Gejolak internal melanda ”kapal besar” riset negeri ini di tengah tuntutan mengatasi ketertinggalan di dunia global. Kematangan dan kearifan semua insan LIPI menjadi kunci penyelesaian.
Peneliti senior, sejumlah profesor, dan karyawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam sebulan terakhir telah tiga kali melancarkan protes kepada Kepala LIPI Laksana Tri Handoko. Persoalannya, Handoko dinilai melakukan reorganisasi dan redistribusi sewenang-wenang. Kini kapal besar riset Indonesia itu ”terkatung-katung”.
Puncaknya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Syafruddin, Selasa (19/2/2019), di Jakarta, memanggil Handoko. Ia meminta pembentukan tim penyelaras yang melibatkan Kemenpan dan RB, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Badan Kepegawaian Negara, serta LIPI.
Syafruddin, seperti dikutip dari situs resmi Kemenpan dan RB, minta agar semua langkah yang akan diambil LIPI diselaraskan. Dia meminta agar LIPI menghentikan konflik yang kini terjadi. Handoko diberi waktu satu minggu untuk menyelesaikan masalah terkait restrukturisasi. Juga masalah yang tidak selaras, tidak seimbang, tidak patut agar diselesaikan. Dia minta semuanya dihentikan dulu sehingga tidak menimbulkan informasi atau opini yang simpang siur di masyarakat dan internal LIPI.
Menindaklanjuti rekomendasi itu, Rabu (20/2), menurut Handoko, tim itu akan menggelar rapat perdana. Telah lebih dari sebulan ini lembaga riset terbesar dan tertua ini jadi limbung, bergejolak, dan terkatung-katung. Lembaga penelitian par excellence itu lantas ”lumpuh” dan tampak renta.
Gejolak bermula ketika Handoko yang dilantik pada 31 Mei 2018 tanpa membuang waktu mulai melaksanakan reorganisasi, redistribusi, dan restrukturisasi 6.410 karyawan LIPI. Tidak semuanya peneliti. Jumlah karyawan nonpeneliti hampir mencapai 60 persen dari keseluruhan. Selain itu, LIPI memiliki 180 laboratorium di 19 lokasi di 13 provinsi serta satu kapal riset Baruna Jaya VIII.
Langkah yang dilakukan Handoko dimaksudkan sebagai pelaksanaan berbagai peraturan terkait penataan pegawai, di antaranya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2018 tentang Jabatan Fungsional Peneliti diikuti dengan Peraturan LIPI Nomor 14 Tahun 2018 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti pada 3 Oktober 2018.
Ketidakpuasan
Hal yang terjadi adalah gelombang ketidakpuasan. Muncul protes karena kebijakan Handoko dinilai mengakibatkan hilangnya otonomi satuan kerja riset karena resentralisasi, serta terjadi ketidaksesuaian pekerjaan dengan kompetensi.
Sejumlah profesor senior, antara lain Jan Sopaheluwakan, pakar geologi, menyesalkan marwah LIPI sebagai lembaga riset yang memberi masukan kepada pemerintah tentang kebijakan akan hilang. ”Sebuah negara yang mengabaikan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan maju,” kata Hermawan Sulistyo, peneliti riset bidang politik di LIPI.
Handoko yang berpegang pada semua peraturan itu mengatakan, redistribusi adalah mendistribusi ulang sesuai dengan jenjang kapasitas kompetensi dan minat masing-masing. Hal itu belum pernah terjadi di LIPI sebelumnya sepanjang usianya hampir 52 tahun. Redistribusi melibatkan 2.500 pegawai.
Pembenahan organisasi itu juga bertujuan agar peneliti terlepas dari beban administrasi. Di sisi lain, menurut Handoko, pegawai administrasi diharapkan memiliki jenjang karier lebih bagus sesuai dengan jabatan fungsional.
”Mungkin peringkatnya jadi turun, itu saya tidak menutup mata, meski kita berusaha meminimalisasi. Makanya, selain jabatan yang sudah ada, kita juga menciptakan pekerjaan- pekerjaan baru,” kata Handoko dalam wawancara dengan Kompas. Mereka yang merasa tidak puas diminta secara terbuka mengatakan langsung kepada Handoko agar persoalannya bisa diatasi.
Di bidang riset, Handoko memandang saat ini Indonesia belum bisa maju dalam riset karena ambang batas atau critical mass yang belum terpenuhi. Jumlah peneliti, kualitas peneliti, serta infrastruktur dan anggaran masih belum terpenuhi. Ketika di Indonesia suatu penelitian hanya dikerjakan satu atau dua orang, di negeri yang maju risetnya, sebuah penelitian dilakukan 30 orang dengan tingkat kualifikasi tinggi.
Kolaborasi adalah solusi untuk mengatasi masalah ambang batas produk riset yang masih rendah. Handoko menyebut, kolaborasi yang terbuka dengan kalangan diaspora, para peneliti asing, dan peneliti di dunia perguruan tinggi di luar LIPI. Mereka, menurut dia, bisa ditarik bekerja bersama peneliti LIPI dengan membuat LIPI sebagai penyedia jasa infrastruktur penelitian. Keuntungan yang didapat LIPI, menurut Handoko, bukan materi, melainkan ilmu karena peneliti harus bekerja sama dengan pihak luar sehingga motivasinya akan terpacu.
Ide itu jatuh ke para peneliti di kalangan LIPI yang diartikan sebagai tak nasionalis dan mengomersialkan LIPI. Masalah komersialisasi juga dikatakan pada ide Handoko untuk membuka wilayah LIPI pada publik. Publik harus ditarik ke LIPI dengan membuka ruang publik berisi pameran hasil penelitian LIPI dan tempat bersantai.
Maka, dalam pertemuan pada 8 Februari lalu, apa yang dikatakan seorang peneliti senior bahwa ada ”kesalahan komunikasi” bisa jadi itulah yang terjadi di lembaga penelitian tertua itu. Semoga LIPI di masa tuanya menjadi lembaga yang mumpuni dan membuahkan hasil bagi negeri ini. Demikian pula kematangan dan kebesaran jiwa diharapkan tumbuh pada semua yang menghidupi LIPI.