Asa Perubahan dari Kota Sampah
Gerakan warga Kota Bekasi untuk mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir mungkin masih kecil. Namun, konsistensi merawat gerakan ini memercikkan asa baru.
Gerakan warga Kota Bekasi untuk mengurangi sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir mungkin masih kecil. Namun, konsistensi merawat gerakan ini memercikkan asa baru.
Konsistensi memilah sampah salah satunya dimiliki oleh Sony Teguh Trilaksono (57). Warga Kelurahan Jatimakmur, Kecamatan Pondok Gede, Kota Bekasi, itu sudah belasan tahun menerapkan konsep zero waste di rumahnya. “Sejak 2005, saya sudah tidak pernah membuang sampah, walaupun masih membayar iuran sampah setiap bulan,” ujar Sony sambil berkelakar.
Di rumah seluas 1.000 meter persegi yang ditempati ia bersama istri dan tiga anaknya, Sony mengoptimalkan fungsi alam untuk meminimalkan produksi sampah. Saat dikunjungi pada Rabu (20/2/2019), di dalam rumahnya terdapat dua tong sampah, satu untuk sampah organik sedangkan yang lainnya untuk sampah anorganik. “Jika sudah terkumpul, sampah anorganik itu akan saya setorkan ke Bank Sampah terdekat,” kata dia.
Sementara itu, sampah organik dioptimalkan untuk pembuatan kompos dengan memanfaatkan lebih dari 90 lubang biopori yang ada di sekeliling rumah. Sony terbiasa memasukkan sampah organik ke dalam lubang berdiameter sekitar 10 cm dan berkedalaman 1,2 meter itu.
Selain itu, ia juga menyediakan lima tong dan satu bak beton berukuran sekitar 2 x 2 meter persegi untuk menyimpan dan fermentasi sampah organik yang belum tertampung di lubang biopori. Maklum, pekarangan rumah yang luasnya hampir 300 meter persegi itu juga ditumbuhi berbagai pepohonan. Mulai dari buah-buahan, bunga, hingga tanaman obat. Ada yang ditanam langsung di tanah, ada pula yang menggunakan pot.
Selain tidak ada sampah, tidak ada air yang tidah terserap pula ke areal rumahnya. Selokan sepanjang 20 meter yang ada di bagian depan rumahnya dilengkapi dengan 18 lubang biopori. Oleh karena itu, air yang melintas tidak akan bertahan lama, seluruhnya akan kembali terserap ke tanah.
Sony menjelaskan, praktik tersebut sudah ia mulai sejak rumah tersebut dihuni pada 1997. Pencinta tanaman itu memang telah merencanakan untuk mewujudkan konsep zero waste di kediamannya. “Perbaikan lingkungan itu sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai generasi tua yang sudah merusak lingkungan,” kata dia.
Ia yang menjabat sebagai ketua komunitas pencinta Iwan Fals, Orang Indonesia (Oi), periode 1999-2014 itu pun mengajak 9,7 juta anggotanya untuk turut bergerak mempedulikan lingkungan. Mereka sama-sama belajar mengenai penghijauan, lubang biopori, sumur resapan, pengelolaan sampah rumah tangga secara mandiri, serta pertanian perkotaan, dalam naungan komunitas Rumah Sopan (seni, olahraga, pendidikan, akhlak, dan niaga). Seperti namanya, komunitas yang Sony dirikan itu merupakan wahana pembinaan dan pemberdayaaan pemuda melalui aktivitas seni, olahraga, pendidikan, akhlak, dan niaga.
Memotivasi warga
Motivasi dia semakin menguat karena kondisi Kota Bekasi. Sudah sejak lama, Bekasi menjadi ejekan masyarakat di wilayah lain karena pengelolaan kota yang buruk, termasuk soal sampah. “Pernah pula ada kasus Adipura palsu, karena raihan penghargaan kepada Kota Bekasi itu ditarik kembali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,”ujar Sony.
Oleh karena itu, mulai 2005, aktivitas Rumah Sopan mulai fokus di lingkup Kota Bekasi. Sony menyediakan rumahnya sebagai pusat pelatihan mengenai lingkungan. Masyarakat dan pejabat pemerintah daerah pun berdatangan ke rumahnya untuk belajar mengelola lingkungan. Selain itu, ia pun aktif menjadi narasumber di berbagai kesempatan.
