BANDUNG, KOMPAS – Fahmi Darmawansyah, terdakwa kasus suap kepada eks-Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Wahid Husen, dituntut lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/2/2019). Terdakwa dituntut maksimal karena pernah tersandung kasus serupa saat menyuap pejabat Badan Keamanan Laut pada 2016 lalu.
“Terdakwa mengulangi perbuatannya karena sebelumnya pernah dihukum dalam kasus korupsi,” ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Takdir Suhan. Hal lain yang memberatkan adalah karena perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan tindak pindana korupsi.
Hal-hal yang meringankan adalah terdakwa bersikap sopan di pengadilan, mengakui kesalahannya, dan menyesali perbuatannya. Selain itu, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga, yaitu istri dan dua anak yang masih sekolah.
Unsur suap yang dilakukan terdakwa kepada Wahid, beberapa di antaranya adalah sejumlah uang dan berbagai barang, seperti mobil dan tas mewah.
Tuntutan lima tahun penjara merupakan tuntutan maksimal sesuai dakwaan primer, yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Saat membacakan tuntutan, jaksa KPK menjelaskan unsur suap yang dilakukan terdakwa kepada Wahid. Beberapa di antaranya adalah sejumlah uang dan berbagai barang, seperti mobil dan tas mewah.
Suap itu diduga membuat terdakwa mendapat berbagai keistimewaan di dalam lapas, seperti kamar dilengkapi televisi kabel, pendingin ruangan, kulkas, dan kasus pegas (spring bed). Selain itu, terdakwa juga memiliki saung dan membangun ruangan berukuran 2 x 3 meter di dalam lapas yang digunakan sebagai bilik asmara. Selain digunakan sendiri, bilik itu juga disewakaan kepada beberapa penghuni lapas lainnya.
Jaksa menilai, fasilitas istimewa yang diperoleh terdakwa bertentangan dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 6 Tahun 2013 sebagaimana diubah Permenkumham Nomor 29 Tahun 2017 tentang Tata Tertib Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara.
Menurut Jaksa, Wahid selaku Kalapas Sukamiskin seharusnya memberikan hukuman disiplin kepada terdakwa. Namun, jaksa menilai Wahid sengaja membiarkan sejumlah fasilitas istimewa dinikmati terdakwa tanpa melakukan upaya penertiban.
“Terdakwa masih mempunyai hak menyampaikan pleidoi (nota pembelaan). Tuntutan jaksa disampaikan sesuai fakta-fakta persidangan,” ujar Takdir.
Usai persidangan, Fahmi mengaku kecewa pada tuntutan jaksa. Menurut Fahmi, dia telah berusaha kooperatif selama persidangan. “Saya ini bukan siapa-siapa, dituntut maksimal. Saya juga bukan penyelenggara negara. Kooperatif atau tidak, akhirnya tidak ada kepercayaan kepada orang lain,” ujarnya.
Fahmi dan kuasa hukumnya berencana menyampaikan nota pembelaan dalam persidangan pekan depan.
Pada Mei 2017, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Fahmi 2 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta. Saat itu, Fahmi terjerat kasus suap terhadap pejabat Badan Keamanan Laut dalam proyek pengadaan pemantau satelit dan drone tahun 2016.
Di Pengadilan Tipikor Bandung juga berlangsung sidang dengan terdakwa Wahid Husen. Sidang menghadirkan saksi Hendry, eks-staf umum Lapas Sukamiskin sekaligus sopir Wahid. Dalam sidang tersebut, Hendry mengakui sejumlah uang dari warga binaan lapas mengalir kepada Wahid.