JAKARTA, KOMPAS - Tim Pengawasan Terpadu Pemanfaatan Air Tanah Jakarta Selatan mulai mengawasi penggunaan air tanah pada bangunan gedung dan perumahan di Jakarta Selatan, Kamis (21/2/2019). Ada 137 titik yang harus mereka awasi, dengan potensi pajak senilai Rp 78 miliar.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Arifin didampingi Sekretaris Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta Yuandi Miko memimpin apel pelepasan Tim Pengawasan Terpadu Pemanfaatan Air Tanah tersebut.
Arifin mengatakan, meskipun bertugas memonitor penggunaan air tanah dan penagihan pajak, petugas diharapkan memberikan pelayanan terbaik saat menyambangi para wajib pajak. Petugas diharapkan memberikan pelayanan secara baik, santun, dan ramah agar wajib pajak nyaman saat didatangi petugas.
Kalaupun petugas tidak diterima oleh wajib pajak, Arifin meminta semua camat, lurah, RT, dan RW turut serta membantu menjembatani antara wajib pajak dengan petugas.
"Kepada seluruh tim agar tetap mengedepankan etika dan prinsip kemitraan dalam berinteraksi dengan pihak-pihak yang menjadi target peninjauan lapangan. Sedapat mungkin menghindari konflik dan perdebatan yang tidak perlu," kata Arifin.
Sementara itu, Sekretaris BPRD Yuandi Miko mengatakan, total potensi pajak air tanah di DKI Jakarta sebesar Rp 145 miliar dan lebih dari separuh potensi itu ada dj Jakarta Selatan. Potensi pajak di Jaksel lebih besar dari wilayah lainnya.
“Untuk mengurangi penggunaan air tanah, ke depan kami sinergikan dengan PDAM, Palyja dan Aertra untuk menjangkau tempat-tempat yang masih menggunakan air tanah,” ujar Yuandi.
Kepala Sub BPRD Jakarta Selatan Yuspin Dramatin menambahkan, apel diikuti oleh 32 pegawai Suban Pajak dan Retra di 10 kecamatan. Mereka dibagi dalam tiga tim untuk mengawasi 137 objek pajak air dan tanah yang menjadi sorotan oleh Tim Pengawasan Terpadu. Contoh lokasi yang akan diawasi itu adalah di kawasan Grand Wijaya yang terdapat banyak ruko.
"Kami akan mendata lagi ke lapangan. Mana saja yang akan diubah objek pajaknya," kata Yuspin.
Surat pemberitahuan pengawasan air tanah juga sudah dikirimkan ke 137 titik objek pajak. Pekan depan tinjauan ke lapangan untuk melihat berapa angka pemanfaatan air tanah akan dimulai. Dari 137 lokasi, yang mendominasi adalah perkantoran, dan restoran.
"Untuk tahap ini hotel belum masuk pemantauan tahap pertama yang cuma sampai Maret 2019. Nanti hotel akan masuk dalam tahapan berikutnya," kata Yuspin.
Hotel tidak masuk dalam pemantauan prioritas tahap pertama karena hotel diwajibkan membuat sumur resapan sebagai cadangan. Jika tidak ada air perpipaan, mereka akan menarik pipa dan air tanah hanya dijadikan cadangan. Hotel tidak akan mendapatkan izin jika tidak membangun sumur resapan.
Berbeda dengan kantor dan restoran yang perizinannya tidak akan terhambat tanpa pembangunan sumur resapan.
"Sebagian restoran dan kantor yang masuk dalam 137 titik pemantauan itu belum terdaftar sebagai objek pajak air tanah," kata Yuspin.
Yuspin menjelaskan, target penerimaan pajak air tanah tahun ini memang cukup tinggi yaitu senilai Rp 78 miliar. Tahun lalu, targetnya hanya Rp 74 miliar dan tidak tercapai. Karena tahun ini ditambah, upaya yang dilakukan tim pengawasan terpadu harus lebih maksimal.
Salah satu upaya itu adalah dengan memanggil objek pajak yang telah menjadi wajib pajak ke Suban Penerimaan Pajak dan Retribusi Daerah. Wajib pajak akan diwawancarai terkait penggunaan air tanah. Pengakuan wajib pajak akan dicocokkan dengan tagihan air perpipaan sehingga bisa melihat secara riil penggunaan air tanah.
"Evaluasi akan dilakukan selama tiga bulan. Setelah itu kami akan mendata lagi ke lapangan," kata Yuspin.