Selain menyediakan berbagai peralatan dan contoh pengelolaan sampah, di rumah Sony juga tersedia literatur soal lingkungan. Ada sekitar 2.500 referensi yang bisa dibaca masyarakat setiap saat. Buku-buku itu pula yang dibaca Sony untuk mendukung pembelajaran otodidaknya.
Aktivitas tersebut mengantarkan Sony pada sejumlah penghargaan. Di antaranya Anugerah Pelopor Pemberdayaan Masyarakat Jawa Barat Bidang Lingkungan Hidup dari Gubernur Jawa Barat pada 2015 dan 2016.
Abdul Rosid (36), warga Kampung Sawah, Kota Bekasi, mengatakan, keberadaan Rumah SOPAN menginspirasi warga untuk kembali mencintai lingkungan. Ia yang berlatar belakang pendidikan sarjana pendidikan pun baru kembali bergiat mengembangkan lingkungan selama 1,5 tahun terakhir sejak bergiat di komunitas tersebut.
Selain itu, ratusan keluarga yang pernah belajar di sana juga sudah mengembangkan kelompok-kelompok mandiri di berbagai bidang. Misalnya pengembangan pertanian perkotaan dan perikanan.
Gerakan ibu
Semangat serupa juga muncul dari Yayasan Gerakan Peduli Lingkungan (GPL) Pekayon, yaitu kumpulan warga perumahan Pondok Pekayon Indah, Kelurahan Pekayon Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan. Pengalaman pahit terdampak tumpukan sampah mendorong mereka membangun komunitas yang konsisten memelihara kebersihan lingkungan selama lebih dari 15 tahun.
Ketua Yayasan GPL Rustinah Hassan (64) menjelaskan, warga di rukun warga (RW) 08, 09, 10, dan 11 di perumahan Pondok Pekayon Indah, bergerak sejak 2003. Saat itu, mereka yang rata-rata menetap di perumahan itu sejak 1985 baru menyadari bahwa sampah yang dikumpulkan petugas setiap hari tidak pernah dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Sampah justru ditumpuk di tempat pembuangan sampah liar berupa lahan kosong seluas 1 hektare (ha).
Meski lokasinya tidak jauh dari Pondok Pekayon Indah, tetapi warga tidak tahu. Keberadaannya baru diketahui, saat bau busuk yang menyergap tidak bisa dihindari, warga pun merasa air tanah mulai tercemar. Warga yang terdiri dari 800 KK bergerak untuk menuntut penutupan lokasi tersebut.
Perwakilan warga juga belajar mengelola sampah dari Harini Bambang, penerima anugerah Kalpataru 2001 asal Jakarta. Dari tokoh itu, mereka paham bahwa produksi sampah bisa dikurangi dengan cara memilahnya sebelum dibuang.
Warga pun mengembangkan pengetahuan itu dengan merumuskan pemilahan sampah menjadi tiga kelompok. Ada jenis sampah yang dikelompokkan untuk membuat kompos, dikirim ke bank sampah. Ada pula yang harus dibuang ke TPA di antaranya sampah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Windi Usman (54), warga RW 11, mengatakan, sampah anorganik yang telah dipilah dikumpulkan bersama warga di lingkup rukun tetangga (RT) untuk dijual ke lapak pengolah sampah. Hasil penjualan disimpan di kas RT untuk pembangunan lingkungan.
Saat itu warga tidak mengerti konsep bank sampah. “Waktu itu kan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah juga belum terbit, jadi kami melakukannya berdasarkan pengetahuan sendiri,” kata dia.
Demi tujuan memgurangi isi truk sampah, warga pun mempraktikkan cara tersebut secara terus menerus. Sejuhlah pihak dari pemerintah dan lingkup akademis kemudian tertarik mempelajari aktivitas mereka. Bahkan, GPL pernah menjuarai Lomba Kreativitas Pengelolaan Sampah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2004.
Aktivitas GPL pun berkembang dari waktu ke waktu. Yulianti (63), warga RW 11, Pekayon Jaya, mengatakan, mereka tidak hanya memilah sampah tetapi juga berkomitmen menjaga lingkungan secara utuh. Oleh karena itu, dibentuk unit-unit kegiatan di antaranya rumah bibit untuk pengembangan pertanian di halaman rumah, rumah perca untuk menggunakan kembali limbah kain, taman baca, dan unit pemberdayaan masyarakat untuk mengedukasi warga mengenai lingkungan sehat.
