Menelusuri Denyut Perbankan Masa Kolonial hingga Kemerdekaan di Kota Tua
Warga Jakarta mungkin sudah berulang kali berwisata di kawasan Kota Tua, Jakarta. Namun, sudahkah menjelajahi jejak perbankan di kawasan itu?
Menelusuri jejaknya sungguh menarik. Tidak hanya mengetahui perjalanan uang, jejak perbankan di kawasan itu juga memandu perjalanan budaya dan nilai bangsa ini.
Hingga abad ke-19, Kota Tua tidak hanya menjadi pusat pemerintahan Batavia, tetapi juga menjadi pusat perekonomian dan perbankan. Setidaknya, ada delapan bank besar yang berada di kawasan ini. Bank-bank itu antara lain De Javasche Bank yang kini menjadi Bank Indonesia, Bank Nederlandsche Handel Maatscappii yang kini Bank Mandiri, Escompto Bank, Bank of China, Bank Negara Indonesia (BNI), dan Chartered Bank.
Tidak heran, ada salah satu jalan yang kemudian diberi nama Jalan Bank karena banyaknya bank pusat yang berdiri di kawasan ini. Jalan bank berada di sebelah timur Kali Krukut yang melintas di wilayah Kota Tua. Pada masa kolonial, bangunan di sana menghadap langsung ke arah kali karena banyak aktivitas yang dilakukan melalui jalur air menuju Pelabuhan Sunda Kelapa.
Jika diperhatikan secara teliti, arsitektur dan ornamen bangunan-bangunan masih menyisakan jejak kejayaan saat itu. Misalnya saja di bekas bangunan Escompto Bank yang kini ditempati sebagai Kantor Wilayah III Bank Mandiri Jakarta Kota. Gedung ini berada di sebelah kiri ketika pengunjung masuk ke kawasan Kota Tua dari Jalan Pintu Besar Utara.
Dari luar, tepatnya di bagian atas dinding terpampang lima gambar yang menjadi lambang kota cabang Escompto bank. Dari sebelah kanan, ada lambang bendera Netherlands, lambang Batavia dengan pedang dan krans, dan lambang Kota Surabaya berupa sura (hiu) dan buaya, Semarang dengan perempuan yang memegang kepala singa dan jangkar, serta lambang Amsterdam dengan gambar singa.
Baca juga: Memahami Indonesia dengan Jelajah Pusaka
“Arsitektur bangunan bekas bank-bank zaman dulu menjelaskan geliat perekonomian di Batavia. Mengapa bangunan bank dibangun begitu megah? Alasannya agar masyarakat percaya dan merasa aman untuk menyimpan uangnya di bank,” kata Sejarawan yang juga Ketua Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan.
Bangunan museum lain yang juga menjadi saksi perkembangan perbankan di Batavia adalah Museum Bank Indonesia. Salah satu bangunan cagar budaya ini pernah menjadi gedung De Javasche Bank, awal mula Bank Indonesia. Di sisi depan gedung, pengunjung bisa melihat beberapa pilar yang kokoh. Di kedua sudut atas pilar tertulis lambang A 1910 dan A 1935, artinya pengembangan bangunan dilakukan sejak tahun 1910-1935.
Museum ini menampilkan berbagai macam barang koleksi yang digunakan untuk perdagangan di masa kolonial Belanda. Di ruang utama museum, pengunjung akan melihat ruang kasir yang berjejer dilengkapi dengan jeruji besi. Konon, transaksi tunai ataupun barter barang dilakukan di dalam ruangan khusus. Hal ini bertujuan untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan pelanggan.
Tidak hanya itu, museum ini juga menyimpan kisah awal perdagangan rempah di Nusantara. Rempah begitu berharga pada masa itu, sampai harganya setara dengan emas. Bagi bangsa Eropa, rempah seperti lada, kayu manis, cengkeh, dan pala bisa menjadi bahan baku obat yang sangat bermanfaat.
Berdagang
Di kawasan Kota Tua juga dapat dijumpai Museum Bank Mandiri. Letaknya tepat di sebelah Museum Bank Indonesia (BI).
Bangunan Museum Bank Mandiri itu pertama kali didirikan pada 1929 atas prakarsa Raja Willem 1 sebagai kantor perusahaan dagang dan perbankan Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM). Bangunannya sangat menarik, dan tak kalah dengan bangunan Museum BI. Ketika masuk, pengunjung akan disuguhkan dengan berbagai hiasan kaca patri yang indah. Di tengah bangunan juga terdapat taman.
Di museum itu, pengunjung bisa melihat beberapa koleksi yang menceritakan sejarah singkat Bank Mandiri. Sejumlah koleksi seperti deposito, cek, obligasi, mesin ketik kuno, mesin penghitung uang logam, juga mesin anjungan tunai mandiri (ATM) tua turut dipamerkan. Jangan lupa untuk berswafoto karena beberapa sudut ruangan memiliki latar belakang dinding yang menarik, seperti dinding museum yang dihiasi puluhan mesin ketik kuno.
