JAKARTA, KOMPAS — Sumber pembangkit listrik dari energi terbarukan tidak akan mengganggu keandalan pasokan listrik di Indonesia. Bahkan, porsi sumber energi terbarukan dalam bauran energi nasional bisa ditingkatkan menjadi 43 persen atau melampaui target pemerintah yang sebesar 23 persen.
Namun, pemanfaatan energi terbarukan diperkirakan masih ada kendala dalam hal penerapannya ke sistem ketenagalistrikan.
Hal itu mengemuka dalam paparan hasil kajian peta jalan sektor ketenagalistrikan di Indonesia, Kamis (21/2/2019), di Jakarta. Kajian tersebut dilakukan Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Monash University, Australia. Kajian dilakukan selama 10 bulan berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 di Indonesia.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, dari kajian tersebut, penetrasi energi terbarukan di Indonesia bisa ditingkatkan menjadi 43 persen tanpa mengurangi keandalan pasokan. Angka tersebut lebih tinggi dari proyeksi dalam RUPTL yang mencantumkan angka 23 persen untuk energi terbarukan.
Hasil kajian juga menyatakan, biaya produksi listrik energi terbarukan tidak lebih mahal dari listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
”Hasil kajian ini mematahkan mitos yang menyatakan bahwa pembangkit listrik dari energi terbarukan ongkosnya lebih mahal ketimbang PLTU dan menyebabkan pasokan kurang andal,” ujar Fabby.
Ia menambahkan, sumber energi terbarukan yang bisa didorong agar perannya bisa ditingkatkan datang dari panas bumi, hidro, tenaga bayu, dan tenaga surya. Namun, dari sekian jenis sumber energi terbarukan tersebut, potensi terbesar datang dari tenaga bayu dan tenaga surya. Untuk menaikkan porsinya menjadi 43 persen pada 2025, diperlukan investasi 134 miliar dollar AS hingga 144,7 miliar dollar AS.
Wakil Direktur Monash Energy Materials and System Institute Ariel Liebman mengatakan, dengan menggunakan perangkat lunak khusus yang mengintegrasikan investasi untuk mesin pembangkit dan pengembangan transmisi, diperoleh hasil, energi terbarukan sangat layak diterapkan di sistem Jawa-Bali. Tak hanya dari sisi biaya, kelayakan tersebut juga dalam hal keandalan pasokan.
”Penggunaan perangkat lunak untuk perencanaan energi ini pertama kalinya diterapkan di Indonesia. Dengan porsi 43 persen dari tenaga bayu dan tenaga surya, keandalan pasokan listrik bisa terjaga,” kata Ariel.
Peran ditingkatkan
Menanggapi hasil kajian itu, Manajer Senior Perencanaan Sistem PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Kiswanto mengatakan, pihaknya sepakat peran energi terbarukan perlu ditingkatkan. Hanya, masih ada persoalan harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik dari energi terbarukan. Dari beberapa pembangkit yang dioperasikan PLN, ujarnya, listrik dari energi terbarukan masih lebih mahal ketimbang PLTU.
”Lalu tentang keandalan pasokan, kalau dari sumber panas bumi atau hidro masih bisa diterima (keandalannya). Bagaimana dengan yang lain? Sebab, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam pengembangan listrik energi terbarukan, yaitu ketersediaan, keandalaan, dan harga yang terjangkau,” ujar Kiswanto.
Sementara itu, dari sisi bisnis, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang mengatakan bahwa untuk mendapatkan pendanaan investasi PLTU mulai terbatas. Hal itu sudah terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir. Sejumlah bank di Eropa dan Amerika Serikat mulai enggan mendanai investasi pembangunan PLTU.
”Mereka bersedia mengucurkan pendanaan untuk pembangkit listrik energi terbarukan. Namun, sebenarnya ada peluang di balik itu mengingat perkembangan teknologi kian pesat menyebabkan ongkos listrik dari energi terbarukan kian murah. Apalagi, tren di dunia sekarang bergerak ke sumber energi yang lebih bersih,” kata Arthur.
Data pemerintah menunjukkan, sampai dengan 2018, porsi batubara masih dominan dalam bauran energi pembangkit listrik PLN, yaitu sebesar 60,5 persen. Adapun gas bumi berperan sebesar 22,1 persen dan bahan bakar minyak berperan 5 persen. Pembangkit listrik dari energi terbarukan berperan sebesar 12,4 persen.