BEIJING, KOMPAS - Beberapa ormas Islam bersama Majelis Ulama Indonesia, selama sepekan, mengunjungi provinsi otonom Xinjiang, China, terutama ke kawasan yang dihuni kaum Muslim Selain untuk bersilaturahmi dengan sesama umat Muslim, kunjungan ini juga bertujuan menggali informasi tentang kondisi umat Muslim Uyghur di Xinjiang.
”Semoga kami mendapatkan fakta tentang apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhidin Junaedi dalam pertemuan dengan Duta Besar Indonesia untuk China Jauhari Oratmangun di Beijing, Selasa (19/2/2019) malam.
Muhidin memimpin rombongan dari MUI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, serta beberapa ormas Islam lain yang berjumlah 20 orang.
Selain dari berbagai pemberitaan, terutama dari media barat, selama ini MUI juga menerima informasi, jurnal, ataupun selebaran tentang sisi negatif dari kebijakan Pemerintah China atas umat Muslim Uyghur di Xinjiang. ”Isinya tentang persekusi, pembunuhan, penangkapan, serta penahanan dalam kamp-kamp indoktrinasi,” ujar Muhidin.
Xinjiang merupakan provinsi otonom terbesar di China. Dari 21 juta penduduknya, mayoritas warga provinsi itu adalah etnis Uyghur (45,8 persen), yang serumpun dengan bangsa Turki yang bermigrasi ke wilayah barat laut Mongolia. Selain bahasa yang sama sekali berbeda dengan mayoritas etnis di China, etnis Uyghur juga merupakan etnis beragama Islam terbesar di China.
Dalam sejarahnya, Xinjiang diwarnai konflik panjang yang berkaitan dengan munculnya gerakan separatis.
Tangan pertama
Meski sebagian umat sudah bereaksi lewat protes dan unjuk rasa di Indonesia, MUI tak mau terburu-buru bersikap sebelum ada klarifikasi. Hal ini direspons Pemerintah China dengan mengundang MUI dan ormas Islam mengunjungi Xinjiang.
”Kami berharap bisa mendapatkan informasi dari tangan pertama. Sebagai negara dengan umat Muslim terbesar di dunia, secara moral kita wajib membantu mereka jika memang ada masalah,” kata Muhidin.
Wakil Sekjen PBNU Imam Pituduh menuturkan, dalam kunjungan itu Ormas Islam bukan berperan sebagai tim pencari fakta. ”Karena memang bukan itu maksudnya. Kami lebih mengartikan undangan ini sebagai keterbukaan dan ajakan untuk mengembangkan rasa saling percaya,” ujar Imam Pituduh.
Jauhari Oratmangun mendukung upaya MUI bersama ormas Islam Indonesia untuk menjalin hubungan langsung dengan umat Muslim Uyghur di Xinjiang. Hubungan antarmasyarakat akan memperkuat kerja sama antara Indonesia dan China yang beberapa tahun terakhir meningkat.
”Hubungan antarmasyarakat, antarbangsa, akan menjadi landasan kuat bagi hubungan antar pemerintah,” ujarnya.
Kebebasan beragama
Secara terpisah, Wakil Ketua Asosiasi Muslim China Abdul Amin Jin Rubin membantah adanya pembatasan kebebasan beragama dan halangan dalam melakukan ibadah ataupun syariat Islam bagi umat Islam di Xinjiang, seperti diberitakan media Barat. Terjadinya kekerasan dan bentrokan antara pemerintah dan sebagian warga Uyghur dinilai tidak menyangkut prinsip-prinsip kebebasan beragama.
”Yang terjadi adalah upaya pemerintah menghadapi sebagian orang, yang bukan cuma melakukan gerakan separatis, tetapi juga melakukan aksi radikal, ekstrem, dan terorisme,” ujar Abdul Amin, ketika menerima sejumlah wartawan dari Indonesia dan Malaysia di kantornya di Beijing, Senin.
Aksi terorisme yang diklaim sebagai bentuk jihad, menurut Abdul Amin, menunjukkan adanya kesalahan interpretasi atau penyelewengan nilai-nilai Islam yang sesungguhnya.
”Islam tidak mengajarkan kita melakukan pengeboman dan melukai sesama yang tak berdosa demi memperjuangkan sesuatu. Islam juga tak membenarkan kita untuk bunuh diri. Itu kesalahan menafsirkan Islam yang justru harus kita perbaiki bersama. Tafsir Islam yang damai dan toleran itulah yang sedang dikerjakan dan disebarkan oleh imam dan ulama di China,” ujar Abdul Amin.