Negosiasi Perundingan Damai di Seram Terus Diupayakan
›
Negosiasi Perundingan Damai di...
Iklan
Negosiasi Perundingan Damai di Seram Terus Diupayakan
Oleh
Fransiskus Pati Herin
·3 menit baca
AMBON, KOMPAS - Hingga Kamis (21/2/2019) petang, warga dari Desa Hualoy dan Latu di Kecamatan Amalatu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, yang terlibat saling serang, belum juga bertemu. Pihak kepolisian dan pemerintah daerah masih terus membangun komunikasi dengan tokoh dari kedua desa itu agar mau berdamai.
Kepala Polres Seram Bagian Barat Ajun Komisaris Besar Agus Setiawan yang dihubungi mengatakan, tidak ada lagi kontak senjata dari jarak jauh maupun saling serang dari jarak dekat. Aparat gabungan TNI dan Polri telah berhasil menyekat perbatasan antara kedua kampung tersebut. Personel gabungan TNI dan Polri yang ditugaskan di sana sebanyak 327 orang.
Di tengah situasi yang mulai mereda tersebut, Kepala Biro Operasional Polda Maluku Komisaris Besar Gatot Mangkurat masih terus melakukan negosiasi dengan tokoh-tokoh penting di dua desa itu. Gatot sudah tiba di lokasi itu beberapa jam setelah konflik pecah. "Masih dalam upaya pendekatan melalui tokoh-tokoh," katanya. Agus enggan menjelaskan kendala yang dihadapi tim negosiasi di lapangan.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, terdengar bunyi senjata organik dan bom. Satu orang dilaporkan tewas. Sejumlah bangunan dirusak dan dibakar seperti sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Desa Tumalehu, sekolah dasar di Desa Hualoy, serta 2 rumah warga dan 2 rumah dinas guru di Tumalehu. Tumalehu terdampak konflik itu karena letaknya berimpitan dengan Hualoy dan Latu.
Sebelum terjadi konflik terbuka, kedua desa itu bersitegang setelah ada penganiayaan terhadap warga Hualoy yang diduga dilakukan oknum warga Latu. Penganiayaan terjadi di Kota Ambon pada malam pergantian tahun 2018-2019. Warga Hualoy telah mendesak polisi agar segera menangkap pelaku, tetapi hingga saat ini belum berhasil. Warga Hualoy terus menagih janji polisi. Saling lempar ancaman juga terus terjadi sehingga pecah konflik terbuka, (Kompas, 21/2/2019).
Takut senjata
Terkait rusaknya bangunan sekolah tersebut, dinas pendidikan setempat berencana akan menitipkan anak-anak ke sekolah terdekat. Belajar mengajar di tenda darurat belum dapat dilakukan di tempat itu. Guru-guru dan anak-anak sekolah masih trauma dan takut. "Yang paling ditakuti itu adalah pengunaan senjata," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Seram Bagian Barat Sam Sengaji.
Didampingi aparat keamanan, saat ini, pihaknya sedang berusaha mengajak anak sekolah, terutama siswa kelas akhir baik di SMP maupun SD, agar segera berkumpul. Tidak berapa lama lagi, mereka akan mengikuti ujian akhir. "Konflik ini telah mengorbankan masa depan anak-anak di sana. Kami akan berusaha maksimal agar anak-anak dapat mempersiapkan diri secara baik," ujar Sam.
Terkait penggunaan senjata, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa mengatakan, senjata yang dipakai warga saat baku serang kemarin adalah berupa pistol, senjata laras panjang, dan bom. Semuanya merupakan rakitan warga sendiri. Lewat upaya damai yang kini sedang dilakukan, polisi akan meminta masyarakat untuk menyerahkan senjata mereka.
Dari catatan Kompas, pada saat konflik sosial terjadi di Ambon sejak 1999 hingga 2003, senjata rakitan dan organik beredar luas. Banyak warga dapat merakit senjata sendiri. Pada saat itu juga, gudang penyimpanan senjata di Markas Brimob Ambon dibobol.