JAKARTA, KOMPAS — Partai politik saling berebut suara pemilih terpelajar. Keputusan dan pandangan dari pemilih tersebut dinilai mampu memengaruhi keputusan dari masyarakat umum untuk menentukan pilihan.
Berdasarkan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, lima partai besar yang menjadi pilihan para pemilih terpelajar adalah Partai Gerindra (23,9 persen), PDI-P (15,9 persen), Partai Demokrat (8 persen) Partai Keadilan Sejahtera (7,2 persen), dan Partai Nasdem (5,8 persen).
Adapun segmen pemilih terpelajar memiliki populasi sebesar 11,5 persen dengan jenjang pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor.
Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, menyebutkan, kendati populasi pemilih terpelajar tidak terlalu besar, mereka termasuk ke dalam pemilih rasional. Keputusan dan pandangan mereka dinilai mampu memengaruhi keputusan dari masyarakat lainnya.
”Pemilih terpelajar cenderung memiliki daya kritis, khususnya terhadap kebijakan pemerintah,” kata Rully seusai rilis survei LSI Denny JA, di Jakarta, Rabu (20/2/2019), tentang dukungan partai dan pergeseran di enam kantong suara.
Survei dilakukan 18 Januari hingga 25 Januari 2019 terhadap 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, dengan margin of error 2,8 persen. Selain pemilih terpelajar, segmen pemilih lain yang disasar dalam survei ini adalah pemilih Muslim, pemilih minoritas, pemilih wong cilik, pemilih ibu-ibu, dan pemilih terpelajar.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, akademisi penting untuk didekati karena memiliki warna berbeda dalam kontestasi pemilu mendatang. ”Akademisi masih menilai tanpa emosional dan tidak terlalu terbawa isu politik identitas,” ucapnya.
Populasi umum
Sementara hasil survei populasi umum menunjukkan, PDI-P memuncaki persaingan antarpartai dengan perolehan suara 23,7 persen, diikuti Partai Gerindra dengan 14,6 persen suara. Sementara itu, Partai Golkar memperoleh 11,3 persen suara, Partai Kebangkitan Bangsa 8,2 persen suara, dan Partai Demokrat 5,4 persen suara.
”Hasil survei kami selama enam bulan dari Agustus 2018 hingga Januari 2019 memperlihatkan bahwa PDI-P stabil memimpin dengan selisih sekitar 10 persen dibandingkan dengan Partai Gerindra,” ujar Rully.
Rully mengatakan, hal ini disebabkan PDI-P memperoleh efek ekor jas atas pencalonan Joko Widodo sebagai presiden, begitu pun Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Sementara partai lain tidak menikmati hasil tersebut.
Heather Stoll dalam ”Presidential Coattails: A Closer Look” yang dimuat di jurnal Party Politics (2015) menyebutkan, pemilihan presiden memberikan efek ”tarikan” bagi pileg karena kampanye pemilihan presiden menarik perhatian media nasional, kandidat legislatif, elite politik, dan juga para pemilih (Kompas,12/8/2018).
Peneliti senior LIPI, Syamsudin Haris, mengatakan, partai pendukung perlu mengasosiasikan partai dengan capres yang mampu memberikan efek ekor jas. ”Partai politik lain harus mengidentifikasi dengan sosok capres walau belum tentu menjanjikan juga,” ujarnya.
Hal itu, lanjutnya, dapat dilakukan dengan membuat slogan atau spanduk yang mengasosiasikan parpol dengan sosok capres. (DIONISIO DAMARA)