Bantuan dana dari aneka instansi pun berdatangan, GPL memiliki beberapa bangunan untuk aktivitas lingkungan. Pada 2009, komunitas GPL pun meningkatkan statusnya menjadi yayasan agar pengembangan kegiatan bisa lebih mumpuni.
Suko Witono (69), warga RW 11, Pekayon Jaya, mengatakan, manfaat terpenting dari aktivitas GPL adalan pengurangan produksi sampah. “Dengan sistem tersebut, produksi sampah terbukti berkurang. Sebelum 2003 itu satu truk tidak mampu menampung sampah satu RW, tetapi sekarang satu truk dapat menampung sampah dari tiga RW,” kata Suko.
Selama belasan tahun lingkungan menjadi semakin nyaman. “Walaupun dulu ini perumahan murah, tetapi lingkungannya bisa bersih dan asri,” kata Windi.
Lingkungan RW 11 memang bersih. Tidak ada satu pun sampah yang berceceran. Setiap rumah memiliki tumbuhan yang membuat udara menjadi sejuk.
Di tepi jalan, terdapat pula papan bertuliskan kalimat inspiratif untuk menjaga kesehatan lingkungan. Papan tersebut dipasang pada setiap 30 meter, dengan konten yang berbeda.
Konsistensi
Rustinah mengatakan, gerakan yang dibangun dari kesadaran warga ini masih bisa bertahan karena konsistensi. “Jika diibaratkan sawah, kami terus saja mencangkul apapun kondisinya,” kata dia.
Sebab, gerakan itu menghadapi tantangan besar, yaitu individualitas warga kompleks perumahan. “Jika saja kami tumbuh di perkampungan, mungkin hasilnya akan lebih baik karena masyarakat cenderung lebih guyub,” kata Rustinah.
Selain itu, GPL yang dimotori sekitar 20 orang itu pun didominasi warga paruh baya. Kalangan pemuda belum ada yang bergabung untuk memastikan keberlanjutan gerakan tersebut bertahun-tahun ke depan.
Meski demikian, praktik yang dilakukan sejumlah warga Kota Bekasi itu tetap relevan dan bermanfaat. Sebab, di kota itu berdiri tiga tempat pembuangan sampah dalam radius 3 kilometer. Mulai dari TPST Bantargebang milik Jakarta, TPA Sumur Batu milik Kota Bekasi, dan TPA Burangkeng milik Kabupaten Bekasi berada dalam satu kawasan.
Total luas ketiga tempat pembuangan itu mencapai 140 ha atau sepersepuluh luas kecamatan Bantargebang dan merupakan kawasan sampah terbesar di Indonesia. Warga setempat menghadapi ragam masalah, mulai dari bau busuk, kerumunan lalat, hingga ancaman penyakit dan pencemaran.
Memasuki 2019, produksi sampah Kota Bekasi pun mencapai 1.900 ton per hari, naik dari dua tahun sebelumnya, yaitu 1.700 ton per hari. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Bekasi Jumhana Luthfi mengatakan, dari total 1.900 ton sampah, hanya 900 ton yang bisa diangkut ke TPA Sumur Batu setiap hari.
Selain kekurangan truk, kapasitas TPA juga sudah tidak bisa menampung sampah. Padahal, areal itu sudah diperluas dari 16 hektare (ha) menjadi 19 ha.
Pengolahan sampah di lingkup warga juga belum optimal. Dari 900-an bank sampah yang didirikan di setiap RW, hanya ada 231 yang aktif memilah sampah. “Kami juga kekurangan tempat pembuangan sampah sementara (TPS), karena warga menolak pendirian TPS di sekitar rumahnya,” ujar Jumhana.
Akibatnya, sampah masih berceceran di beberapa lokasi. Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup, terdapat 24 TPS liar yang tersebar di 12 kecamatan. Bahkan, pada Januari lalu, sampah menumpuk dan mengeras sepanjang 100 meter di Kali Bancong, Kecamatan Medan Satria, hingga berbulan-bulan.
Oleh karena itu, inisiatif masyarakat harus tetap ada. Untuk menghidupi semangat perubahan dari lokasi yang paling dekat dengan masalah sampah.