisa mengungkapkan,” kata Luigi.
Penanggung jawab program e-Jiwa, Fitria Pratiwi, menambahkan, beberapa permasalahan yang sering muncul dan menjadi faktor penyebab gangguan kejiwaan adalah masalah keluarga, pekerjaan, hingga masalah asmara. Sejak diluncurkan, pasien e-Jiwa di Kecamatan Cilandak sebagai wilayah percontohan terus bertambah. Dari awalnya 15-20 pasien per hari, kini jumlahnya sudah meningkat menjadi 35 pasien per hari. Pasien itu termasuk mereka yang melakukan konseling sebagai calon pengantin.
Untuk mengatasi lonjakan pasien e-Jiwa, saat ini ada 10 dokter, 16 bidan, dan 16 perawat yang bertugas melayani konseling kejiwaan di Puskesmas Cilandak. Meskipun puskesmas baru memiliki satu psikolog, dokter umum lainnya sudah dilatih untuk menangani masalah kejiwaan. Pelayanan berbasis aplikasi ini tidak hanya dapat diakses oleh warga ber-KTP DKI, tetapi juga seluruh warga yang berdomisili di Jakarta. Mereka bisa memilih puskesmas mana yang akan dijadikan tempat berkonsultasi.
Merujuk data pasien kejiwaan yang ternyata berada pada usia produktif 25-35 tahun, para calon pengantin pun diberi konseling tentang ketahanan keluarga. Selain diperiksa secara fisik, seperti hepatitis, sifilis, dan HIV, mereka juga mendapatkan konseling mental.
Hal ini diharapkan menjadi pengetahuan bagi calon pengantin untuk membekali diri terhadap masalah yang timbul setelah pernikahan. Permasalahan itu seperti perekonomian dan perselingkuhan. Sebab, berdasarkan data yang dihimpun tim e-Jiwa, masalah keluarga dan hubungan asmara menjadi faktor penyebab terbesar gangguan kejiwaan.
Luigi berharap ke depan kesadaran masyarakat untuk mendeteksi dini gangguan kejiwaan meningkat. Selama ini, masyarakat kurang peka terhadap masalah kejiwaan karena stigma terhadap penderita gangguan kejiwaan yang masih tinggi. Mereka yang mengalami gangguan kejiwaan tidak bisa membagikan perasaannya kepada orang lain.
Di sisi lain, jika terdeteksi mengalami gangguan jiwa, mereka justru akan mendapat stigma atau dijauhi oleh orang terdekat dan lingkungan. Padahal, dukungan dari orang terdekat dan lingkungan sangat berguna bagi pemulihan mereka.
”Menurut Kemenkes dan WHO, 60-70 persen orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dideteksi dini, hasilnya akan lebih baik dibandingkan yang tidak deteksi dini,” ujar Luigi.
Menurut Kemenkes dan WHO, 60-70 persen orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dideteksi dini, hasilnya akan lebih baik dibandingkan yang tidak deteksi dini.
Masyarakat juga tidak perlu khawatir dengan biaya pengobatan karena penanganan masalah kejiwaan ini sudah ditanggung BPJS Kesehatan. Pelayanan kejiwaan masuk dalam standar pelayanan minimal. Namun, jika penderita ODGJ membutuhkan beberapa obat khusus, BPJS tidak menanggung seluruh obat. Pelayanan konsultasi e-Jiwa ini dibuka setiap Senin-Kamis pukul 07.30-16.00, sedangkan untuk hari Jumat pukul 07.30-16.30.
Kesadaran untuk memeriksakan kesehatan kejiwaan bukanlah hal yang tidak penting. Masalah kejiwaan jika dibiarkan berlarut-larut bisa membuat orang melukai diri sendiri hingga bunuh diri. Di wilayah Jakarta Selatan, selama sebulan terakhir paling tidak sudah ada dua kasus bunuh diri.
Kasus pertama terjadi pada Senin (11/2/2019). Zulfadhli (35) ditemukan dalam keadaan tak bernyawa oleh temannya, Nardi (22), di kamar kontrakan di Jalan Mampang Prapatan VII, RT 005/RW 006 Kelurahan Tegal Parang, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Zulfadhli diduga terlilit utang jasa pinjam-meminjam uang antarpihak berbasis aplikasi.
Motif itulah yang membuat sopir taksi tersebut mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Motif itu dia nyatakan dalam surat wasiat berisi permintaan maaf dan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberantas jasa pinjaman daring itu.
Pada Selasa (19/2/2019), seorang pria bernama Dian Anas Abidin (31) juga ditemukan menggantung diri di bawah jembatan Jalan Catur, Kelurahan Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan.
Kepala Polsek Tebet Komisaris Rahmat Eko Mulyadi belum mengetahui motif pria tersebut mengakhiri hidupnya. Orang-orang di sekitar lokasi juga tidak mengenal korban. Berdasarkan KTP yang dibawa, korban merupakan warga Temanggung, Jawa Tengah. Pihak kepolisian sudah berkoordinasi dengan keluarga untuk keperluan penjemputan jenazah. Pihak keluarga mengatakan akan segera mengambil jasad korban yang disemayamkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.
”Motif belum kami ketahui, belum ada orang terdekat ataupun keluarga korban yang bisa dimintai keterangan. Pihak keluarga pun saat ini sedang dalam perjalanan,” kata Komisaris Eko Mulyadi.