Pasca-kemerdekaan, Nederlandsche Handels Maatschappij dinasionalisasikan oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan Urusan Ekspor Impor (BKTN) pada 5 Desember 1960. Fungsinya saat itu sebagai perantara perdagangan ke luar negeri, baik untuk impor ataupun ekspor. Berbagai hasil perkebunan disimpan di tempat ini.
Dalam perjalanan waktu, BKTN berubah menjadi Bank Exim. Barulah pada 2 Oktober 1998, Bank Mandiri didirikan melalui pengambilan kepemilikan saham atas empat bank pemerintah, yakni Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, termasuk Bank Exim.
Baca juga: Museum Bank: Membaca Kisah Perjalanan Bangsa
Puas menjelajahi Museum Mandiri, tidak lengkap jika belum mampir ke Museum BNI. Museum yang menyimpan sejarah Bank Negara Indonesia itu berada di gedung Bank Mandiri, di depan Stasiun Kota. Pengunjung cukup menyeberang dari Museum Mandiri. Meski ruangan Museum BNI relatif kecil, koleksi yang dipamerkan cukup menggambarkan sejarah singkat BNI. Namun untuk bisa masuk ke museum ini, pengunjung perlu menghubungi pihak museum terlebih dahulu, setidaknya satu minggu sebelumnya.
BNI adalah bank pertama milik Indonesia. Awalnya, BNI dibentuk oleh Yayasan Pusat Bank Indonesia di Jalan Menteng, Jakarta Pusat pada 1945. Secara resmi, bank ini didirikan pada 1946 melalui UU Nomor 2/1946. Fungsi dan tugasnya sebagai bank sirkulasi RI yang kini dijalankan oleh Bank Indonesia.
Pada era bank tunggal, semua nama bank berubah menjadi Bank Negara Indonesia dengan masing-masing unit. BNI Unit I untuk Bank Indonesia, BNI Unit II untuk Bank Koperasi dan Nelayan, BNI Unit III untuk Bank Negara Indonesia, dan BNI Unit IV untuk Bank Umum Negara.
Yuk, menabung!
Menghidupkan kebiasaan masyarakat untuk menabung pada era 1930 tidaklah mudah. Masyarakat sudah terbiasa menyimpan uangnya di celengan dari tanah liat atapun di lemari pakaian mereka. Konsep bank yang bisa memberikan bunga ketika orang menabung masih diluar akal.
Promosi dan tawaran yang menggiurkan dari bank-bank semakin gencar. Salah satu bank yang berfokus pada tabungan masyarakat adalah Postspaarbank, asal mula Bank Tabungan Negara (BTN). Bekas bangunan Postspaarbank sekarang menjadi cagar budaya berupa Museum BTN. Lokasinya tepat di depan Menara BTN dengan dinding putih, tidak jauh dari Halte Transjakarta Harmoni.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Pada lantai pertama disuguhkan koleksi lama dari Postspaarbank, yang pada 1950 berubah menjadi Bank Tabungan Pos dan kemudian menjadi Bank Tabungan Nasional sekitar 1968. Sementara di lantai dua, berisi inovasi yang telah dilakukan oleh BTN saat ini. Untuk masuk ke museum, pengunjung perlu meminta izin jauh hari kepada pihak BTN.
Baca juga: Museum di Jakarta Perlu Berbenah
Postspaarbank ini yang dinilai paling gencar mengajak orang mulai menabung di bank. Poster-poster unik dipublikasikan untuk mengajak orang agar mau menabung. Salah satu posternya berbunyi, Dengan Mentjelengken Wang Kau Terloepoet dari Kesoesahan, Moelai Lah Kamoe dari Moeda Boeat Mentjelengken/ Dengan mencelengkan uang kau terluput dari kesusahan, mulailah kamu dari muda buat mencelengkan.
Ada pula poster bergambar anjing di depan peti dengan tulisan, Bagaimana Djoega Baik Pendjaganja, tetapi Oeang Toean Lebih Aman Pada Postspaarbank/ Bagaimana juga baik penjaganya, tetapi uang tuan lebih aman pada Postspaarbank. Kedua poster tersebut beredar sekitar tahun 1930.
“Masyarakat juga diedukasi bahwa uang yang disimpan di bank disimpan di brankas besar yang berada di bawah tanah. Mulai dari situ, kepercayaan masyarakat muncul dan budaya menabung masyarakat, terutama di Batavia dimulai,” kata Kartum.
Melalui uang, sejarah dan perjalanan bangsa nyatanya bisa dikisahkan. Masa kebangkitan dan jatuhnya bangsa Indonesia tercermin dari kondisi perekonomian saat itu. Berkunjung ke museum, khususnya di Kawasan Kota Tua barangkali bisa menjadi cara mudah untuk menceritakan masing-masing kisah secara menarik dan mengasyikan.